18 Desember 2010

Sepakbola dan Semangat Persatuan Indonesia

Perkelahian dan pertempuran dikalangan masyarakat adalah hal yang sulit ter-elakan. Terkadang pemicu terhadap konflik tersebut ialah masalah sepele. Sepakbola tidak terkecuali sering menjadi sebab atas perkelahian yang terjadi. Namun hal yang menarik adalah menurunya angka “perkelahian” saat Indonesia bermain pada piala AFF 2010 dan berhasil menumbangi beberapa negara dalam frase grup yang membuat Indonesia menjadi juara grup dan lolos ke babak semi final.
Kebanggaan atas hasil baik yang diraih oleh Timnas Indonesia tidak saja menjadi kebangaan Timnas, melainkan juga menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Indonesia. Efek terhadap kebahagiaan itu melahirkan semangat baru yang luar biasa, baik semangat bermain dan semangat masyarakat untuk mendukung agar bangsa Indonesia dapat meraih kemenangan pada piala AFF 2010 ini. Sebagai sebuah olah raga, tentu sepak bola menjadi bagian yang sulit terlepaskan dari kehidupan bangsa Indonesia.
Sepak bola bukan saja menjadi suatu olah raga yang digemari oleh kaum adam saja, melainkan juga mampu membuat kaum hawa “kepincut” terhadap olahraga tersebut, tidak terkecuali di Indonesia. Situasi Indonesia yang “kacau-beliau” tidak menghalangi kesuksesan Indonesia bertengger di posisi puncak sebagai juara grup piala AFF. Sebagai sebuah ajang “pertarungan” yang terlihat i-rasional (karena sepakbola adalah olah raga yang membuat 22 orang “bertempur” untuk memperebutkan 1 buah bola) sepak bola mampu memikat dan mempersatukan seluruh elemen kosmos se-olah bersatu-padu untuk meraih 1 kata, MENANG.
Sering kita lihat pada setiap kompetisi sepakbola yang ada di Indonesia, untuk meraih kata menang terkadang jauh dari sportifitas. Jauhnya sportifitas dari permainan sepakbola yang kerap terjadi dalam pertandingan di liga-liga domestic memicu terjadinya perkelahian yang semestinya tidak perlu terjadi. Tidak jarang nyawa meregang akibat perkelahian yang tidak perlu tersebut. Baik perkelahian antar supporter ataupun perkelahian antar pemain. Perkelahian-perkelahian inilah yang sulit terhindari dari dunia per-sepakbolaan Indonesia. Perkelahian ini juga sering berakibat pada mereka yang pada dasarnya tidak memiliki kepentingan dalam konflik tersebut (masyarakat dan aparat kepolisian).
Uniknya di negara yang terdiri dari beberapa suku ini adalah, perkelahian-perkelahian tersebut hanyalah satu bagian dari perkelahian-perkelahian yang “spektakuler”. Di zaman Romawi pertarungan dalam wadah Gladiator, umumnya yang menjadi korban adalah petarungnya itu sendiri. Namun jika kita berkaca pada negara seperti Indonesia, perkelaian-perkelahian umumnya mewakili seluruh elemen bangsa Indonesia, tidak terkecuali elit politk. Sayangnya perkelahian tersebut bukan hanya berdampak pada mereka sebagai petarung poitik, namun dampak yang selalu dirasakan ialah pada rakyat kecil. Inilah peratungan “spektakuler” bangsa Indonesia, pertarungan yang selalu mengorbankan rakyat dan bukan petarungnya itu sendiri.
Terlepas dari spektakulernya pertarungan elite politik, akhir-akhir ini bangsa Indonesia terfokuskan pada suatu cita-cita besar, cita-cita tersebut bukanlah cita-cita meraih kemerdekaan, melainkan cita-cita besar meraih KEMENAGAN dalam piala AFF 2010. Dapat kita lihat, hampir tidak ada perkelahian yang terjadi sebelum dan sesudah pertandingan, khususnya antar suporter. Padahal dapat kita pastikan, hampir 80% lebih pertandingan sepakbola Indonesia diakhiri dengan perkelahian yang melayangkan nyawa seseorang. Ini menjadi bukti, dalam piala AFF ini semangat persatuan bansa Indonesia kembai terlahir. Semangat persatuan ini jugalah yang mampu mempersatukan seluruh sporter yang ada di Indonesia (The Jack, Bonek, Viking, dll). Hal yang lebih membahagiakan adalah ditengah memanasnya hubungan 2 tokoh poltik bangsa ini (SBY dan ICHAL) dengan beberapa problem yang ada, 2 toko politik tersebut nampak seperti saudara saat menyaksikan pertandngan Indonesia melawan Filipina.
Kemengan 1-0 dari Filipina seolah-olah menghancur-leburkan perseturuan yang ada di kedua belah pihak. Senyum dan salam kebahagiaan dari kedua tokoh tersebut stelah pertandingan membuktikan juga kepada kita, bahwa sepakbola dapat menghancur-leburkan segala macam konflik yang seringkali menjadikan masyarakat sebagai korbanya. Pemandangan atau moment sperti ini sulit kita temui di bangsa yang seringkali masyaraatnya takut tidak mendapatkan jabatan dan berkelahi demi mendapatkan jabatan tersebut. (Pram A Toer)
Pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat selaku pendukungpun tidak perlu diragukan. Baik melalui televise maupun yang sejak awal pertandingan hingga tulisan ini dibuat tidak sedikit pendukung yang berdatangan dari daerah tetap setia mendampingi tim Garuda menjalani pertandingan-pertandingan berikutnya. Sekali lagi perlu di ingat, semua ini demi kemenangan Indonesia, dan bukan kemenangan satu orang atau golongan saja. Inilah saatnya Indonesia memulai kembali kehidupan bersama yang bermartabat. Bangsa yang mampu menjaga harga dirinya di mata bangsa lain. Smoga semangat persatuan ini tetap terjaga di dalam memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Pemimpinya.



31 Agustus 2010

PERPU Di Indonesia


PERPU adalah suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Pasal 22 ayat 1 menyatakan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karena perdebatan dalam DPR memakan waktu yang lama dan dengan demikian tidak dapat dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka untuk mengatur selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat, Presiden diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan DPR suatu peraturan bertingkatan undang-undang. Perpu lahir dikala negara, khususnya Indonesia mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa. mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini juga menjadi salah satu pembahasan dalam Hukum Tata Negara, yaitu mengenai Hukum Tata Negara Darurat. Hukum Tata Negara Darurat ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam ke dalam kehidupan kehidupan biasa atau normal
Wewenang Presiden menetapkan perpu adalah kewenangan yang luar biasa di bidang perundang-undangan, sedangkan wewenang ikut membentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden adalah wewenang biasa. Dalam praktik sistem perundang-undangan yang berlaku, Perpu merupakan jenis peraturan perundang-undangan tersendiri. Secara praktis penggunaan sebagai nama tersendiri dimaksudkan untuk membedakan dengan PP yang bukan sebagai pengganti undang-undang atau PP. Menurut UUD 1945, Perpu adalah PP yang ditetapkan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Dalam praktik yang berlaku, “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” tidak sekedar diartikan sebagai adanya bahaya, ancaman, atau berbagai kegentingan lain yang langsung berkenaan dengan negara atau rakyat banyak. Pernah terjadi perpu ditetapkan untuk mengangguhkan berlakunya UU tentang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan UU Lalu Lintas dan Angkutan Umum. Menurut ketentuan Pasal 21, UU Nomor 8 Tahun 1983 (Pajak Penambahan Nilai) mulai berlaku 1 Juli 1984. Menjelang tanggal tersebut ternyata belum siap sehingga perlu ditangguhkan. Keadaan belum siap inilah yang dapat dijadikan dasar pembuatan perpu. Jadi suatu “kegentingan yang memaksa” tidak semata-mata karena keadaan yang mendesak.
Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukan dua ciri umum, yaitu:
1. Ada krisis (crisis), suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak.
2. Ada kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.

Saat ini lahirnya UU No. 10 Tahun 2004, pengaturan mengenai perpu terdapat pada Pasal 7 ayat 1 dengan urutan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
3. Peraturan Pemerintah.
4. Peraturan Presiden.
5. Peraturan Daerah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita pahami, bahwa Perpu memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang. Menurut Maria Farida Indrati, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang mempunyai fungsi yang sama dengan undang-undang. Penjelasan di atas memberi pencerahan kepada kita, bahwa di dalam UU No. 10 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang memiliki kedudukan yang sejajar dengan Undang-undang, karena Perpu itu lahir dalam “hal ikhwal yang memaksa” yang harus dengan segera di buat suatu dasar hukumnya.
Sehingga dengan keberadaan Perpu maka dengan cepat Presiden dapat mengambil keputusan untuk mengatasi “hal ikhwal yang memaksa” tersebut. Namun perlu di ingat, Perpu adalah suatu aturan yang bersifat sementara, mengingat Perpu tersebut hanya untuk mengatasi “hal ikhwal yang memaksa” negara dengan segera. Ini berarti apabila keadaan “hal ikhwal yang memaksa” tersebut telah selesai di hadapi maka Perpu bisa di gunakan kembali atau tidak. Ini semua tergantung bagaimana DPR di dalam memutuskan nasib Perpu tersebut.
Apabila Perpu sudah tidak lagi di butuhkan, maka DPR di dalam sidang berikutnya membahas nasib Perpu tersebut. Apabila DPR menerima Perpu tersebut, maka perpu tersebut akan secara langsung menjadi Undang-undang. Namun apabila DPR menolak terhadap keberadaan Perpu tersebut, maka sudah secara pasti Perpu tersebut tidak berlaku lagi dan akan di hapuskan atau tidak digunakan kembali oleh pemerintah sebagai dasar hukum.
Perpu yang tidak diajukan dalam persidangan DPR yang berikut harus dianggap “tidak mempunyai kekuatan berlaku lagi karena telah melampaui waktu” sangat penting mencegah perpu dipergunakan secara”mempermanenkan” kedaruratan yang biasanya mengandung makna pembenaran bagi penyimpangan atas suatu sistem yang normal. Pernah terjadi sebelum perpu yang ditetapkan Presiden antara Tahun 1962 sampai 1965 baru disetujui oleh DPR dan di tetapkan sebagai UU tahun 1969 (Undang-undang No. 7 Tahun 1969).
Praktik ini melanggar UUD 1945 karena praktik ini tidak mencerminkan pembatasan-pembatasan yang di kehendaki oleh UUD. Sedangkan UUD sebagai wujud paham konstitusionalisme bertolak dari asas pembatasan (pembatasan wewenang atau pembatasan waktu). Untuk mencegah “kelalaian” ini, inisiatif mengajukan Perpu untuk memperoleh persetujuan DPR tidak hanya di bebankan pada Presiden. DPR dapat menggunakan Rancangan Undang-undang agar perpu memperoleh persetujuan (atau tidak memperoleh persetujuan) DPR. Penggunaan hak inisiatif ini sekaligus mempunyai makna pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap Presiden (Pemerintah).
Konsep Perpu sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat sementara tidak berlaku adagium untuk “menggantikan perpu tersebut atau untuk menghapus perpu tersebut”, tetapi hanya adagium “dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi”. Perpu tidak dapat dicabut dengan Perpu serupa karena:
1. Perpu yang mencabut harus memenuhi syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Sedangkan perpu yang ada perlu dicabut atau diubah bentuknya menjadi undang-undang karena tidak ada lagi hal ihkwal kegentingan yang memaksa.
2. Perpu yang dicabut harus juga diajukan ke DPR, yaitu Perpu tentang pencabutan Perpu tersebut.

Beberapa alasan di atas menjadi alasan yang sangat substansial mengapa perpu tidak dapat di gantikan oleh perpu juga. Konsep yang ada sebagaimana diatur dalam UUD atau konstitusi kita saat ini sudah memberikan gambaran yang sangat jelas dan tepat di dalam mengatasi masalah Perpu, karena memang hendaknya Perpu tersebut diagantikan atau dihapus oleh undang-undang. DPR sebagai lembaga Legislatif yang memiliki kewenangan penuh untuk mencabut, menggantikan atau mengesahkan suatu produk yang sementara (Perpu) menjadi suatu produk yang permanen (Undang-undang) di dalam sidang DPR.

08 Agustus 2010

Pengujian Perpu JPSK oleh Mahkamah Konstitusi

Fungsi atau peran dari Mahkamah Konstitusi salah satunya ialah melakukan judicial review. Judicial Review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ialah untuk menjaga konsistensi UUD 1945 dengan peraturan perundang-undangan yang ada di bawah UUD 1945. Hanya saja peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, mengingat bahwa peraturan perundangundangan di bawah undang-undang adalah menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Permasalahan yang serius dalam kajian kali ini adalah pengujian terhadap Perpu No. 4 tahun 2008 tentang Jaringan Pengamanan Sistem Keuangan atau yang lebih familiar disebut dengan Perpu JPSK. Dalam aturan normatifnya perpu adalah suatu peraturan yang bersifat sementara yang lahir hanya untuk mengatasi keadaan “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Karena sifatnya yang sementara itulah perpu perlu diuji melalui mekanisme legislative review. Pengujian legislative review ini dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Perpu yang di tolak oleh DPR maka akan batal atau sudah tidak bisa menjadi landasan hukum kembali, namun bagi perpu yang diterima maka akan menjadi UU. Dalam kajian kali ini penulis akan menyajikan pengujian terhadap perpu yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
A. PENDAHULUAN

Pada Tahun 2008, dengan adanya kasus century, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UUD 1945, mengeluarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengamanan Sistem Keuangan, atau yang biasa disebut dengan Perpu JPSK. Perpu tersebut lahir dengan beberapa pertimbangan Presiden, yang diantaranya ialah:
a. Bahwa dalam upaya menghadapi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional atau menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) adalah suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Adapun tujuan dan ruang lingkupnya adalah untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis dan ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan krisis .
Pencegahan krisis sebagaimana dimaksud di atas adalah meliputi tindakan mengatasi beberapa permasalahan, yang diantaranya adalah permasalahan:
a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik
b. Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan pelunasan FPD yang berdampak sistemik
c. LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas yang berdampak sistemik

Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagaimana dimaksud, maka dibentuklah Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang selanjutnya disebut KSSK. Keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota. Organisasi KSSK adalah organisasi yang lahir berdasarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.
Dalam rangka melaksanakan fungsi penetapan kebijakan pencegahan dan penanganan krisis, KSSK mempunyai tugas yang di antaranya ialah:
1. Mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai berdampak sistemik
2. Menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/LKBB berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik
3. Menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis

Berdasarkan beberapa kewenangannya, maka pengambilan keputusan oleh KSSK untuk menyelamatkan bank century adalah sah secara hukum positif, sebagaimana diamanatkan oleh Perpu Nomor 4 Tahun 2008, karena jika Bank Century tidak segera diselamatkan oleh KSSK maka akan berdampak sistemik (seperti penjelasan pada tugas KSSK).
Pada Rabu, tepatnya pada 29 Oktober 2009 Pemerintah menyampaikan RUU tentang penetapan Perpu JPSK tersebut menjadi undang-undang kepada DPR RI. Namun pada Selasa tepatnya 17 Desember 2009, hasil kurang memuaskan harus diterima oleh pemerintah, dikarenakan Dewan Perwakilan Rakyat menolak terhadap permohonan penetapan tersebut dengan alasan jika Perpu tersebut ditetapkan maka akan berpengaruh pada Anggaran Pembelanjaan Negara (APBN) tetapi tidak dapat diambil tindakan hukum terhadap pejabat yang telah membuat keadaan bahaya tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka perpu tersebut sepatutnya batal demi hukum, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pasal 22 UUD 1945. Namun dalam perjalanannya Perpu tersebut masih dipandang berlaku oleh pemerintah, sehingga Perpu tersebut di uji materil oleh Mahkamah Konstitusi. Secara tegas dalam UUD 1945 Pasal 24 C mengatakan, yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD, dan bukan menguji Perpu atau peraturan perundang-undangan lain di bawah UU terhadap UUD. Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi tentunya menjadi pertanyaan, apakah Mahkamah Konstitusi berwenang terhadap pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)? Mengingat yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945.


B. HUKUM DARURAT NEGARA

Hukum Tata Negara Darurat ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan kehidupan biasa menurut undang-undang. Beberapa unsur yang harus ada di antaranya ialah:
1. Adanya bahaya negara yang patut dihadapi secara luar biasa.
2. Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada.
3. Kewenangan yang biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal.

Wewenang luar biasa itu dalam HTN Darurat itu adalah untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat tersebut dipandang tidak membahayakan lagi. Dikatakan dalam Pasal 12: “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”
Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 22 UUD 1945 :
1. Dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.
2. Peraturan tersebut haruslah mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan yang berikut.
3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah tersebut harus dicabut

Apabila kita melihat kembali pada Konstitusi RIS, bangsa kita juga telah mengatur tentang keadaan darurat negara. Tercermin dalam Pasal 139 & 140 Konstitusi RIS. Dikatakan di Pasal 139:
1. Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan Pemerintah Federal jang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.
2. Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan kuasa undang-undang federasi ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut.

Di dalam Konstitusi RIS Pasal 140 dikatakan :
1. Peraturan-peraturan jang termaktub didalam undang-undang darurat, segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada DPR jang merundingkan peraturan itu menurut jang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang pemerintah.
2. Djika suatu peraturan jang dimaksud dalam ajat-ajat jang lalu, waktu jang dirundingkan sesuai dengan ketentuang-ketentuan bagian jang ini, ditolak oleh DPR, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum.
3. Djika undang-undang jang menurut ajat lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturanja, baik jang dapat dibetulkan maupun jang tidak maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan jang perlu tentang itu.
4. Djika peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat itu dirubah dan ditetapkan sebagai undang-undang federal, maka akibat-akibat perubahanja diatur pula sesuai dengan jang ditetapkan dalam ajat jang lalu

Di dalam UUDS 1950, pasal yang mengatur mengenai keadaan darurat negara termaktub di dalam Pasal 96 Ayat 1 & 2, sedangkan di Pasal 97 di jelaskan dalam Ayat 1 Sampai 4. Pasal 96 mengatakan :
1. Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan pemerintahan jang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.
2. Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan derajat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut.

Pasal 97 menyatakan :
1. Peraturan-peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat, sudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnja pada sidang jang berikut jang merundingkan peraturan ini menurut jang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang Pemerintah
2. Djika suatu peraturan jang dimaksud dalam ajat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan bagian ini, ditolak oleh DPR, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum.
3. Djika undang-undang darurat jang menurut ajat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat jang timbul dari peraturannja baik jang dapat dipulihkan maupun jang tidak maka undang-undang mengadakan tindakan-tindakan jang perlu tentang itu.
4. Djika peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat itu dirubah dan ditetapkan sebagai undang-undang, maka akibat perubahanja diatur pula sesuai dengan jang ditetapkan dalam ajat jang lalu.

Dalam sistem UUDS 1950 dan konstitusi RIS hal serupa dengan Perpu dinamakan “Undang-Undang Darurat”. Meskipun serupa dan mempunyai fungsi sama, tetapi terdapat perbedaan perumusan antara UUD 1945 dengan UUDS 1950 dan KRIS, diantaranya:
1. Menurut UUD 1945 wewenangan membuat Perpu itu ada pada presiden. Menurut UUDS dan KRIS wewenang membuat perpu itu ada pada Pemerintah. Perbedaan ini sebagai pencerminan perbedaan sistem Pemerintahan. UUD 1945 bersistem Presidensil, penyelenggara pemerintahan dilakukan oleh Presiden. UUDS 1950 dan KRIS bersistem Parlementer, pemerintahan diselenggarakan Presiden dan kabinet yang disebut Pemerintah.
2. Menurut UUD 1945, Perpu dibuat dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Menurut UUDS 1950 dan KRIS, UUD darurat dikeluarkan “karena keadaan yang mendesak”. Secara keabsahan pengertian yang dipergunakan oleh UUDS dan KRIS lebih mudah dimengerti dan sekaligus menunjukan bentuknya sebagai undang-undang (meskipun darurat) daripada pengertian yang dipakai UUD 1945 sebagai suatu bentuk Peraturan Pemerintahan.

Istilah (Leagal terms) yang dipakai dalam Pasal 12 dan 22 UUD 1945 jelas berbeda. Istilah pertama menggunakan istilah “keadaan bahaya” yang tidak lain sama dengan pengertian keadaan darurat (sate of emergency), sedangkan yang kedua menggunakan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Apakah kata “hal ihwal” itu sama dengan pengertian “keadaan”? keduanya tidak sama. “Keadaan” adalah strukturnya, sedangkan “hal ihwal” adalah isinya. Segala sesuatu yang “membahayakan” tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan “keadaan yang memaksa”, tetapi segala “hal ihwal yang memaksa” tidak selalu membahayakan.
Bebrapa hal yang dapat dikemukakan sehubungan dengan perbedaan diantara kedua ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pasal 12 mengutarakan mengenai kewenangan Presiden sebagai kepala negara (head of state), sedangkan pasal 22 berada dalam ranah (domain) pengaturan, yaitu berisi norma pengecualian atas fungsi kekuasaan legislatif. Kewenangan untuk menyatakan kondisi negara dalam keadaan bahaya atau melakukan “declaration of state emergency” berada di tangan Presiden selaku kepala negara, meskipun pengaturan mengenai keadaan bahaya termasuk syarat pemberlakuan, pengawasan terhadap pelaksanaan, dan tata cara mengakhirinya harus terlebih dahulu diatur dalam undang-undang atau setidaknya diatur dalam undang-undang, tidak boleh diatur dengan peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Sementara itu materi yang diatur di dalam Pasal 22 berada dalam ranah kekuasaan legislatif, yaitu mengenai kewenangan presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
2. Keadaan dan ihwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 tidak identik atau tidak sama dengan keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12. Keadaan bahaya yang dimaksud Pasal 12 boleh jadi termasuk di dalam kategori hal ihwal yang memaksa sebagaimana yang dimaksud Pasal 22. Akan tetapi alasan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 tentu tidak selalu merupakan keadaan bahaya seperti ayat 12. Artinya keadaan atau ihwal yang memaksa yang dimaksud Pasal 22 itu lebih luas cakupan maknanya dari Pasal 12. Dalam setiap keadaan bahaya, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Namun tidak setiap kali Presiden menetapkan Perpu negara dalam keadaan bahaya.
3. Ketentuan mengenai “keadaan bahaya” yang di tentukan dalam Pasal 12 jelas lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam, sedangkan “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 lebih menekankan pada aspek kebutuhan hukum yang mendesak atau kemendesakan yang terkait soal waktu yang terbatas. Di sati pihak ada unsur “reasonable necessity”, tetapi di pihak lain terhadap kendala “Limited time”.

Berdasarkan penjelasan diatas, dengan demikian terdapat 3 unsur penting yang secara bersama-sama membentuk keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
1. Unsur ancaman yang membahayakan.
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan.
3. Unsur keterbatasan waktu.

Mr. Van Dullemen menjelaskan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam suatu peraturan darurat, yaitu:
1. Kepentingan tertinggi negara yakni: adanya suatu eksistensi negara itu sendiri.
2. Bahwa peraturan darurat itu harus mutlak atau sangat perlu.
3. Peraturan darurat tersebut bersifat sementara, selama keadaan masih darurat saja, dan sesudah itu diperlukan aturan biasa yang normal, dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku.
4. Ketika dibuat peraturan darurat tersebut DPR atau perwakilan rakyat tidak dapat mengadakan sidang atau rapatnya secara nyata dan sungguh.

Mr. Van Dullemen menambahkan dalam karya beliau yang lain Staatnoodrecht en Rechtsstaat yang langsung menghubungkan antara HTN Darurat dengan negara hukum dan hukum negara, dengan menyatakan: adalah tidak syah jika salah satu syarat sebagaimana yang dijelaskan di atas tidak dipenuhi dalam keadaan darurat dan aturan yang dibuat tidak memenuhi syarat itu adalah tidak sah dan tidak diakui keabsahannya, hanyalah yang memenuhi syarat itu yang dapat diakui dan disahkan selaku Hukum Tata Negara Darurat.
PERPU sebagai salah satu peraturan perundang-undangan adalah suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Sebagaimana yang telah dibahas pada Pasal 22 ayat 1 menyatakan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karena perdebatan dalam DPR memakan waktu yang lama dan dengan demikian tidak dapat dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka untuk mengatur selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat, Presiden diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan DPR suatu peraturan bertingkatan undang-undang.
Wewenang Presiden menetapkan perpu adalah kewenangan yang luar biasa di bidang perundang-undangan, sedangkan wewenang ikut membentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden adalah wewenang biasa. Dalam praktik sistem perundang-undangan yang berlaku, Perpu merupakan jenis peraturan perundang-undangan tersendiri. Secara praktis penggunaan sebagai nama tersendiri dimaksudkan untuk membedakan dengan PP yang bukan sebagai pengganti undang-undang atau PP. Menurut UUD 1945, Perpu adalah PP yang ditetapkan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Tetapi hendaknya hal tersebut (hal ikhwal kegentingan yang memaksa) tidak diperluas, misalnya sekedar untuk mengatasi sautu prosedur atau tata laksana yang akan dihadapi. Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukan dua ciri umum, yaitu:
1. Ada krisis (crisis), suatu keadaan krisi apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak.
2. Ada kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.

Dari ketentuan atau pengertian di atas, dapatlah kita lihat, kewenangan Presiden dalam menetapkan perpu sangatlah riskan untuk disalah gunakan, mengingat Perpu lahir dari penilaian “subjektif” Presiden. Bukan hal yang tidak mungkin apabila ketentuan mengenai perpu tetap seperti ini, Presiden dapat melaksanakan kewenangannya yang telah diberikan oleh rakyat tanpa keberpihakan terhadap rakyat di dalam penetepan perpu tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin dalam penetapan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK Presiden jauh dari keberpihakanya dari rakyat Indonesia.





C. MAHKAMAH KONSTITUSI DAN JUDICIAL REVIEW

Pemikiran mengenai pentingnya Mahkamah Konstitusi telah muncul sebelum Indonesia merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah melontarkan pemikiran mengenai pentingnya lembaga yang melakukan pengujian terhadap Konstitusionalitas UU sekaligus mengusulkan agar masuk dalam ruusan rancangan UUD yang tengah disusun. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo, dengan alasan lembaga ini tidak sesuai dengan sistem berpikir UUD yang saat itu disusun atas dasar prinsip supremasi parlemen dengan menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara tertinggi. Oleh karena itu keberadaan MK yang akan mewujudkan checks and balances antar lembaga negara akan bertentangan dengan Supremasi MPR.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang dipercaya mampu mewujudkan ekspektasi masyarakat Indonesia. Lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagaimana hasil amandemen, pasal 24 C yang menyatakan “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkuangan Peradilan Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Mahkamah Konstitusi ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam perubahan ke tiga UUD 1945 dan oleh aturan peralihan hasil perubahan ke empat UUD 1945, lembaga ini harus sudah terbentuk paling lambat pada 17 Agustus 2003. Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk, kewenangannya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berdsarkan UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditetapkan dan diundangkan Pada 13 Agustus 2003, sehingga pada tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi di negara Indonesia.
Mahkamah Konstitusi bisa juga dikatakan sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Tentunya di dalam mengawal dan menafsirkan konstitusi tersebut Mahkamah Konstitusi dibekali kewenangan. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penfasir konstitusi berdasarkan penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Menguji Undang-undang terhadap UUD.
2. Memutus sengketa kewenangan lemabaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
3. Memutus pembubaran prtai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu
5. Memutus hasil pemilu kepala daerah

Sebagai suatu lemabaga negara yang mengawal dan menafsirkan konstitusi tentunya Mahkamah Konstitusi juga memiliki suatu kewajiban. Kewajiban tersebut adalah : memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran Hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban Mahkamah konstitusi tersebut bisa juga dikatakan sebagai Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, bisa juga dikatakan sebagai impeachment.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang pertama (Menguji Undang-undang terhadap UUD 1945), sering disebut sebagai Judicial Review. Namun istilah ini perlu diluruskan kembali dan diganti dengan constitusional review atau pengujian konstitusional, mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945. Per definisi konsep “constitusional review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the pritection of fundamental rights).
Judicial review adalah memberikan atau menolak persetujuan kehakiman pada suatu Undang-undang yang disahkan mayoritas dalam lembaga Legislatif dan disetujui lembaga Eksekutif. Setiap undang-undang yang diputuskan pengadilan bukan hanya sudah diratifikasi suara mayoritas, tetapi dikaji -secara teori dan kita harus mengasumsikannya secara fakta- dengan seksama perihal kesesuaiannya dengan konstitusi. Karena itu, dalam mendukung setiap undang-undang yang dibutuhkan tak hanya suara mayoritas untuk pemahamannya, tetapi juga suara mayoritas untuk konstitusionalnya.
Judicial review bisa juga dikatakan sebagai pengawasan Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) terhadap kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Brewer – Carrias memandangnya sebagai tugas yang melekat dari pengadilan untuk menjamin tindakan hukum Legislatif dan Eksekutif sesuai dengan Hukum Tertinggi dikatakan : “...the same inherent duty of courts to ensure that each legal action conforms to a superior law”.
Di Indonesia judicial review diterjemahkan sebagai sebuah mekanisme yang terdapat dalam UUD 1945 dengan adanya pasal 24 C yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD. Hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan UUD sebagai sebuah hukum tertinggi. Makna dari pernyataan tersebut adalah bahwa sebagai hukum, UUD harus mempunyai sifat normatif mengikat. Dalam sifatnya yang normatif tersebut, apabila terjadi pelanggaran, ia harus ditegakkan dengan mekanisme hukum atau melalui peradilan dan bukan lewat mekanisme Politik.
Problematika yang cukup manarik dalam kajian kali ini adalah pengujian terhadap Perpu yang telah di lakukan oleh Mahkamah Konstitusi. PERPU adalah suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Pasal 22 Ayat 1 menyatakan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karena perdebatan dalam DPR memakan waktu yang lama dan dengan demikian tidak dapat dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka untuk mengatur selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat, Presiden diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan DPR suatu peraturan bertingkatat undang-undang.


D. MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERPU

Sebagai salah satu pilar demokrasi, keberadaan Mahkamah Konstitusi sangatlah dibutuhkan di Indonesia. Walau bisa dikatakan masih cukup banyak kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh MK namun tidak dimiliki, tentunya ini akan menjadi suatu masukan untuk perubahan atau amandemen yang berikutnya mengenai penambahan atau pergeseran kewenangan yang saat ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.
Secara tegas dikatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 ataupun di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi sangat jelas dikatakan tentang beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penafsir Konstitusi. Dalam hal pengujian Perpu secara sangat jelas, Mahkamah Konstitusi tidak disebut sebagai Lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Namun dalam putusan Nomor 145/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi telah melakukan uji materil terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK. Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa landasan dalam memutus perkara tersebut. Dalam landasan putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan bahwa :
Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 dalam pertimbangan hukum paragraf [3.13] menyatakan, “Menimbang bahwa Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan. ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi. Di samping itu, dengan disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara”. Adapun ketiga syarat tersebut adalah sebagai berikut, “(i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan”; Bahwa oleh karena yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah Perpu 4/2008 maka pertimbangan hukum Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Pebruari 2010 a quo, menurut Mahkamah, mutatis mutandis juga berlaku bagi pengujian Perpu yang diajukan oleh para Pemohon.
Uraian di atas adalah dasar (menurut) Mahkamah Kosntitusi untuk melakukan pengujian terhadap PERPU, khususnya Perpu JPSK (Perpu Nomor 4 Tahun 2008). Dalam putusan tersebut sangat jelas dikatakan “bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang”. Kutipan alasan di atas adalah esensi mengapa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian terhadap Perpu.
Penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi kurang tepat jika kita memahaminya secara positifis. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penfasir konstitusi berdasarkan penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Menguji Undang-undang terhadap UUD
2. Memutus sengketa kewenangan lemabaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar
3. Memutus pembubaran prtai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu
5. Memutus hasil pemilu kepala daerah

Mahkamah Konstitusi juga memiliki suatu kewajiban, kewajiban tersebut adalah: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar. Kewajiban Mahkamah konstitusi tersebut bisa juga dikatakan sebagai Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pengujian Mahkamah Konstitusi terhadap Perpu adalah bentuk ke-“keliruan” Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut juga dinyatakan oleh guru besar Hukum Tata Negara Prof. Harun Al-Rasyid. Prof Harun Al-rasyid menyatakan, bahwasanya Mahkamah Konstitusi tidaklah berwenang menguji Perpu, karena perpu tersebut masih harus dibawa ke DPR untuk selanjutnya di bahas di DPR dalam sidang berikutnya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan menguji Perpu terhadap UUD 1945.
Alasan mengapa MK berwenang menguji Perpu sebagaimana yang tertera di dalam landasan putusan pengujian Perpu JPSK (bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang) adalah berdasar pada UU No.10 Tahun 2004, karena di dalam UU tersebut dikatan “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perpu ialah sejajar dengan Undang-undang”.
Artinya jika Mahkamah Konstitusi menguji Perpu berarti kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji ialah berdasar pada UU No. 10 Tahun 2004. Sedangkan yang menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD sebagaimana tertulis secara sangat jelas di dalam UUD Pasal 24 C dan bukan menguji UU terhadap UU lainya.
Tafsir Mahkamah Konstitusi (secara normatif) sebagaimana yang telah diungkapkan di atas “sudah jauh melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi”, mengingat juga dalam UUD 1945 Pasal 22 yang mengatakan bahwa perpu adalah suatu peraturan yang nantinya harus dibahas lagi di DPR, jika mendapat persetujuan maka ia akan menjadi undang-undang, namun jika tidak disetujui maka ia tidak dapat diberlakukan lagi. Keputusan Mahkamah Konstitusi menguji Perpu juga akan menimbulkan kekacauan pengujian perundang-undangan, mengingat Perpu juga harus di uji oleh DPR. Suatu hal yang sangat sulit dipercaya apabila yang dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi di dalam penegakan keadilan yang substantif adalah Mahkamah Konstitusi sendiri “melanggar atau menerabas” konstitusi bangsa Indonesia.
Dikatakan juga secara tegas oleh Prof. Harun Al-Rasyid bahwa, keputusan Mahkamah Kosntitusi dalam pengujian perpu adalah suatu hal yang sangat salah, terlepas apapun keadaanya. Kita sebagai warga negara tidak harus menuruti putusan Mahakamah Konstitusi terkait putusan terhadap pengujian perpu (khususnya Perpu Nomor 4 Tahun 2008), karena kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan bukan UU terhadap UU atau Perpu terhadap UUD. Tanpa kewenangan di dalam pengujian perpu, maka sudah pasti putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian perpu tidaklah mengikat atau bisa dikatakan putusan Mahakamah Konstitusi terkait pengujian perpu khususnya mengenai perpu JPSK tidaklah sah putusannya.
Harus di ingat, seperti yang dikatakan oleh Moh. Mahfud MD, MK hanya boleh menafsirkan isi UUD sesuai dengan orginal intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkanya. Mahkamah Konstitusi hanya boleh menyatakan sebuah UU bertentangan atau tidak dengan UUD dan juga tidak boleh memasuki ranah legislatif (ikut mengatur) dengan cara apapun. Pada umumnya pembatasan tersebut dikaitkan dengan pengertian bahwa DPR dan pemerintah adalah positive legislator (pembuat norma), sedangkan MK adalah negative legislator (penghapus dan pembatal norma).
Terkait mengenai pengujian terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK jika kita bersandar pada Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 mengenai Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang berwenang menguji Perpu terhadap UUD. Namun menjadi problem yang cukup rumit karena dikatakan dalam Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 bahwasanya putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya tanpa ada suatu kewenangan baik dalam UUD atau UU apapun putusan Mahkamah Konstitusi akan tetap berlaku (berdasar pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003).
Perlu kajian yang lebih mendalam mengenai problematika terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian suatu produk peraturan perundang-undangan yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Prof. Harun Al-Rasyid menyatakan, bahwa ketika Mahkamah Konstitusi tidak memiliki alas hak atas suatu putusan atau suatu pengujian, maka putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah mengikat sebagaimana di katakan dalam Pasal 47 UU No. 23 Tahun 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum dan mengikat jika ada alas hak Mahkamah Konstitusi dalam menguji peraturan perundang-undangan tersebut.
Secara tegas UUD 1945 memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun sayangnya tidak secara tegas UUD mengatur batasan atau larangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Pada dasarnya problem tersebut hanyalah mengenai masalah tafsir yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Tafsir yang boleh dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah sesuai dengan orginal intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkanya. Penjelasan tersebut memberi gambaran yang sangat jelas dalam jajaran teori, bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang berwenang karena tafsir yang digunakan berdasar UU No. 10 Tahun 2004. Tanpa kewenangan di dalam memutus, maka jelas juga secara teoritis bahwa putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak memiliki kekuatan hukum dan mengikat.
Lahirnya problem ini tentu mencerminkan ke tidak sempurnaan UUD 1945 atau Konstitusi bangsa Indonesia di dalam memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Konstitusi. Sebagai suatu pembelajaran bagi kita semua hendaknya kedepan, Mahkamah Konstitusi juga harusnya ada batasan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih tegas lagi, agar nantinya tidak ada lagi “pelanggaran atau penerabasan” wewenang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.


Bersama "Membunuh" KPK

Setelah merasakan kemerdekaan selama +69 tahun, bangsa ini tidak juga mengunjungi yang namanya Keadilan, Kesejahteraan, dan kemaslahatan. Setelah tumbangnya rezim otoriter setelah 32 tahun, bangsa Indonesia melalui Konstitusinya mempertegas keberadaan Hukum sebagai dasar bernegara, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Pasca amandemen UUD 1945 tersebut secara tegas bangsa Indonesia secara Normatif harus berjalan berdasarkan Hukum yang telah dibuat ataupun nantinya akan dibuat oleh para wakil rakyat.
Sebagai wakil rakyat sudah sepatutnya para anggota legislative membuat aturan atau Hukum berdasarkan amanah hati nurani rakyat, namun juga perlu di ingat, bahwa hokum hanya sebuah cara atau jalan untuk mencapai suatu tujuan atau tujuan dari Negara tersebut, yaitu keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan. Perlu juga dipahami oleh seluruh elemen bangsa Indonesia, bahwasanya Hukum itu ada untuk manusia dan bukan sebaliknya, artinya segala sesuatu tentang Hukum haruslah bertujuan untuk mewujudkan keadilan dimasyarakat.
Sempitnya pola pikir dan kurangnya pendidikan moral didalam membangun Hukum Indonesia akhir-akhir ini menjadi permasalahan yang sangat serius. Beberapa akibat yang terjadi akibat kurangnya pendidikan moral tersebut akhir-akhir ini terlihat dengan sangat jelas dalam potret penegakan hukum Di Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui, akhir-akhir ini media di indoensia diramaikan oleh perang antara Cicak (KPK) melawan Buaya (Polri). Keadaan seperti ini sebelumnya sudah dikatakan oleh Presiden Indoensia pertama kali didalam salah satu pidatonya “Tugasku sangatlah mudah, karena hanya berperang mengusir penjajah dari Indonesia, tetapi tugas kalian sangatlah susah karena kalian akan berperang sesama bangsa Indoneisa”.
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dipaksa menangis dengan tragedi yang sangat luar biasa hebatnya, yaitu tragedi “Genoside Peradilan”. Kata genoside biasanya digunakan dalam makna pembantaian terhadap suatu suku atau rasa tau sekian banya manusia, namun pada kali ini kata genoside di gunakan dengan makna sama namun Objek yang berbeda. Objek pada genoside peradilan adalah para aparat penegak hukum. Sebagai suatu alat atau cara mencapai tujuan, hukum berdiri ditengah masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia tentunya yaitu Keadilan, Kesejahteraan, dan Kemaslahatan.
Perseturuan KPK dan Polri sangatlah menyita perhatian bangsa Indonesia. Penyelesaian dari permasalahan ini pun tak kunjung usai, pro dan kontra selalu saja timbul, baik dalam diskusi kacangan, samapai dikusi Tahap nasional. Bahkan beberapa waktu lalu sempat terjadi bersitegang antara Komisi 3 DPR RI dengan salah satu Advokat ternama Oc Kaligis. Dimana dari perdebatan tersebut dapat kita lihat, betapa “buruknya” Hukum Di Indonesia. Realita seperti ini sangatlah bertolak belakang dengan salah satu sosiolog Hukum, Prof. Sajipto Raharjo. Beliau mengatakan didalam salah satu bukunya yang berjudul Biarkan Hukum Mengalir “Berikan aku 10 orang penegak Hukum yang baik, dengan Hukum yang buruk Niscaya aku dapat mewujudkan keadilan”.
Didalam Buku yang ditulis oleh Prof. Sajipto Raharjo, yang berjudul Hukum dan prilaku beliau mengatakan, Prilaku atau Hidup yang baik adalah dasar Hukum yang baik. Berdasarkan buku tersebut, dapat kita simpulkan secara primordial, bahwa Perilaku bangsa Indonesia sangatlah buruk, itu tercermin dari Hukum yang ada di Indoensia, seperti yang kita lihat saat ini. Bururknya system hukum Di Indonesia berakibat sangat fatal, diantarnya :
1. Tidak ada lagi Masyarakat yang taat Hukum
2. Berjalannya Negara akan sangat karut marut
3. DisIntegrasi bangsa Indoensia
Dari ketiga penjelasan diatas, mungkin akibat yang paling fatal adalah terjadinya DisIntegrasi bangsa Indonesia, Nauzubillah.
Dari beberpa perdebatan yang terjadi sebenarnya kitapun dapat mengambil suatu Konstelasi yang menjadi episentrum dari permasalahan tersebut. Perdebatan yang terjadi selama ini untuk penyelesaian kasus Cicak melawan Buaya adalah Paham Positivistik dan Nurani Keadilan. Mengapa demikian?
1. ANGGODO BEBAS, Bukti “Bobroknya” Penegakan Hukum...!!!
Bebasnya Anggodo dari proses Penyelidikan oleh kepolisian dengan alas an tidak adanya bukti permulaan yang cukup menjadi suatu tanda Tanya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Bukankah sudah jelas apa yang telah didengar oleh seluruh masyarakat Indoneisa dalam rekaman yang telah diputarkan oleh Mahkamah Konstitusi? bahwasanya peran Anggodo sangatlah sentral didalam memimpin genoside Peradilan. Lantas mengapa ia bias di bebaskan? Alas an yang mengejutkan keluar dari POLRI, bahwasanya Anggodo tidak terbukti bersalah dalam skenario Penghancuran KPK...(POSITIVISTIK).

2. Nurani Hakim Konstitusi, wujud Progresifitas penegakan Hukum...
Progresifitas penegakan Hukum telah berhasi dicatat oleh bangsa Indonesia, progresifitas ini adalah sebagai bukti dari apa yang telah dikatakan oleh Prof. Sajipto Raharjo, bahwasanya tujuan dari adanya Hukum salah satunya adalah untuk keadilan. Ini terbukti dari landasan Mahkamah Konstitusi didalam memutar rekaman hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Anggodo W dengan beberapa Petinggi lembaga Negara RI. Prof. Dr Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi dengan berlandaskan Nurani mengatakan, relevansi dari pemutaran rekaman tersebut dengan Judicial Rieview adalah sebagai salah satu bukti, bahwasanya ada dugaan pelemahan KPK, lantas apa buktinya ada upaya Pelemahan KPK? Dan bukti tersebut adalah rekaman yang dimiliki oleh KPK itu. Jika kita telaah lebih mendalam, aturan yang mengatur secara tertulis tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutar rekaman tersebut maka tidak akan ditemukan, dengan demikian landasan yang di ambil oleh Hakim Konstitusi adalah landasan Nurani untuk membongkar scenario besar yang telah menghancurkan wajah Hukum Indoneisa. Untuk mewujudkan keadilan hanya dengan Hukum tertulis, ini hanya akan menjadi mimpi. (NURANI KEADILAN)

Berdasarkan beberapa kajian singkat diatas, dapatlah kita lihat, bahwasanya di bangsa Indonesia ini telah terjadi Genoside Peradilan, dimana beberapa aparat penegak Hukum telah berhasil dibumihanguskan oleh Seorang Anggodo W. Betapa sedihnya bangsa ini karena memiliki Oknum penegak Hukum yang “Murahan” (tidak memiliki Integritas yang tinggi). Para penegak hukum yang seharusnya dapt menjadi sandaran rakyat atas tegaknya kedilan di Indonesia, saat ini tidak lain hanya sebagai mafia-mafia yang bergabung untuk melakukan Pembasmian terhadap Keadilan. Pembasmian inilah yang saat ini harus segera di lawan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Hakim Konstitusi dapat dijadikan contoh yang sangat baik bagi seluruh aparat penegak Hukum di Indonesia, bahwasanya tidak selamanya Hukum itu harus tertulis, karena filosofi dari hukum tersebut adalah terwujudnya Keadilan, Kesejahteraan, dan Kemaslahatan.

Pendidikan dan cita anak bangsa

Permasalahan dunia pendidikan selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah lepas dari yang namanya dunia pendidikan. Berbicara masalah pendidikan adalah membicarakan tentang bagaimana mengembangkan suatu manusia menjadi sesuatu yang mulia dan itulah hakikat dari Khalifah Allah dimuka bumi. Didalam dunia islam misalnya, pendidikan menjadi hal yang niscaya bagi seluruh umat manusia khususnya umat islam agar manusia tersebut mampu menjalani kehidupannya dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia lainnya.
Sebagai insan , manusia didalam berpendidikan menanamkan nilai moral, spiritual, dan intelektual adalah keniscayaan . Ke tiga hal tersebut adalah hal sangat mendasar yang akan menjadi pondasi awal manusia didalam berkehidupan. Pada hakikatnya manusia sebagai insan mempunyai tiga hal dasar yang fundamen didalam jiwa manusia, yaitu : Kesadaran diri, Kehendak bebas, dan Kreatifitas . Pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses, karena pada dasarnya manusia adalah insan dan bukan tetap (basyar), karena jika pendidikan adalah suatu hal yang tetap maka manusia akan kehilangan kodratnya sebagai insan, dan menjadikannya tidak berbeda dengan binatang.
Tujuan pendidikan di indonesia hingga detik ini pun masih belum jelas akan menghasilkan makhluk yang seperti apa nantinya, namun diluar permasalahan tersebut manusia Indonesia sekalipun masih banyak yang belum paham apa fungsi dari pendidikan tersebut. Sehingga paradigma yang terbangun adalah bagaimana setelah seluruh peserta didik dapat menyelesaikan pendidikannnya secara cepat dan mendapat nilai materil setinggi-tingginya dan mengesampingkan penanaman nilai kemanusiaan yang seharusnya ada didalam jiwa para peserta didik. Acapkali dengan keadaan tersebut menghasilkan pandangan bahwa mengenyam jurusan yang menjanjikan seperti Kedokteran, Ekonomi, Hukum, dll akan mengangkat perekonomiaan pribadi dan golongan, karena kaya dan menjadi orang kaya adalah tujuan buruk yang tidak bisa dilepaskan dari beberapa manusia, khususnya masyarakat Indonesia.
Pendidikan sebagai suatu proses merupakan kebutuhan dasar manusia. Tak pernaha ada didunia ini manusia yang tidak ingin mengenyam dunia pendididkan. Dalam konteks kekinian, yang menjadi problematika saat ini adalah tidak sedikit masyarakat indonesia yang mampu mendidik anak-anaknya melalui jalur-jalur formal (Sekolah) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sudah pasti ketika makin banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak mengenyam dunia pendidikan maka nasib bangsa kedepan sudah pasti dapat kita lihat dari sekarang. Pendidikan melalui jalur formal memberikan suatu kepastian bagi seluruh masyarakat indonesia khususnya para peserta didik untuk mendapatkan harta dan kekayaan yang sebesar-besarnya, karena kaya dan menjadi orang kaya masih menjadi pilihan sebagian besar warga Indonesia.

Hukum yang membingungkan

Kian terpuruknya bindonesia sebagai bangsa akhir-akhir ini menjadikan kita sebagai warga negara apatis dan hilang kepercayaan untuk ber-negara. Kian banyak upaya untuk menyelamatkan bangsa ini, hanyalah sebuah kamuflase yang tidak lain hanya untuk menghambur-hamburkan keuangan negara, yang tentunya berdempak kian banyaknya warga Indonesia yang mati kelaparan. Keadaan seperti ini tentunya akan menguntungkan pemerintah, karena dengan kian banyaknya warga miskin yang meninggal akan mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
Buruknya kepemimpinan bangsa ini, menjadi contoh baik untuk menghancurkan harga diri dan martabat bangsa Indonesia kedepan. Bisa kita katakan tiada permasalahan besar yang tidak pernah hilang dari dinamika kebangsaan kita. Alih-alih ingin menyelamatkan namun malah membuat keadaan kian terpuruk,mungkin itulah kata yang paling tepat dengan keadaan saat ini. Perlahan dengan kondisi yang seperti ini selalu terjadi, disintegrasi bangsa menjadi suatu hal yang niscaya bagi bangsa Indonesia, atau bisa dikatakan menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk.
Penindasan terhadap keadilan dalam konteks ke-kini-an merupakan hal lumrah saja terjadi, bahkan akan lebih tepat jika menindas keadilan adalah hal yang wajib. Bagaimana tidak? Realita mafia hukum di Indonesia beberapa detik ini kian menunjukan, sudah sepatutnya bangsa ini gulung tikar. Kata-kata “Berdasarkan aturan Hukum” menjadi apologi primadona bagi aparat penegak hukum saat ini (oknum). Sebagai kamuflase menyelamatkan bangsa Indonesia dari mafia Hukum, pemimpin bangsa ini membuat satgas Mafia Hukum. Kehadiran Satgas Mafia Hukum boleh kita apresiasi, namun jangan berlebihan karena ada beberapa fakta unik yang terungkap pasca adanya Satgas Mafia Hukum, yang diantaranya adalah :
1. Melemahkan peran KPK di dalam mengungkap Kasus Korupsi, khususnya di Direktorat Perpajakan
2. Cukup banyak kasus yang terbongkar pasca kelahiran Satgas Mafia Hukum, boleh kita tafsirkan menjadi 2 hal :
a. Memang mafia Hukum ada
b. Mafia Hukum memang diadakan

Bangsa Indonesia akhir-akhir ini dikejutkan dengan hilangnya uang rakyat di direktorat pajak sebesar 25 Milyar. Problem tersebut tentunya mengembalikan amarah masyarakat Indonesia, khususnya para mahasiswa . Munculnya Satgas Mafia Hukum menjadi penglima pemberantasan mafia Hukum boleh dipandang sebagai salah satu upaya pelemahan KPK oleh Pemimpin bangsa dan sebagai pencitraan pemimpin bangsa akan kekuatannya melawan Korupsi. Bangsa ini sudah cukup familiar dengan adanya KPK (Komisis Pemberantasan Korupsi), namun pasca serangan umum terhadap para petinggi KPK yang berakhir dengan upaya damai secara politik, menjadi suatu bukti kuat bagi seluruh elemen bangsa Indonesia yang masih mempunyai hati nurani, bahwa drama tersebut adalah salah satu drama yang dilakukan untuk menjatuhkan KPK sebagai lembaga common enemy bagi para koruptor yang sebagian besar adalah pejabat Negara.
Bnagsa indonesia adalah bangsa yang berdasarkan Hukum , di mana Hukum adalah sebagai salah satu alat untuk menggapai keadilan, namun ketika Hukum harus dihadapkan pada suatu proses Politik, maka Hukum berada di pihak yang lemah. Penegakan hukum adalah salah satu proses dati tercapainya keadilan, Hukum tidak boleh dipandang sebagai suatu Proses yang sudah jadi, malinkan harus dipandang sebagai suatu proses yang menjadi.
Pasca pemilu 2009 usai, dapat kita saksikan bagaimana bangsa ini telah memilih. Baik memilih wakilnya sebagai legislatif, maupun memilih wakilnya sebagai Presiden (Exsekutiv). Pemilihan oleh rakyat adalah salah satu derivasi dari sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia tentang demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Suara mayoritas menjadi suara tuhan yang tak dapat dielakkan lagi legitimasinya. Sebagai konsekwensinya, yang mendapatkan suarua terbanyak adalah pemenang, dan langkah yang diambil oleh partai pemenang tersebutlah yang dipandang langkah terbaik bagi bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, partai Demokrat mendominasi pada pemilu 2009. Baik dalam pemilihan Legislatif, maupun didalam pemilihan eksekutif. Sebagai suatu konsekwensinya, bangsa ini di jajaran eksekutif maupun legislatif terhegemoni oleh parta Demokrat. Bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila kedepannya partai Demokrat akan menjadi rezim orde baru jilid II. Pada tulisan kali ini, penulis bukan ingin ber su’udzhon terhadap partai Demokrat, namun lebih kepada antisipasi (prefentif), agar kedepannya bangsa Indonesia tidak lagi terpuruk dijurang yang sama (rezim orde baru), diamana kekuasaan dijadikan alat untuk menguntungkan pribadi dan golongan semata.
Didalam Konstitusi bangsa indonesia dikatakan, usul perubahan atas UUD 1945 dapat di agendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari anggota MPR . Mengapa UUD memiliki banyak kekurangan? Karena pembuatan UUD/UU adalah proses politik. Semestinya ada suatu badan yang memiliki kewenangan yang dapat membuat Konstitusi lebih baik dan bersifat Visioner, agar UUD/UU yang pada dasarnya merupakan garda terdepan visi bangsa Indonesia tidak hanya menguntungkan beberapa pihak saja, melainkan mementingkan kepentingan bangsa Indonesia jauh kedepan, kemudian dilegitimasi oleh MPR karena kewenangannya menurut Konstitusi.
Ada 4 point yang seharusnya terkandung didalam suatu Konstitusi/UU, yaitu:
1. Isinya harus mengandung suatu Kondisi empirik,untuk apa kita membuat suatu UU apabila tidak cocok dengan kondisi empirik? Sekalipun kita bukan termasuk negara yang menganut paham UU sebagai Hukum primer.
2. Tidak boleh bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Tetapi wujudnya sebagai staat fundamental norm(falsafah itu). Harus ada didalam sistem Hukum kita
3. Kontitusi/UU yang dibuat harus bersifat progress, harus dapat melihat jauh kedepan.
4. Harus melindungi Hak asasi manusia
5. Harus memuat amanat keadilan

Demokrat Heavy
Pasca pemilu 2009, keadilan masih menjadi harapan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mimpi akan keadilan tersebut bagaikan sungai yang tak bermuara dan lautan yang tak bertepi. Kemenangan mutlak partai Demokrat menjadi sebuah catatan sejarah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Baik legislatif, maupun eksekutif pada periode kali ini telah di Hegemoni oleh partai Demokrat. Lantas kita patut bertanya, apakah partai Demokrat dapat mengakomodir kepentingan rakyat yang bukan pendukung partai Demokrat? Apabila sebelum amandemen UUD 1945, bangsa Indonesia dalam keadaan Eksekutif Heavy, dan pasca amandemen sebanyak empat kali bangsa Indonesia dalam keadaan Legislatif Heavy, namun dengan kemenangan mutlak partai demokrat, apakah bangsa Indonesia akan mengalami Demokrat Heavy?

Indonesia dan Demokrasi
Demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia pada saat ini mengalami beberapa pergeseran yang sangat mendasar. Sistem Demokrasi yang sebenarnya sudah ada dan melekat pada bangsa Indonesia, yaitu musyawarah. Tetapi oleh orde baru diselewengkan menjadi musyawaraf mufakat, jadi mufakat dulu baru musyawarah, kalo perlu tidak usah musyawarah sekalian. Bukan suatu hal yang mustahil apabila dengan meng-hegemoni-nya partai Demokrat didalam kepemimpinan bangsa Indonesia kedepan, bangsa Indonesia dapat saja mengulang sejarah kejayaan orde baru, dan mewujudkan orde baru jilid II. Karena, syarat tentang kekuasaan atau masa jabatan Presiden Indonesia seperti yang ada di Konstitusi bangsa Indonesia hanyalah lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Bukan hal yang tidak mungkin terjadi, Hegemoni partai Demokrat didalam legislatif dapat saja mengajukan suatu perubahan atas UUD 1945, atau amandemen UUD 1945. Mengingat syarat didalam Konstitusi yang mengatakan usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan sekurang-kurangnya oleh 1/3 dari jumlah anggota majelis atau +175 Anggota DPR (apabila jumlah anggota DPR 550 orang), dan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang majelis Permusyawaratan rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 atau +366(apabila jumlah anggota DPR 550 orang) dari jumlah anggota MPR , serta putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen plus satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat .

Hukum Itu Progress
Bila kita menelaah lebih mendalam lagi, ada hal yang dapat kita katakan sebagai suatu kecelakaan ganda. Berdasarkan syarat diatas dan didukung keputusan bahwasanya negara Indonesia adalah negara Hukum yang dimana Hukum diartikan sebagai suatu aturan tertulis, maka lengkaplah sudah segala persyaratan untuk mengembalikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang akan dikuasai oleh satu golongan saja. Bisa saja dikatakan bahwasanya ini adalah suatu kecemasan yang berlebihan, namun perlu kita ingat baik-baik, paradigma dari hukum kita adalah Rule Of Law dan bukan Rule Of Morality ataupun Rule Of pancasila yang merupakan semangat dasar bangsa Indonesia , jadi Hukum itu akan berjalan apabila sudah ada aturan Hukumnya terlebih dahulu, dan Hukum tertulis adalah hukum tuhan yang seharusnya diterapkan. Inilah paham positifistik yang akhir-akhir ini akan membinasakan bangsa Indonesia.

DPR itu wakil Rakyat,
Tentunya, segala macam upaya haruslah kita tempuh untuk mengatasi segala macam keterpurukan bangsa ini. Namun, perlu kita ingat kembali sebagai seorang rakyat, DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat ialah lembaga legislatif yang harus dapat mengakomodir suara warganya, dan bukan hanya suara golongannya saja. Didalam melaksanakan tugasnya, DPR juga harus mampu mengawasi jalannya pemerintahan, tidak hanya pada setelah suatu kegiatan itu selesai, namun juga pengawasan terhadap rancangan sebelum kegiatan itu dilaksanakan .
Melekatnya kewenangan tersebut sebenarnya menjadi ekspektasi bagi rakyat Indonesia terhadap wakil nya di DPR untuk mengawasi jalannya Pemerintahan, namun cukup mengenaskan, ternyata tidak ada pengaturan yang lebih lanjut mengenai pertanggung jawaban wakil rakyat terhadap rakyatnya, dalam artian apapun yang dilakukan oleh wakil rakyat baik itu dalam hak angket sekalipun, dewan perwakilan rakyat tidak ada pertanggung jawaban secara khusus kepada rakyat Indonesia, dan ini yang sering menyebabkan hak angket yang notabennya adalah hak yang mengakomodir suara rakyat untuk mengatasi permasalahan bangsa Indonesia yang dimiliki oleh DPR, sering kali kandas ditengah jalan bagaikan macan yang ompong.

23 Januari 2010

Hak EKOSOB ICESCR 1966

Pengantar
Manusia adalah subjek hukum yang memiliki martabat yang paling tinggi. Setiap manusia memiliki hak dasar yang paling hakiki yaitu hak untuk hidup. Pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terpisahkan dari semua manusia, merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. Beberapa hak manusia yang hakiki adalah dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya (ekososbud). Dalam negara indonesia hak tersebut diatur dalam UUD 1945. Sedangkan dalam peraturan internasional pengaturan terhadap perlindungan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya (Ekososbud) ini lahir dari sebuah Deklarasi yang dikeluarkan PBB melalui Majelis Umum yang disebut dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right atau UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam pelaksanaannya, Deklarasi ini melahirkan dua instrumen penting yang mengatur ketentuan HAM, yaitu the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dimaksukkan sebagai kategori generasi HAM pertama oleh Karel Vasak; dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang dikategorikan sebagai generasi HAM ke dua.
Lahirnya HAM generasi ke dua ini tidak lepas dari peran serta Franklin Delano Roosevelt selaku presiden Amerika Serikat pada saat itu yang dilatarbelakangi oleh terjadinya depresi besar yang melanda Amerika Serikat dimana selama tiga tahun angka pengangguran di Amerika membumbung dari empat juta sampai dua belas juta orang pertahun. Maka dalam pembahasan ini akan diuraikan hubungan antara hak asasi manusia dengan hukum ekonomi internasional. Hubungan ini telah menarik cukup banyak perhatian para sarjana hukum. Perhatian ini muncul karena individu berhak atas hak asasi manusia (HAM), termasuk di dalamnya hak asasi manusia atas ekonomi. Hak ini dalam hukum internasional adalah salah satu hak yang cukup fundamental. Hal ini agak timpang karena sebenarnya hak – hak ekonomi negara ini pada analisis akhirnya akan berpengaruh terhadap hak – hak asasi manusia atas ekonominya.
Jacquart menyatakan dalam tulisannya bahwa dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dan berbagai perubahan dalam bidang politik dan ekonomi pada abad ke 19 dan 20 telah mengubah potret hubungan politik dan ekonomi antara individu dengan negara. Oleh karena itu, beliau menegaskan perlunya memperjelas hak – hak asasi manusia dalam konteks dan wacana yang baru. Sarjana hukum ekonomi internasional terkemuka, Ernst-Ulrich Petersmann menyatakan bahwa pada abad ke 20 mengalami “Revolusi HAM” yang merubah potret antara lain hukum ekonomi internasional. Hal ini bukan saja merupakan suatu perkembangan penting tetapi juga membutuhkan kajian – kajian mendalam tentang implikasi dari perkembangan revolusi HAM ini.
Perubahan penting lainnya yang terjadi dewasa ini adalah cukup banyaknya konstitusi (UUD) di berbagai negara di dunia yang semakin mengakui hak asasi manusia atas ekonomi. Pencantuman hak ekonomi ini menunjukkan semakin pentingnya hak asasi manusia atas ekonomi (termasuk dalam kaitannya dengan hukum ekonomi internasional).Instrumen yang juga penting dalam mengatur hak atas ekonomi ini adalah Pasal 55 Piagam PBB. Pasal ini antara lain mewajibkan PBB untuk memajukan penghormatan termasuk memajukan penaatan terhadap HAM, termasuk HAM atas ekonomi. Pasal 55 Piagam PBB memuat tujuan PBB yaitu memajukan “higher standards of living, full employment and condition of economic and social progress and development; solutions of internasional economic, social, health and related problems and international cultural andeducational cooperation”
Perlu dikemukakan disini bahwa HAM yang ditegaskan dalam UDHR bukan saja HAM klasik, yaitu hak – hak sipil dan hak – hak politik. UDHR juga mengakui hak – hak ekonomi, sosial dan budaya (pasal 22 – 27).
Hak atas ekonomi ini menuntut perlunya perlindungan yang selayaknya. Antara HAM dan hak atas ekonomi ini memiliki kaitan yang cukup erat. Sehingga ada sarjana, misalnya Booysen menyebut hak asasi manusia ini dalam kaitannya dengan hukum ekonomi internasional sebagai international economic human rights. Sedangkan Seidl Hovenveldern menyebutnya sebagai “human rights of economic value”.
HAM sebenarnya adalah bidang yang termasuk ke dalam ruang lingkup hukum internasional. Berdasarkan hukum internasional, HAM menciptakan hak dan kewajiban terhadap negara. Berdasarkan penciptaan ini, negara memiliki tugas (duty) untuk mengakui dan menghormati individu – individu atau pribadi – pribadi yang berada di dalam wilayahnya. Disamping itu negara juga memiliki jurisdiksi atas pribadi – pribadi tersebut. Sedangkan menurut Booysen, negara hanya memiliki kewajiban (obligation) terhadap negara lainnya, bukan kewajiban terhadap individu. Argumentasinya adalah, individu bukanlah subjek hukum internasional yang penuh. Ia adalah subjek hukum internasional yang sifatnya terbatas. Karena itu, individu sebenarnya tidak memiliki upaya efektif terhadap negara lain dalam lingkup internasional. Upaya tersebut baru ada apabila secara tegas dinyatakan dan diberikan pada individu tersebut.

B. Substansi ICESCR
Pada awal tulisan ini dinyatakan bahwa Deklarasi Universal HAM(UDHR) tahun 1948 merupakan tonggak sejarah penting bagi pengakuanHAM. Deklarasi mengakui HAM atas hak – hak sipil dan politik, serta hak– hak atas ekonomi, sosial dan budaya. Dalam pelaksanaannya, Deklarasi ini diwujudkan ke dalam duainstrumen penting yang mengatur ketentuan HAM, yaitu :
1. International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan
2. International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).
Keduanya bertujuan untuk melaksanakan prinsip – prinsip dalam Deklarasi Universal HAM menjadi mengikat. UDHR, ICCPR, dan ICESCRdisebut pula sebagai International Bill of Human Rights. Dalam pasal – pasalnya kedua konvenan ini mengikuti UDHR 1948. Keduanya mengatur sistem monitoring yang menurut banyak sarjana agak lemah. Hal ini menunjukkan peran penting UDHR terhadap HAM pada umumnya, dan HAM atas ekonomi pada khususnya. Sehubungan dengan hukum ekonomi internasional, uraian berikut ditekankan pada konvenan mengenai hak – hak ekonomi, sosial, dan budaya (ICESCR) .

1. Hak atas Ekonomi
Hak atas ekonomi ini termuat dalam Konvenan mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak ini menurut Henkin, dikenal sebagai hak general kedua (second generation) dari HAM.
Dari pasal – pasal ICESCR tersurat HAM atas ekonomi, yakni :
a. hak atas pekerjaan;
b. hak atas gaji yang layak dengan pekerjaannya;
c. hak untuk bergabung dengan serikat kerja / dagang;
d. hak untuk istirahat (leisure);
e. hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak (adequate standar of living) yang mencakup makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pelayanan sosial (social services);
f. hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar gratis, dan
g. hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya pada masyarakat.

2. Hak atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan termuat dalam Pasa 6 ICESCR, hak ini merupakan an essential part of the human condition. Penegasan hak ini menurut Jacquart, agak sulit untuk tercapai. Ada dua alasan yang mendukung pendapat beliau. Pertama, meskipun ICESCR menegaskan eksisten hak atas pekerjaan, namun ICESCR juga mengakui adanya hak lain yaitu hak atas jaminan sosial (social security). Kedua, pelaksanaan hak ini sangat bergantung kepada kemampuan pemerintah untuk memberikan pekerjaan kepada warga negaranya. Karena itu, Jacquart berpendapat hak atas pekerjaan ini lebih tepat disebut sebagai hak atas akses terhadap pekerjaan (the rights of access to work).

3. Hak atas Gaji dan Kondisi yang Layak
Hak ini termuat dalam pasal 7 ICESCR. Hak ini terkait erat dengan hak atas pekerjaan. Hak ini juga adalah hak yang sifatnya absolut. International Labour Organization (ILO) telah mengeluarkan berbagai instrumen – instrumen hukum untuk memperkuat hak – hak ini. Instrumen – instrumen tersebut antara lain adalah Convention No 131 dan Recommendation No 135 tahun 1970 yang mengatur penetapan upah minimum.

4. Hak untuk Membentuk dan Bergabung dengan Serikat Kerja / Dagang
Pasal 8 ICESCR memuat hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat kerja. Ketentuan pasal ini merupakan hak yang sifatnya wajib. Dalam arti, negara harus memberi jaminan kepada warga negaranya atau pekerjaanya untuk ikut bergabung dalam serikat – serikat kerja yang ia suka. Termasuk di dalam hak ini adalah hak untuk mogok. Hak ini telah diperkuat oleh berbagai resolusi dan perjanjian internasional yang dirumuskan dalam ILO. Sebagai contoh adalah dikeluarkannya instrumen berjudul Freedom of Association and Protection of the Right to Organize, Convention No. 87 tanggal 9 Juli 1948.

5. Hak untuk Istirahat
Hak ini termuat dalam pasal 7 (d). Pasal ini menegaskan, adalah hak setiap orang untuk menikmati istirahat dari pekerjaannya, termasuk menikmati liburan – liburan (dengan tetap mendapat pembayaran gaji)



6. Hak untuk Mendapatkan Standar Hidup yang Layak (Adequate Standard of Living) yang Mencakup Makanan, Pakaian, Perumahan, Kesehatan dan Pelayanan Sosial (Social Services)
Hak ini tercantum dalam Pasal 10, 11, dan 12 ICESCR. Hak ini khususnya Pasal 11 merupakan the most wideranging and general of the articles in the Covenant. Hak – hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak tercakup pula didalamnya hak perlindungan terhadap keluarga (pasal 10). Pasal 10 ayat (3) bahkan mewajibkan negara untuk menghukum siapa saja yang mengeksploitasi anak kecil khususnya yang menjadikan anak – anak sebagai pekerja. Dalam kaitan dengan hak ini, terdapat pula hak yang juga penting yaitu hak atas makanan, pakaian , perumahan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Ketentuan hak atas pangan ditegaskan dalam pasal 11 ayat 2 yang menyatakan bahwa the fundamental right of the everyone to be free from hunger.
Menurut Jacquart, ketentuan pasal ini mengisyaratkan negara baik secara individu atau bersama – sama dengan negara lain untuk mengambil langkah atau cara – cara yang diperlukan untuk meningkatkan produksi, konservasi dan distribusi makanan. Termasuk pula dalam hal ini, adalah distribusi makanan yang adil bagi dunia sesuai dengan kebutuhannya. Perlu dikemukakakn disini hak atas standar hidup yang layak ini merupakan prasyarat untuk dapat terealisasinya hak – hak atas kehidupan yang lain. Menurut Jacquart, tidak adanya hak ini maka hak – hak ekonomi (dan sosial) lainnya tidak akan tercapai (terpenuhi). Pendapat ini tepat, karena bagaimana mungkin hak – hak ekonomi lainnya dapat dilaksanakan apabila hak – hak yang mendasarnya, yaitu hak atas standar hidup yang layak saja tidak terpenuhi.
ILO telah mengeluarkan berbagai instrumen yang mewajibkan negara (anggota) untuk menghormati hak ini. Instrumen – instrumen
tersebut antara lain adalah :
a. The Universal Declaration on the Eradication of Hunger and Malnutrition;
b. Resolution 41 / 190 tanggal 8 Desember 1986 yang menegaskan hak atas makanan sebagai fundamental human rights yang harus dijamin bagi semua orang. Resolusi ini juga menyatakan bahwa pemberian makanan ini tidak boleh digunakan sebagai alat atau instrumen penekan baik pada tingkat nasional atau internasional.
Mengenai signifikasi atau arti penting hak ini, Matthew Craven menyatakan dengan tepat :
“There is not doubt that the right to an adequate standard of living, including the rights to food, housing and clothing is of paramount importance not least because at minimum levels it represents a question of survival ”

7. Hak atas Pendidikan, Termasuk Pendidikan Dasar Gratis
Hak ini diatur dalam Pasal 13 dan 14 ICESCR. Hak ini sebenarnya adalah pelaksanaan dari Pasal 26 Deklarasi Universal HAM. Ayat 2 Pasal 26 ini menegaskan tujuan dari hak – hak atas pendidikan ini yaitu :
a. mengembangkan personalitas manusia secara penuh;
b. meningkatkan penghormatan atas HAM dan kebebasan – kebebasan manusia (human rights and fundamental freedoms);
c. meningkatkan toleransi;
d. meningkatkan pengertian dan persaudaraan diantara semua negara, ras, kelompok agama;
e. memajukan kegiatan – kegiatan PBB dan memelihara perdamaian.
Hak atas pendidikan ini ditegaskan dalam Pasal 13 dan 14 ICESCR. Khususnya Pasal 14, berdasarkan pasal ini negara peserta diwajibkan untuk membuat rencana aksi untuk melaksanakan secara penuh prinsip pendidikan dasar gratis dan wajib.

8. Hak untuk Ikut serta dalam Kehidupan Budaya pada Masyarakat
Hak ini termuat dalam Pasal 15 ICESCR. Menurut Jacquart, hak ini baru dapat akan dinikmati apabila hak – hak standar yang layak sebelumnya dapat atau telah terpenuhi. Hak ini mencakup hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya, hak untuk memperoleh keuntungan dari kemajuan ilmu pengetahuan, hak perlindungan dari benda – benda artistik, tulisan atau bahan – bahan lainnya (yang merugikan) yang berasal dari ilmu pengetahuan, hak atas kebebasan untuk melakukan penelitian, komunikasi dan informasi.

C. Evaluasi Awal
Generasi kedua HAM yang termuat dalam ICESCR ternyata memiliki berbagai kelemahan, antara lain:
1. Hak ini banyak tergantung kepada kondisi perkonomian dan pembangunan suatu Negara. Hal ini merupakan kelemahan utama dan yang tersulit.
2. ICESCR hanya mengenal sistem pelaporan. Tidak ada ketentuan didalamnya yang membolehkan individu untuk mengajukan petisinya atau memberikan hak kepada suatu Negara untuk mengajukan tuduhan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di negara anggota lainnya.
Rumusan ICESCR ini yang dirumuskan secara tidak mengikat. Karena itu pelaksanaannya tergantung itikad baik dari negara-negara anggotanya. Misalnya, Pasal 2 ICESCR mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk mengambil langkah-langkah yang dapat memungkinkan pelaksanaan hak-hak dalam ICESCR secar maksimum. Tujuannya adalah with a view to achieving progressively the full realization of the rights recoqnized in the present Covenant. Tampak bunyi ketentuan ini lemah.
Menurut Booysen, agar HAM internasional dapat menjadi efektif khusunya bagi individu, proses yang biasa atau dapat dilakukan adalah memberikan hak kepada individu tersebut. Karena itulah, peran Negara untuk memberikan hakhak ini dalam bentuk peraturan perundang-undangan menjadi sangat relevan. Agar hak-hak individu tersebut dapat terlindungi dengan efektif, maka perundang-undangan tersebut juga harus memuat ketentuan bagaimana hakhak tersebut dilindungi. Perlindungan ini antara lain adalah perlindungan melalui badan peradilan nasionalnya .
Namun demikian, keberadaan ICESCR setidakya memberikan dimensi baru terhadap Hukum Ekonomi Internasional dewasa ini. Subjek atau pelaku dalam bidang hukum ini telah cukup berubah dengan semakin diakuinya hak-hak individu dalam bidang ekonomi. Meskipun hak ini belum maksimal dihormati, setidaknya pengakuan terhadap hak-hak ekonomi terhadap individu merupakan sumbangan penting dalam bidang hukum ekonomi internasional.


Daftar Pustaka :
1. Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar
Penulis : Huala Adolf, S.H., LL.M, PhD
2. International Convenant on Economic, Social and Cultural
Rights (ICESCR) 1966 Konvenan Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya



Sejarah Terbentuknya KOnstitusi Islam

A. MADINAH Titik Awal Negara Islam
Madinah adalah kota yang paling tidak stabil, penuh dengan gangguan, dan tidak aman di semenanjung Arab. Tidak seperti Mekkah, ia tidak mempunyai institusi Mala’ atau dewan sesepuh sebagai lembaga arbitrase bagi peperangan antar-suku atau pertentangan antar-etnik. Kondisi yang demikian ini menjadikan penduduk Madinah ingin mencari seseorang yang mampu secara adil mengatasi suku-suku yang berperang dan menjaga kedamaian dan keharmonisan di dalam kota serta menyelamatkan masyarakat dari pertumpahan darah yang tidak berkesudahan.
Faktor sosial-politik inilah yang membuat penduduk Madinah tertarik kepada ajaran Islam dan Nabi saw, seorang yang mereka lihat sebagai hakim yang tidak memihak, hakim yang memang memiliki kebijaksanaan yang luar biasa untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan mereka. Mereka tahu bagaimana Nabi saw menyelesaikan perbaikan Kabah secara adil. Ketika Kabah diperbaiki, maka masyarakat kota Mekkah meminta Nabi saw untuk memutus-kan secara adil tentang bagaimana meletakkan batu hitam ke Kabah. Nabi saw kemudian melepas sorbannya dan menaruh batu tersebut di atasnya, kemudian dimintanya perwakilan dari setiap suku untuk mengangkat batu itu dengan cara memegang sorbannya. Inilah salah satu peristiwa yang membuat Muhammad saw yang belum menjadi nabi terkenal karena kecerdasan dan keadilannya.
Kebutuhan akan pemimpin yang adil ini, membuat masyarakat Madinah ingin mengundang Nabi saw ke kotanya. Mereka tahu bahwa Nabi saw banyak mendapat ancaman di Mekkah. Selama dua tahun lamanya dilakukan perundingan secara seksama, dan masuknya sebagian besar -tidak semua- penduduk dari dua suku Arab kepada Islam, Nabi saw menerima undangan mereka untuk berimigrasi ke kota tersebut. Mereka (penduduk Madinah) harus melindungi Nabi saw dari musuh-musuhnya, suku Quraisy, dan demikian pula Nabi saw mesti memberi mereka kedamaian dan kesatuan melalui persatuan spiritual.

B. Konstitusi Awal Islam
Di awal akan terbentuknya Negara Islam, kaum muslimin saat itu sangatlah menderita akibat tindakan yang dilakukan noleh orang-orang Quraisy, maka terpikir oleh Nabi Muhammad untuk membentuk kekuatan fisik diluar mekkah. Langkah strategis itu dilakukan oleh Nabi Muhammad pada saat musim haji disuatu tempat bernama Jabal Aqobah, untuk mendakwahkan Islam kepada tujuh orang pria Khazraj Yathrib yang kemudian mereka masuk Islam .
Kemudian mereka menyatakan sekembalinya ke Yathrib akan mengembangkan Islam disana, pernyataan ini dikenal dengan Ikrar AQOBAH 1, dan ternyata banyak penduduk Yathrib yang masuk Islam. Terbukti pada tahun berikutnya, datang 12 orang pria lagi dari Yathrib dan berjumpa lagi dengan Nabi di AQOBAH, mereka menyatakan masuk Islam, bersama mereak nabi mengirim Mas’ab Bin Umair untuk mempersiapkan mental dan Fisik agar yathrib menjadi markas Besar umat Islam .
Pada musim Haji berikutnya, datanglah dari yathrib ke Mekkah 72 orang kaum Muslim dan musrik untuk menjumpai Rasul. Mereka mengadakan pertemuan Rahasia pada suatu tengah Malam di jabbal aqobah, dari pertemuan rahasia itu melahirkan sebuah Ikrar yang intinya berbunyi: Demi allah, kami akan membela engkau ya rasull, seperti halnya kami membela istri dan anak Kami sendiri, sesungguhnya kami adalah putra-putra pahlawan yang selaluy siap mempergunakan senjata. Demikianlah Ikrar kami, ya Junjungan. Ikrar ini kemudian dikenal dengan sebuatan Ikrar Aqobah Dua .
Segera setelah sumpah-setia pertama di al-Aqaba tahun 620 M, Nabi saw mulai mengirim pengikut-pengikut setianya dari Mekkah ke Madinah. Sebelum dia sendiri melakukan hijrah pada tahun 622 M, Nabi saw memastikan seluruh kaum Muslim Mekkah harus sudah berpindah dan menetap di sana. Ini merupakan strategi yang hati-hati dan sangat cerdas. Karena, Nabi saw tidak ingin dianggap hijrah ke Madinah sebagai pelarian, melainkan sebagai pemimpin para pengikut setianya sendiri dari suku Quraisy yang berjumlah lebih dari dua ratus orang. Dengan demikian, ketika tiba di Madinah, secara antusias Nabi saw diterima, tidak hanya oleh tuan rumah Madinah, mulai saat ini disebut Anshar atau penolong, tetapi juga oleh pengikut setianya sendiri dari Mekkah, yang kemudian dikenal sebagai Muhajirin atau orang-orang yang berpindah .
Setelah tiga belas tahun perjuangan tanpa akhir, Nabi saw akhirnya berhasil menciptakan masyarakat Muslim terlatih yang secara bebas dan terbuka berkehendak melaksanakan ajaran agamanya. Di Mekkah, orang-orang Islam hanyalah sekelompok pemberontak dan minoritas tertindas yang meyakini agama baru, serta secara sosial, politik, dan ekonomi di bawah dominasi dari mayoritas non-Muslim, Quraisy. Di Madinah, justru sebaliknya, mereka membangun komunitas yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri dalam arti yang sebenarnya. Sebuah komunitas yang kelak akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan institusi-institusi termasuk organisasi pemerintahan.

C. Pembentukan Konstitusi Madinah
Nabi saw selanjutnya memformulasikan sebuah perjanjian (Mitsaq), yang secara umum dikenal dengan konstitusi Madinah, yang pada satu sisi merekatkan ketiga suku Muslim serta klan-klan mereka dalam kerjasama satu sama lain, dan di sisi lain antara suku-suku Yahudi dengan suku-suku Muslim. Perjanjian itu berisi 52 pasal, yang pasal keduanya diulang 20 kali, baik secara penuh ataupun dalam bentuk yang singkat dengan perubahan nama klan atau kelompok yang dimasukkan ke dalam perjanjian tersebut pada tanggal yang berbeda.
Hal yang secara khusus mesti diperhatikan adalah perjanjian itu ditandatangani secara terpisah dan independen oleh klan-klan yang berbeda dari suku-suku tersebut dan tidak ditandatangani oleh suku-suku secara keseluruhan. Kemudian, 32 pasal sisanya dapat dibagi dalam dua bagian, satu bagian berkenaan dengan urusan-urusan umat Muslim saja, sedangkan bagian yang lain berhubungan dengan tanggung jawab bersama, baik Muslim maupun Yahudi sebagai warga negara sederajat. Perjanjian tersebut juga mencakup komunitas pagan yang hidup di dalam dan sekitar kota Madinah, atau yang telah bersekutu dengan salah satu klan Muslim atau klan Yahudi.
Undang-undang yang di sepakati oleh Nabi saw dengan suku-suku di Madinah bukanlah sebuah UU yang jauh dari realitas masyarakat. UU itu mencerminkan realitas geografis, sosial, budaya, dan ekonomi dari suatu wilayah masyarakat. Dengan UU ini, Nabi saw telah berhasil memperkenalkan perubahan yang revolusioner dalam konsep kehidupan sipil masyarakat Arab. Jauh sebelumnya, keseluruhan konsep kehidupan kesukuan didasarkan pada pertalian darah, dan sekarang penekanannya telah dialihkan kepada komunitas yang dibentuk lewat seperangkat kesepakatan yang diterima secara bebas.
Muhammad tidak menyerang secara terbuka independensi dari suku-suku, tetapi dia menghancurkannya secara perlahan, dengan mengalihkan pusat kekuasaan dari suku kepada komunitas; dan walaupun komunitas tersebut terdiri dari kaum Yahudi dan pagan, di samping tentunya kaum Muslim, dia secara penuh mengakui, apa yang gagal diperkirakan rival-rivalnya, bahwa umat Muslim adalah partner aktif, dan segera akan memegang peran utama, dalam negara baru yang didirikan.”
Isi kontitusi itu, memperlihatkan bahwa: (1) munculnya bangsa yang pluralistik secara politik tanpa memandang agama, etnik, atau afiliasi suku; (2) konstitusi tersebut menjamin secara penuh terhadap kebebasan beragama dan kemudian dia liberal dalam fungsinya; (3) dia secara total memberikan kebebasan internal kepada setiap konstituen klan dan sukunya, dan oleh sebab itu dia berkarakter federalistik, dan yang terakhir; (4) komitmen dan loyalitas kepada komunitas mengatasi segala loyalitas lainnya.
Karakteristik konstitusi dasar seperti tersebut di atas, negara Muslim pertama terwujud pada tahun 622 M. Nabi saw adalah, -secara pasti dengan tidak dipersoalkan lagi- kepala negara, dan secara bersamaan dia juga seorang Nabi. Dia telah menjadi pemimpin dari pengikutnya, para imigran Quraisy, seperti halnya para pemimpin dari klan-klan dan suku-suku Madinah.
Pembentukan masyarakat oleh Nabi saw mengindikasikan bahwa tidak ada antagonisme antara keagamaan dan sekuler, spiritual dan temporal, yang suci dan yang profan. Tetapi, kenyataannya, ruang dari aktivitas keduanya, meskipun saling melengkapi adalah berbeda Manusia merupakan makhluk Tuhan dan konsekuensinya sisi ilahiah dan primordial ada dalam fitrahnya sebagaimana Dia berfirman, “Dan Aku telah tiupkan kepadanya ruh-Ku” (QS. 15:29), sementara itu, negara adalah buatan manusia dan secara temporal mesti memperhatikan subyek dari pengalaman manusia dengan perubahan dari ‘ruang-waktu’, dan dalam konteks ‘zaman’ dan ‘generasi’.
Prinsip-prinsip Konstitusi Madinah ini dapat menjadi rujukan bagi pembentukan tatanan negara modern yang pluralis (agama, ras, suku dan golongan) namun menjadikan agama sebagai bagian penting kehidupan bernegara. Mantan Deputi PM Malaysia Anwar Ibrahim ketika menyampaikan pidato kebudayaannya pada Festival Istiqlal 1995 di Jakarta, berjudul “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani” berkata, “Justru itu Islamlah yang pertama kali memperkenalkan kepada kita di rantau ini kepada cita-cita keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis.” Menurut Anwar, “Kedatangan Islam bukan sekedar membentuk pandangan hidup baru yang mengutamakan peranan akal dan pemikiran rasional, namun juga mencakup revolusi ruhaniah dan aqliyah yang juga kemudian menggerakkan transformasi sosial, yaitu secara berangsur-angsur meletakkan asas susunan baru kemasyarakatan dan urusan kenegaraan yang mementingkan kemuliaan derajat insan.”
Masyarakat yang dibangun pada zaman Rasul tersebut identik dengan civil society dalam bahasa modern, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban (civility). Karena itu model masyarakat ini sering dijadikan model sebuah masyarakat modern, sebagaimana yang juga diakui oleh seorang sosiolog kenamaan, Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief (1976). Bellah mengakui, dalam buku hasil penelitiannya ini terhadap agama-agama besar di dunia itu, bahwa masyarakat yang dipimpin Rasulullah saw itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah melakukan lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya.
Dokumen Madinah membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, menurut Hamidullah, Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.
Secara formal Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama, antar sesama muslim, bahwa sesama muslim adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsp bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama.
Akan tetapi secara umum, sebagaimana terbaca dalam teks, piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah secara lebih luas. Ada dua nilai dasar yang tertuang dalam piagam Madinah, yang menjadi dasar bagi pendirian sebuah negara Madinah kala itu. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawwah wal-’adalah) Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip itu lalu dijabarkan dalam dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai universal, seperti konsistensi (i’tidal), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasut) dan toleran (tasamuh).
Dokumen Madinah itu pula umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya .
Oleh sebab itu, dalam negeri Madinah saat itu, walaupun penduduknya heterogen kedudukannya sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan aktivitas dalam bidang sosial ekonomi. Setiap pihak mempunyai kebebasan yang sama untuk membela Madinah tempat tinggal mereka. Masyarakat Madinah yang bernilai peradaban itu dapat dibangun hanya setelah Rasulullah melakukan reformasi dan transformasi ke dalam (inner reformation and transformation) pada individu yang berdimensi aqidah, ibadah dan akhlak. Karena iman dan moralitas menjadi landasan dasar Piagam Madinah.



Hukum Administrasi Negara Sebelum Dan Sesudah Reformasi

LATAR BELAKANG MASALAH
Administrasi negara merupakan pilar penting dalam suatu negara. Begitu juga di negara Indonesia. Administrasi merupakan sebuah subsistem yang pokok dalam kehidupan sistem negara kita. Administrasi menjadi penanggunjawab dalam menjalankan peran birokratisasi di negara Indonesia. Lebih jauh lagi, administrasi negara merupakan media untuk menyalurkan sebuah kebijakan dalam bentuk pelayanan masyarakat.
Masa revolusi, merupakan awal adanya administrasi di negara Indonesia yang memiliki kelemahan dalam kualitas dan efektifitas, terlebih adanya administrasi dalam masa revolusi masih dipengaruhi oleh perkembangan administrasi penjajahan. Masa orde lama diharapkan mampu memperbaiki sistem administrasi negara Indonesia namun masih juga terdapat kekurangan karena sistem pemrintahan yang terjadi saat itu dan kekuatan kalangan tertentu dalam pelaksanaan public policy.
Administrasi negara mengalami perkembangan dalam hal konsep di masa orde baru namun sayangnya hal tersebut tidak diikuti oleh pelaksanaan yang baik. Hal tersebut akhirnya berakhir di masa reformasi dengan adanya perombakan dan perbaikan di berbagai sisi. Proses reformasi administrasi ini masih berlangsung hingga sekarang dan masih mencari model yang sesuai.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan di berbagai bidang agar sistem administrasi masa depan Indonesia merupakan sistem administrasi yang efisien dan mampu melayani masyarakat. Berdasarkan beberapa penelitian menemukan bahwa sistem administrasi negara Indonesia masih memerlukan perbaikan karena banyak terjadi penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan koran Kompas, Selasa 16 Desember 2008 halaman 27 sistem administrasi Indonesia jelek sehingga menjadi sumber korupsi, khususnya sistem administrasi keuangan.
Terdapat berbagai peraturan perundangan yang memberikan celah adanya penyalahgunaan wewenang untuk korupsi yang dilakukan oleh birokrat. Berdasarkan data dari KPU tahun 2007 kasus korupsi yang masuk tahap penyelidikan 68 kasus, tahap penyidikan 29 perkara, dan penuntutan 24 perkara. Indonesia masih berkutat dengan masalah penyakit birokrasi padahal tantangan ke depan sangat berat. Apalagi Indonesia masih tergolong tertinggal dari negara-negara lain. Oleh karena itu layaknya kita harus berlari mengejar kesempurnaan. Indonesia dituntut untuk menciptakan sebuah birokrasi yang efektif dan efisien

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Hukum Administrasi Negara pada masa Orde baru dan setelah reformasi?
2. Bagaimana Kedudukan desa sebelum dan sesudah Reformasi?

PEMBAHASAN
Hukum Administrasi Negara mempunyai kekuasaan untuk mewajibkan semua pihak mengimplementasikan prinsip Good Governance pada aktivitas administrasi Negara sehari-hari, memberikan sanksi dan memberikan kriteria-kriteria yang berkaitan dengan implementasi Good Governance bagi pejabat dan petugas administrasi Negara. Good Governance di dalam HAN sudah merupakan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah. Dengan demikian paradigma yang harus dipegang teguh adalah melayani masyarakat (to serve people).
Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai RUU Program Legislasi Nasional prioritas pada tahun 2007. RUU ini diharapkan dapat menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang cukup revolusioner dan menjadi instrument untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. RUU ini juga akan menjadi hukum materiil bagi Hukum Administrasi Negara di Indoneisia melengkapi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004) yang lebih dulu ada.
Hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma-norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak partikelir. Diantara kedua bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Setelah reformasi dipilih menjadi bagian dari bangsa Indonesia, ada beberapa Konsekwensi yang diterima oleh bangsa Indonesia atau beberapa perubahan yang Fundamental bagi bangsa Indonesia.
Pertama, Implikasi pada sistem administrasi kebijakan publik. Dalam hal Ini, dengan amandemen maka MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan GBHN dan produk perundangan lainnya kecuali dalam rangka pengangkatan presiden dan wakil presiden. Sebagai tindak lanjut dari amandemen tersebut, berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 2004, beberapa Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mengalami perubahan, yakni hilangnya Ketetapan MPR (TAP MPR) dalam tata urutan perundang-undangan.
Kedua, Amandemen menetapkan pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan MPR hanya berwenang melantik saja. Presiden bertanggung jawab kepada rakyat yang diperankan oleh DPR yang memegang fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan serta berbagai hak lainnya. Peran DPR menjadi terlalu kuat bahkan ikut menentukan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar, Panglima TNI dan Polisi yang mestinya menjadi kewenangan Presiden.
Ketiga, Amandemen konstitusi juga telah mengembang biakkan kelembagaan negara dengan lahirnya berbagai lembaga negara tambahan seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi, serta aneka bentuk agen-agen kelembagaan negara pembantu (state auxiliary agencies) dalam wujud puluhan komisi baru. Aneka lembaga negara baru ini selain masih kabur dan saling tumpang tindih dalam kewenangannya. juga berimplikasi luas pada sistem administrasi dan pembiayaan negara.
Keempat, Implikasi pada administrasi perekonomian negara. Penambahan ayat 4, pada pasal 33 UUD 1945 membawa celah kontestasi dalam peramuaan perundang-undangan yang menyangkut perekonomian dan kesejahteraan sosial, Perubahan ini akan menimbulkan tantangan baru bagi administrasi perekonomian negara yang lebih responsif terhadap tuntutan pasar, yang jika tanpa hati-hati bisa merugikan kesejahteraan dan pelayanan umum.
Kelima, Implikasi pada sistem adminstrasi pengawasan dan pertanggung jawaban. Sebelum amandemen, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berfungsi sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Setelah amandemen dinyatakan BPK memiliki perwakilan di setiap Provinsi. Hal ini akan mengakibatkan pembesaran scope BPK di masa depan.
Keenam, Implikasi pada siatem administrasi pelayanan publik. Jika sebelumnya pemerintah pusat lebih berperan dalam pelayanan publik, setelah amandemen pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih dalam pelayanan publik dan menyebabkan sejumlah paradok dalam pemerintahan dan pembangunan.
Dapat kita lihat, bagaimana keadaan bangsa Indonesia berubah sangat signifikan. Menurut Dr. Hj. Ni’matul Huda SH.,M.Hum didalam seminar Nasional yang di selenggarakan oleh HMI FH UII pada Mei 2009, Jika kita melihat dari segi Konstitusi, Konstitusi bangsa Indonesia berubah sebanyak 300%. Hasil ini bukanlah hal yang main-main, Konstitusi sebagai garda terdepan bangsa Indonesia berubah secara total. Untuk lebih menarik lagi, didalam makalah ini akan coba kami sajikan kasuistik perubahan HAN didalam pemerintahan desa.
Proses reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem kekuasaan yang ada dari otoritarianisme menuju demokrasi. Berbeda dengan masa Orde Baru yang menjalankan kekuasaan secara sentralistik-otoriter, era reformasi ditandai dengan digunakannya, dalam tingkat tertentu, prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi sebagai basis acuan bekerjanya kekuasaan. Pergeseran ini dapat dilihat dari pola hubungan antara pusat-daerah seperti yang termaktub dalam UU tentang Otonomi Daerah. Dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 daerah telah diberi keleluasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Perubahan relasi itu bisa juga dilihat pada level desa, dimana upaya-upaya demokratisasi dan desentralisasi secara formal mulai dilaksanakan. Model sentralistik ala UU No. 5 Tahun 1979 yang dipakai sebagai alas yuridis Orde Baru untuk menata desa, dirombak secara mendasar. Regulasi yang baru telah membuka peluang bagi dikembangkannya otonomi yang dihambat secara luar biasa oleh Orde Baru. Pertanyaan yang kemudian muncul dengan hadirnya UU No. 22/1999 adalah apakah UU tersebut membuka ruang bagi pelaksanaan otonomi desa? ataukah sebaliknya, justru menjadi alat yuridis bagi negara untuk menjalankan proyek-proyeknya dalam bungkus yang lebih demokratis?

Mendefinisikan Desa
Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, Secara sosiologis, desa merupakan sebuah gambaran dari suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka (masyarakat) saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam.
Komunitas masyarakat di atas kemudian berkembang menjadi satu kesatuan hukum dimana kepentingan bersama penduduk menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan Atau dalam bahasa Soetardjo Kartohadikoesoemo, “suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang mengadakan pemerintahan sendiri”. Ciri dari masyarakat hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri dengan batas yang sah, berhak mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri, berhak mempunyai sumber keuangan sendiri, serta berhak atas tanahnya sendiri (menurut I Nyoman Beratha).
Dalam konteks inilah kemudian Desa menemukan identitasnya sebagai sebuah kesatuan hukum yang memiliki hak untuk mengurus kepentingannya sendiri, yang dalam bahasa lain disebut hak otonomi. Dengan demikian desa secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk, dimana otonomi yang dimilikinya bukan pemberian pihak lain.

Desa di masa Orde Baru
Kemunculan Orde Baru ditandai dengan motif melakukan pemulihan kehidupan ekonomi yang porak poranda pada masa Soekarno. Keinginan tersebut membawa konsekuensi adanya jaminan stabilitas politik yang berwujud terbentuknya sistem politik yang mendukung transformasi ekonomi serta jika diperlukan mampu dan dapat mengendalikan akibat-akibatnya (terutama dengan menjinakkan oposisi agar jangan sampai “menggangu” pemerintah). Sistem kekuasaan Orde Baru kemudian dijalankan secara sentralistik-otoriter dengan memberikan porsi yang sangat besar terhadap peran negara.
Khusus untuk menata desa, Orde Baru telah melakukan pengaturan-pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa. Dengan mengeluarkan UU No.5/1979 desa oleh Orde Baru dikonsepsikan sebagai “suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatan Republik Indonesia “.
Jika kemudian ditinjau lebih jauh, konsepsi desa Orde Baru merupakan suatu konsepsi desa dalam pengertian administratif. Desa dalam pengertian administratif adalah satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu, suatu satuan masyarakat, dan suatu satuan pemerintahan, yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan. Dengan diartikannya desa sebagai satuan ketatanegaraan yang memiliki satuan pemerintahan memberikan kejelasan arti desa dalam konteks di atas, yaitu desa merupakan bagian dari organisasi pemerintahan, baik horizontal maupun vertikal, yang berada di daerah, baik berdasarkan asas dekonsentrasi maupun desentralisasi.
Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif, UU No.5/1979 juga telah melakukan perubahan-perubahan struktur desa, yaitu :
1. Penyeragaman struktur pemerintahan desa. Ini merupakan strategi dari Orde Baru untuk memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa.
2. Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah nasional. Menempatkan pemerintah desa sebagai rantai akhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintah yang sentralistik. Ini menjadikan desa hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat.
3. Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada Kepala Desa.
Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama Orde Baru atas desa, yaitu pertama, mengarahkan pengertian desa pada sudut administrasi negara. Kedua, menempatkan desa sebagai alat dari pemerintah pusat. Titik inilah yang kemudian merubah arti desa yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan masyarakat hukum adat tertentu bergeser ke arah pengertian/arti desa yang dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan-satuan ketatanegaraan, atau satuan–satuan administratif pemerintahan. Dengan kalimat lain kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom makin lama makin turun karena menjadi subsistem terbawah dari birokrasi pemerintahan nasional. Otonomi asli desa tidak bisa lagi dilaksanakan karena kedudukan desa yang telah berubah menjadi subsistem dari negara.

Desa di era Reformasi
Pada era reformasi, rezim yang baru diliputi persoalan lemahnya legitimasi serta ancaman disintegrasi bangsa akibat adanya keinginan dari beberapa daerah untuk memerdekakan diri, lepas dari Republik Indonesia. Hal di atas direspon oleh pemerintah Habibie dengan mengeluarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang berisi tentang pemberian otonomi kepada daerah untuk mengurus kepentingan dan rumah tangganya sendiri.
Pada UU No. 22/1999 terutama pasal 93-111, pasal-pasal yang mengatur tentang desa, mengandung semangat mengakhiri sentralisasi serta mengembangkan desa sebagai wilayah otonom. Desa dikembalikan statusnya sebagai lembaga yang diharapkan demokratis dan otonom, hal ini terlihat dari pertama, adanya ‘keinginan’ untuk mendudukkan kembali desa terpisah dari jenjang birokrasi pemerintah. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal usul, dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat. Kedua, memulihkan demokrasi di tingkat yang paling rendah dengan pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD).
Berkaitan dengan struktur desa, ada beberapa perubahan yang dibawa oleh UU No.22/1999, yaitu :
1. Penghapusan penyeragaman struktur pemerintahan desa.
2. Pembentukan struktur pemerintahan desa baru yang terdiri atas pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa
3. Pembentukan lembaga perwakilan di tingkat desa dan penghapusan fungsi kepala desa sebaga pusat kekuasaan di desa.
Jika ditinjau secara umum, apa yang telah dilakukan pemerintah pada era reformasi berkaitan dengan regulasi-regulasi yang dibuat bagi desa, telah membawa angin segar atas harapan akan adanya otonomi desa. Harapan bagi terbukanya ruang-ruang pelaksanaan otonomi dan demokratisasi ditingkatan desa telah dipupuk.
Namun demikian dalam UU No. 22/1999 masih juga menyisakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan otonomi di tingkat desa. Pada beberapa pasal dalam UU No. 22/1999 justru membuat orang ragu atas kesungguhan pemerintah untuk benar-benar memberikan otonomi kepada desa. Hal ini didasarkan pada pertama, desa masih dibuat tergantung pada dinamika pembentukan kebijakan kabupaten (pasal 93). Kedua, desa masih harus melakukan tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan kabupaten (pasal 99). Ketiga, pemerintah desa masih ditempatkan sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan (bagian Penjelasan Umum Pemerintah Desa). Keempat, keluarnya Keputusan Mendagri No. 64/1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.
Otonomi Desa sebagaimana yang dikonsepkan dalam UU No. 22/1999 adalah otonomi yang berasal dari “niat baik” negara. Karena sifatnya pemberian maka adanya pasal-pasal yang kontradiktif merupakan hal yang lumrah. Hadirnya UU No. 22/1999 lebih didasarkan atas usaha untuk meredam potensi disintegarasi bangsa dibandingkan sebagai usaha yang tulus dari negara untuk mengembalikan otonomi kepada desa menjadikan otonomi desa yang dikonsepkan dalam UU tersebut bukanlah otonomi desa sebagaimana konsep aslinya, yaitu desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengurusi kepentingannya sendiri.

PENUTUP(KESIMPULAN)
Setelah menganalisa dan membahas beberapa permasalahan diatas, maka dapat disimpulkan, yaitu:
1. Penyelenggaraan pemerintahan Indonesia pada masa orde baru lebih bersifat otoriter, dimana kekuasaan penuh dipegang oleh pemimpin bangsa Indonesia
2. Penyelenggaraan desa pada masa orde baru lebih bersifat ingin menguasai Negara secara keseluruhan, dengan menjadikan desa sebagai subsistem dari pemerintah, dan dimasa reformasi, pemberian otonomi masih sangat setengah hati karena kondisinya pada waktu reformasi ialah untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari dis Integrasi bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD dan SF Marbun
2. Institute for Research and Empowerment (IRE)
3. Harian Umum Pelita, Jumat 23 Oktober 2009
4. Kajian Sekretaris Negara, Rabu 8 Maret 2007
5. Hukum Administrasi Negara, Ridwan HR