Fungsi atau peran dari Mahkamah Konstitusi salah satunya ialah melakukan judicial review. Judicial Review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ialah untuk menjaga konsistensi UUD 1945 dengan peraturan perundang-undangan yang ada di bawah UUD 1945. Hanya saja peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, mengingat bahwa peraturan perundangundangan di bawah undang-undang adalah menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Permasalahan yang serius dalam kajian kali ini adalah pengujian terhadap Perpu No. 4 tahun 2008 tentang Jaringan Pengamanan Sistem Keuangan atau yang lebih familiar disebut dengan Perpu JPSK. Dalam aturan normatifnya perpu adalah suatu peraturan yang bersifat sementara yang lahir hanya untuk mengatasi keadaan “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Karena sifatnya yang sementara itulah perpu perlu diuji melalui mekanisme legislative review. Pengujian legislative review ini dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Perpu yang di tolak oleh DPR maka akan batal atau sudah tidak bisa menjadi landasan hukum kembali, namun bagi perpu yang diterima maka akan menjadi UU. Dalam kajian kali ini penulis akan menyajikan pengujian terhadap perpu yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
A. PENDAHULUAN
Pada Tahun 2008, dengan adanya kasus century, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UUD 1945, mengeluarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengamanan Sistem Keuangan, atau yang biasa disebut dengan Perpu JPSK. Perpu tersebut lahir dengan beberapa pertimbangan Presiden, yang diantaranya ialah:
a. Bahwa dalam upaya menghadapi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional atau menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) adalah suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Adapun tujuan dan ruang lingkupnya adalah untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis dan ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan krisis .
Pencegahan krisis sebagaimana dimaksud di atas adalah meliputi tindakan mengatasi beberapa permasalahan, yang diantaranya adalah permasalahan:
a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik
b. Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan pelunasan FPD yang berdampak sistemik
c. LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas yang berdampak sistemik
Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagaimana dimaksud, maka dibentuklah Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang selanjutnya disebut KSSK. Keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota. Organisasi KSSK adalah organisasi yang lahir berdasarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.
Dalam rangka melaksanakan fungsi penetapan kebijakan pencegahan dan penanganan krisis, KSSK mempunyai tugas yang di antaranya ialah:
1. Mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai berdampak sistemik
2. Menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/LKBB berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik
3. Menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis
Berdasarkan beberapa kewenangannya, maka pengambilan keputusan oleh KSSK untuk menyelamatkan bank century adalah sah secara hukum positif, sebagaimana diamanatkan oleh Perpu Nomor 4 Tahun 2008, karena jika Bank Century tidak segera diselamatkan oleh KSSK maka akan berdampak sistemik (seperti penjelasan pada tugas KSSK).
Pada Rabu, tepatnya pada 29 Oktober 2009 Pemerintah menyampaikan RUU tentang penetapan Perpu JPSK tersebut menjadi undang-undang kepada DPR RI. Namun pada Selasa tepatnya 17 Desember 2009, hasil kurang memuaskan harus diterima oleh pemerintah, dikarenakan Dewan Perwakilan Rakyat menolak terhadap permohonan penetapan tersebut dengan alasan jika Perpu tersebut ditetapkan maka akan berpengaruh pada Anggaran Pembelanjaan Negara (APBN) tetapi tidak dapat diambil tindakan hukum terhadap pejabat yang telah membuat keadaan bahaya tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka perpu tersebut sepatutnya batal demi hukum, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pasal 22 UUD 1945. Namun dalam perjalanannya Perpu tersebut masih dipandang berlaku oleh pemerintah, sehingga Perpu tersebut di uji materil oleh Mahkamah Konstitusi. Secara tegas dalam UUD 1945 Pasal 24 C mengatakan, yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD, dan bukan menguji Perpu atau peraturan perundang-undangan lain di bawah UU terhadap UUD. Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi tentunya menjadi pertanyaan, apakah Mahkamah Konstitusi berwenang terhadap pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)? Mengingat yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945.
B. HUKUM DARURAT NEGARA
Hukum Tata Negara Darurat ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan kehidupan biasa menurut undang-undang. Beberapa unsur yang harus ada di antaranya ialah:
1. Adanya bahaya negara yang patut dihadapi secara luar biasa.
2. Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada.
3. Kewenangan yang biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal.
Wewenang luar biasa itu dalam HTN Darurat itu adalah untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat tersebut dipandang tidak membahayakan lagi. Dikatakan dalam Pasal 12: “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”
Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 22 UUD 1945 :
1. Dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.
2. Peraturan tersebut haruslah mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan yang berikut.
3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah tersebut harus dicabut
Apabila kita melihat kembali pada Konstitusi RIS, bangsa kita juga telah mengatur tentang keadaan darurat negara. Tercermin dalam Pasal 139 & 140 Konstitusi RIS. Dikatakan di Pasal 139:
1. Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan Pemerintah Federal jang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.
2. Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan kuasa undang-undang federasi ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut.
Di dalam Konstitusi RIS Pasal 140 dikatakan :
1. Peraturan-peraturan jang termaktub didalam undang-undang darurat, segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada DPR jang merundingkan peraturan itu menurut jang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang pemerintah.
2. Djika suatu peraturan jang dimaksud dalam ajat-ajat jang lalu, waktu jang dirundingkan sesuai dengan ketentuang-ketentuan bagian jang ini, ditolak oleh DPR, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum.
3. Djika undang-undang jang menurut ajat lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturanja, baik jang dapat dibetulkan maupun jang tidak maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan jang perlu tentang itu.
4. Djika peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat itu dirubah dan ditetapkan sebagai undang-undang federal, maka akibat-akibat perubahanja diatur pula sesuai dengan jang ditetapkan dalam ajat jang lalu
Di dalam UUDS 1950, pasal yang mengatur mengenai keadaan darurat negara termaktub di dalam Pasal 96 Ayat 1 & 2, sedangkan di Pasal 97 di jelaskan dalam Ayat 1 Sampai 4. Pasal 96 mengatakan :
1. Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan pemerintahan jang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.
2. Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan derajat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut.
Pasal 97 menyatakan :
1. Peraturan-peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat, sudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnja pada sidang jang berikut jang merundingkan peraturan ini menurut jang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang Pemerintah
2. Djika suatu peraturan jang dimaksud dalam ajat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan bagian ini, ditolak oleh DPR, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum.
3. Djika undang-undang darurat jang menurut ajat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat jang timbul dari peraturannja baik jang dapat dipulihkan maupun jang tidak maka undang-undang mengadakan tindakan-tindakan jang perlu tentang itu.
4. Djika peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat itu dirubah dan ditetapkan sebagai undang-undang, maka akibat perubahanja diatur pula sesuai dengan jang ditetapkan dalam ajat jang lalu.
Dalam sistem UUDS 1950 dan konstitusi RIS hal serupa dengan Perpu dinamakan “Undang-Undang Darurat”. Meskipun serupa dan mempunyai fungsi sama, tetapi terdapat perbedaan perumusan antara UUD 1945 dengan UUDS 1950 dan KRIS, diantaranya:
1. Menurut UUD 1945 wewenangan membuat Perpu itu ada pada presiden. Menurut UUDS dan KRIS wewenang membuat perpu itu ada pada Pemerintah. Perbedaan ini sebagai pencerminan perbedaan sistem Pemerintahan. UUD 1945 bersistem Presidensil, penyelenggara pemerintahan dilakukan oleh Presiden. UUDS 1950 dan KRIS bersistem Parlementer, pemerintahan diselenggarakan Presiden dan kabinet yang disebut Pemerintah.
2. Menurut UUD 1945, Perpu dibuat dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Menurut UUDS 1950 dan KRIS, UUD darurat dikeluarkan “karena keadaan yang mendesak”. Secara keabsahan pengertian yang dipergunakan oleh UUDS dan KRIS lebih mudah dimengerti dan sekaligus menunjukan bentuknya sebagai undang-undang (meskipun darurat) daripada pengertian yang dipakai UUD 1945 sebagai suatu bentuk Peraturan Pemerintahan.
Istilah (Leagal terms) yang dipakai dalam Pasal 12 dan 22 UUD 1945 jelas berbeda. Istilah pertama menggunakan istilah “keadaan bahaya” yang tidak lain sama dengan pengertian keadaan darurat (sate of emergency), sedangkan yang kedua menggunakan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Apakah kata “hal ihwal” itu sama dengan pengertian “keadaan”? keduanya tidak sama. “Keadaan” adalah strukturnya, sedangkan “hal ihwal” adalah isinya. Segala sesuatu yang “membahayakan” tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan “keadaan yang memaksa”, tetapi segala “hal ihwal yang memaksa” tidak selalu membahayakan.
Bebrapa hal yang dapat dikemukakan sehubungan dengan perbedaan diantara kedua ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pasal 12 mengutarakan mengenai kewenangan Presiden sebagai kepala negara (head of state), sedangkan pasal 22 berada dalam ranah (domain) pengaturan, yaitu berisi norma pengecualian atas fungsi kekuasaan legislatif. Kewenangan untuk menyatakan kondisi negara dalam keadaan bahaya atau melakukan “declaration of state emergency” berada di tangan Presiden selaku kepala negara, meskipun pengaturan mengenai keadaan bahaya termasuk syarat pemberlakuan, pengawasan terhadap pelaksanaan, dan tata cara mengakhirinya harus terlebih dahulu diatur dalam undang-undang atau setidaknya diatur dalam undang-undang, tidak boleh diatur dengan peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Sementara itu materi yang diatur di dalam Pasal 22 berada dalam ranah kekuasaan legislatif, yaitu mengenai kewenangan presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
2. Keadaan dan ihwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 tidak identik atau tidak sama dengan keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12. Keadaan bahaya yang dimaksud Pasal 12 boleh jadi termasuk di dalam kategori hal ihwal yang memaksa sebagaimana yang dimaksud Pasal 22. Akan tetapi alasan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 tentu tidak selalu merupakan keadaan bahaya seperti ayat 12. Artinya keadaan atau ihwal yang memaksa yang dimaksud Pasal 22 itu lebih luas cakupan maknanya dari Pasal 12. Dalam setiap keadaan bahaya, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Namun tidak setiap kali Presiden menetapkan Perpu negara dalam keadaan bahaya.
3. Ketentuan mengenai “keadaan bahaya” yang di tentukan dalam Pasal 12 jelas lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam, sedangkan “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 lebih menekankan pada aspek kebutuhan hukum yang mendesak atau kemendesakan yang terkait soal waktu yang terbatas. Di sati pihak ada unsur “reasonable necessity”, tetapi di pihak lain terhadap kendala “Limited time”.
Berdasarkan penjelasan diatas, dengan demikian terdapat 3 unsur penting yang secara bersama-sama membentuk keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
1. Unsur ancaman yang membahayakan.
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan.
3. Unsur keterbatasan waktu.
Mr. Van Dullemen menjelaskan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam suatu peraturan darurat, yaitu:
1. Kepentingan tertinggi negara yakni: adanya suatu eksistensi negara itu sendiri.
2. Bahwa peraturan darurat itu harus mutlak atau sangat perlu.
3. Peraturan darurat tersebut bersifat sementara, selama keadaan masih darurat saja, dan sesudah itu diperlukan aturan biasa yang normal, dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku.
4. Ketika dibuat peraturan darurat tersebut DPR atau perwakilan rakyat tidak dapat mengadakan sidang atau rapatnya secara nyata dan sungguh.
Mr. Van Dullemen menambahkan dalam karya beliau yang lain Staatnoodrecht en Rechtsstaat yang langsung menghubungkan antara HTN Darurat dengan negara hukum dan hukum negara, dengan menyatakan: adalah tidak syah jika salah satu syarat sebagaimana yang dijelaskan di atas tidak dipenuhi dalam keadaan darurat dan aturan yang dibuat tidak memenuhi syarat itu adalah tidak sah dan tidak diakui keabsahannya, hanyalah yang memenuhi syarat itu yang dapat diakui dan disahkan selaku Hukum Tata Negara Darurat.
PERPU sebagai salah satu peraturan perundang-undangan adalah suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Sebagaimana yang telah dibahas pada Pasal 22 ayat 1 menyatakan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karena perdebatan dalam DPR memakan waktu yang lama dan dengan demikian tidak dapat dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka untuk mengatur selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat, Presiden diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan DPR suatu peraturan bertingkatan undang-undang.
Wewenang Presiden menetapkan perpu adalah kewenangan yang luar biasa di bidang perundang-undangan, sedangkan wewenang ikut membentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden adalah wewenang biasa. Dalam praktik sistem perundang-undangan yang berlaku, Perpu merupakan jenis peraturan perundang-undangan tersendiri. Secara praktis penggunaan sebagai nama tersendiri dimaksudkan untuk membedakan dengan PP yang bukan sebagai pengganti undang-undang atau PP. Menurut UUD 1945, Perpu adalah PP yang ditetapkan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Tetapi hendaknya hal tersebut (hal ikhwal kegentingan yang memaksa) tidak diperluas, misalnya sekedar untuk mengatasi sautu prosedur atau tata laksana yang akan dihadapi. Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukan dua ciri umum, yaitu:
1. Ada krisis (crisis), suatu keadaan krisi apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak.
2. Ada kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.
Dari ketentuan atau pengertian di atas, dapatlah kita lihat, kewenangan Presiden dalam menetapkan perpu sangatlah riskan untuk disalah gunakan, mengingat Perpu lahir dari penilaian “subjektif” Presiden. Bukan hal yang tidak mungkin apabila ketentuan mengenai perpu tetap seperti ini, Presiden dapat melaksanakan kewenangannya yang telah diberikan oleh rakyat tanpa keberpihakan terhadap rakyat di dalam penetepan perpu tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin dalam penetapan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK Presiden jauh dari keberpihakanya dari rakyat Indonesia.
C. MAHKAMAH KONSTITUSI DAN JUDICIAL REVIEW
Pemikiran mengenai pentingnya Mahkamah Konstitusi telah muncul sebelum Indonesia merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah melontarkan pemikiran mengenai pentingnya lembaga yang melakukan pengujian terhadap Konstitusionalitas UU sekaligus mengusulkan agar masuk dalam ruusan rancangan UUD yang tengah disusun. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo, dengan alasan lembaga ini tidak sesuai dengan sistem berpikir UUD yang saat itu disusun atas dasar prinsip supremasi parlemen dengan menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara tertinggi. Oleh karena itu keberadaan MK yang akan mewujudkan checks and balances antar lembaga negara akan bertentangan dengan Supremasi MPR.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang dipercaya mampu mewujudkan ekspektasi masyarakat Indonesia. Lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagaimana hasil amandemen, pasal 24 C yang menyatakan “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkuangan Peradilan Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Mahkamah Konstitusi ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam perubahan ke tiga UUD 1945 dan oleh aturan peralihan hasil perubahan ke empat UUD 1945, lembaga ini harus sudah terbentuk paling lambat pada 17 Agustus 2003. Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk, kewenangannya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berdsarkan UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditetapkan dan diundangkan Pada 13 Agustus 2003, sehingga pada tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi di negara Indonesia.
Mahkamah Konstitusi bisa juga dikatakan sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Tentunya di dalam mengawal dan menafsirkan konstitusi tersebut Mahkamah Konstitusi dibekali kewenangan. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penfasir konstitusi berdasarkan penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Menguji Undang-undang terhadap UUD.
2. Memutus sengketa kewenangan lemabaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
3. Memutus pembubaran prtai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu
5. Memutus hasil pemilu kepala daerah
Sebagai suatu lemabaga negara yang mengawal dan menafsirkan konstitusi tentunya Mahkamah Konstitusi juga memiliki suatu kewajiban. Kewajiban tersebut adalah : memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran Hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban Mahkamah konstitusi tersebut bisa juga dikatakan sebagai Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, bisa juga dikatakan sebagai impeachment.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang pertama (Menguji Undang-undang terhadap UUD 1945), sering disebut sebagai Judicial Review. Namun istilah ini perlu diluruskan kembali dan diganti dengan constitusional review atau pengujian konstitusional, mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945. Per definisi konsep “constitusional review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the pritection of fundamental rights).
Judicial review adalah memberikan atau menolak persetujuan kehakiman pada suatu Undang-undang yang disahkan mayoritas dalam lembaga Legislatif dan disetujui lembaga Eksekutif. Setiap undang-undang yang diputuskan pengadilan bukan hanya sudah diratifikasi suara mayoritas, tetapi dikaji -secara teori dan kita harus mengasumsikannya secara fakta- dengan seksama perihal kesesuaiannya dengan konstitusi. Karena itu, dalam mendukung setiap undang-undang yang dibutuhkan tak hanya suara mayoritas untuk pemahamannya, tetapi juga suara mayoritas untuk konstitusionalnya.
Judicial review bisa juga dikatakan sebagai pengawasan Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) terhadap kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Brewer – Carrias memandangnya sebagai tugas yang melekat dari pengadilan untuk menjamin tindakan hukum Legislatif dan Eksekutif sesuai dengan Hukum Tertinggi dikatakan : “...the same inherent duty of courts to ensure that each legal action conforms to a superior law”.
Di Indonesia judicial review diterjemahkan sebagai sebuah mekanisme yang terdapat dalam UUD 1945 dengan adanya pasal 24 C yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD. Hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan UUD sebagai sebuah hukum tertinggi. Makna dari pernyataan tersebut adalah bahwa sebagai hukum, UUD harus mempunyai sifat normatif mengikat. Dalam sifatnya yang normatif tersebut, apabila terjadi pelanggaran, ia harus ditegakkan dengan mekanisme hukum atau melalui peradilan dan bukan lewat mekanisme Politik.
Problematika yang cukup manarik dalam kajian kali ini adalah pengujian terhadap Perpu yang telah di lakukan oleh Mahkamah Konstitusi. PERPU adalah suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Pasal 22 Ayat 1 menyatakan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karena perdebatan dalam DPR memakan waktu yang lama dan dengan demikian tidak dapat dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka untuk mengatur selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat, Presiden diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan DPR suatu peraturan bertingkatat undang-undang.
D. MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERPU
Sebagai salah satu pilar demokrasi, keberadaan Mahkamah Konstitusi sangatlah dibutuhkan di Indonesia. Walau bisa dikatakan masih cukup banyak kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh MK namun tidak dimiliki, tentunya ini akan menjadi suatu masukan untuk perubahan atau amandemen yang berikutnya mengenai penambahan atau pergeseran kewenangan yang saat ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.
Secara tegas dikatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 ataupun di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi sangat jelas dikatakan tentang beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penafsir Konstitusi. Dalam hal pengujian Perpu secara sangat jelas, Mahkamah Konstitusi tidak disebut sebagai Lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Namun dalam putusan Nomor 145/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi telah melakukan uji materil terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK. Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa landasan dalam memutus perkara tersebut. Dalam landasan putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan bahwa :
Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 dalam pertimbangan hukum paragraf [3.13] menyatakan, “Menimbang bahwa Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan. ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi. Di samping itu, dengan disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara”. Adapun ketiga syarat tersebut adalah sebagai berikut, “(i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan”; Bahwa oleh karena yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah Perpu 4/2008 maka pertimbangan hukum Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Pebruari 2010 a quo, menurut Mahkamah, mutatis mutandis juga berlaku bagi pengujian Perpu yang diajukan oleh para Pemohon.
Uraian di atas adalah dasar (menurut) Mahkamah Kosntitusi untuk melakukan pengujian terhadap PERPU, khususnya Perpu JPSK (Perpu Nomor 4 Tahun 2008). Dalam putusan tersebut sangat jelas dikatakan “bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang”. Kutipan alasan di atas adalah esensi mengapa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian terhadap Perpu.
Penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi kurang tepat jika kita memahaminya secara positifis. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penfasir konstitusi berdasarkan penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Menguji Undang-undang terhadap UUD
2. Memutus sengketa kewenangan lemabaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar
3. Memutus pembubaran prtai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu
5. Memutus hasil pemilu kepala daerah
Mahkamah Konstitusi juga memiliki suatu kewajiban, kewajiban tersebut adalah: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar. Kewajiban Mahkamah konstitusi tersebut bisa juga dikatakan sebagai Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pengujian Mahkamah Konstitusi terhadap Perpu adalah bentuk ke-“keliruan” Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut juga dinyatakan oleh guru besar Hukum Tata Negara Prof. Harun Al-Rasyid. Prof Harun Al-rasyid menyatakan, bahwasanya Mahkamah Konstitusi tidaklah berwenang menguji Perpu, karena perpu tersebut masih harus dibawa ke DPR untuk selanjutnya di bahas di DPR dalam sidang berikutnya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan menguji Perpu terhadap UUD 1945.
Alasan mengapa MK berwenang menguji Perpu sebagaimana yang tertera di dalam landasan putusan pengujian Perpu JPSK (bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang) adalah berdasar pada UU No.10 Tahun 2004, karena di dalam UU tersebut dikatan “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perpu ialah sejajar dengan Undang-undang”.
Artinya jika Mahkamah Konstitusi menguji Perpu berarti kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji ialah berdasar pada UU No. 10 Tahun 2004. Sedangkan yang menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD sebagaimana tertulis secara sangat jelas di dalam UUD Pasal 24 C dan bukan menguji UU terhadap UU lainya.
Tafsir Mahkamah Konstitusi (secara normatif) sebagaimana yang telah diungkapkan di atas “sudah jauh melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi”, mengingat juga dalam UUD 1945 Pasal 22 yang mengatakan bahwa perpu adalah suatu peraturan yang nantinya harus dibahas lagi di DPR, jika mendapat persetujuan maka ia akan menjadi undang-undang, namun jika tidak disetujui maka ia tidak dapat diberlakukan lagi. Keputusan Mahkamah Konstitusi menguji Perpu juga akan menimbulkan kekacauan pengujian perundang-undangan, mengingat Perpu juga harus di uji oleh DPR. Suatu hal yang sangat sulit dipercaya apabila yang dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi di dalam penegakan keadilan yang substantif adalah Mahkamah Konstitusi sendiri “melanggar atau menerabas” konstitusi bangsa Indonesia.
Dikatakan juga secara tegas oleh Prof. Harun Al-Rasyid bahwa, keputusan Mahkamah Kosntitusi dalam pengujian perpu adalah suatu hal yang sangat salah, terlepas apapun keadaanya. Kita sebagai warga negara tidak harus menuruti putusan Mahakamah Konstitusi terkait putusan terhadap pengujian perpu (khususnya Perpu Nomor 4 Tahun 2008), karena kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan bukan UU terhadap UU atau Perpu terhadap UUD. Tanpa kewenangan di dalam pengujian perpu, maka sudah pasti putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian perpu tidaklah mengikat atau bisa dikatakan putusan Mahakamah Konstitusi terkait pengujian perpu khususnya mengenai perpu JPSK tidaklah sah putusannya.
Harus di ingat, seperti yang dikatakan oleh Moh. Mahfud MD, MK hanya boleh menafsirkan isi UUD sesuai dengan orginal intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkanya. Mahkamah Konstitusi hanya boleh menyatakan sebuah UU bertentangan atau tidak dengan UUD dan juga tidak boleh memasuki ranah legislatif (ikut mengatur) dengan cara apapun. Pada umumnya pembatasan tersebut dikaitkan dengan pengertian bahwa DPR dan pemerintah adalah positive legislator (pembuat norma), sedangkan MK adalah negative legislator (penghapus dan pembatal norma).
Terkait mengenai pengujian terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK jika kita bersandar pada Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 mengenai Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang berwenang menguji Perpu terhadap UUD. Namun menjadi problem yang cukup rumit karena dikatakan dalam Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 bahwasanya putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya tanpa ada suatu kewenangan baik dalam UUD atau UU apapun putusan Mahkamah Konstitusi akan tetap berlaku (berdasar pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003).
Perlu kajian yang lebih mendalam mengenai problematika terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian suatu produk peraturan perundang-undangan yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Prof. Harun Al-Rasyid menyatakan, bahwa ketika Mahkamah Konstitusi tidak memiliki alas hak atas suatu putusan atau suatu pengujian, maka putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah mengikat sebagaimana di katakan dalam Pasal 47 UU No. 23 Tahun 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum dan mengikat jika ada alas hak Mahkamah Konstitusi dalam menguji peraturan perundang-undangan tersebut.
Secara tegas UUD 1945 memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun sayangnya tidak secara tegas UUD mengatur batasan atau larangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Pada dasarnya problem tersebut hanyalah mengenai masalah tafsir yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Tafsir yang boleh dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah sesuai dengan orginal intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkanya. Penjelasan tersebut memberi gambaran yang sangat jelas dalam jajaran teori, bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang berwenang karena tafsir yang digunakan berdasar UU No. 10 Tahun 2004. Tanpa kewenangan di dalam memutus, maka jelas juga secara teoritis bahwa putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak memiliki kekuatan hukum dan mengikat.
Lahirnya problem ini tentu mencerminkan ke tidak sempurnaan UUD 1945 atau Konstitusi bangsa Indonesia di dalam memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Konstitusi. Sebagai suatu pembelajaran bagi kita semua hendaknya kedepan, Mahkamah Konstitusi juga harusnya ada batasan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih tegas lagi, agar nantinya tidak ada lagi “pelanggaran atau penerabasan” wewenang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pada Tahun 2008, dengan adanya kasus century, Presiden Republik Indonesia dengan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UUD 1945, mengeluarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengamanan Sistem Keuangan, atau yang biasa disebut dengan Perpu JPSK. Perpu tersebut lahir dengan beberapa pertimbangan Presiden, yang diantaranya ialah:
a. Bahwa dalam upaya menghadapi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional atau menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) adalah suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Adapun tujuan dan ruang lingkupnya adalah untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis dan ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan krisis .
Pencegahan krisis sebagaimana dimaksud di atas adalah meliputi tindakan mengatasi beberapa permasalahan, yang diantaranya adalah permasalahan:
a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik
b. Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas atau kegagalan pelunasan FPD yang berdampak sistemik
c. LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas yang berdampak sistemik
Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagaimana dimaksud, maka dibentuklah Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang selanjutnya disebut KSSK. Keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota. Organisasi KSSK adalah organisasi yang lahir berdasarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.
Dalam rangka melaksanakan fungsi penetapan kebijakan pencegahan dan penanganan krisis, KSSK mempunyai tugas yang di antaranya ialah:
1. Mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai berdampak sistemik
2. Menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/LKBB berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik
3. Menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis
Berdasarkan beberapa kewenangannya, maka pengambilan keputusan oleh KSSK untuk menyelamatkan bank century adalah sah secara hukum positif, sebagaimana diamanatkan oleh Perpu Nomor 4 Tahun 2008, karena jika Bank Century tidak segera diselamatkan oleh KSSK maka akan berdampak sistemik (seperti penjelasan pada tugas KSSK).
Pada Rabu, tepatnya pada 29 Oktober 2009 Pemerintah menyampaikan RUU tentang penetapan Perpu JPSK tersebut menjadi undang-undang kepada DPR RI. Namun pada Selasa tepatnya 17 Desember 2009, hasil kurang memuaskan harus diterima oleh pemerintah, dikarenakan Dewan Perwakilan Rakyat menolak terhadap permohonan penetapan tersebut dengan alasan jika Perpu tersebut ditetapkan maka akan berpengaruh pada Anggaran Pembelanjaan Negara (APBN) tetapi tidak dapat diambil tindakan hukum terhadap pejabat yang telah membuat keadaan bahaya tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka perpu tersebut sepatutnya batal demi hukum, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pasal 22 UUD 1945. Namun dalam perjalanannya Perpu tersebut masih dipandang berlaku oleh pemerintah, sehingga Perpu tersebut di uji materil oleh Mahkamah Konstitusi. Secara tegas dalam UUD 1945 Pasal 24 C mengatakan, yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD, dan bukan menguji Perpu atau peraturan perundang-undangan lain di bawah UU terhadap UUD. Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi tentunya menjadi pertanyaan, apakah Mahkamah Konstitusi berwenang terhadap pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)? Mengingat yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945.
B. HUKUM DARURAT NEGARA
Hukum Tata Negara Darurat ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan kehidupan biasa menurut undang-undang. Beberapa unsur yang harus ada di antaranya ialah:
1. Adanya bahaya negara yang patut dihadapi secara luar biasa.
2. Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada.
3. Kewenangan yang biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal.
Wewenang luar biasa itu dalam HTN Darurat itu adalah untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat tersebut dipandang tidak membahayakan lagi. Dikatakan dalam Pasal 12: “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”
Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 22 UUD 1945 :
1. Dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.
2. Peraturan tersebut haruslah mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan yang berikut.
3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah tersebut harus dicabut
Apabila kita melihat kembali pada Konstitusi RIS, bangsa kita juga telah mengatur tentang keadaan darurat negara. Tercermin dalam Pasal 139 & 140 Konstitusi RIS. Dikatakan di Pasal 139:
1. Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan Pemerintah Federal jang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.
2. Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan kuasa undang-undang federasi ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut.
Di dalam Konstitusi RIS Pasal 140 dikatakan :
1. Peraturan-peraturan jang termaktub didalam undang-undang darurat, segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada DPR jang merundingkan peraturan itu menurut jang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang pemerintah.
2. Djika suatu peraturan jang dimaksud dalam ajat-ajat jang lalu, waktu jang dirundingkan sesuai dengan ketentuang-ketentuan bagian jang ini, ditolak oleh DPR, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum.
3. Djika undang-undang jang menurut ajat lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturanja, baik jang dapat dibetulkan maupun jang tidak maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan jang perlu tentang itu.
4. Djika peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat itu dirubah dan ditetapkan sebagai undang-undang federal, maka akibat-akibat perubahanja diatur pula sesuai dengan jang ditetapkan dalam ajat jang lalu
Di dalam UUDS 1950, pasal yang mengatur mengenai keadaan darurat negara termaktub di dalam Pasal 96 Ayat 1 & 2, sedangkan di Pasal 97 di jelaskan dalam Ayat 1 Sampai 4. Pasal 96 mengatakan :
1. Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan pemerintahan jang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera.
2. Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan derajat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut.
Pasal 97 menyatakan :
1. Peraturan-peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat, sudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnja pada sidang jang berikut jang merundingkan peraturan ini menurut jang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang Pemerintah
2. Djika suatu peraturan jang dimaksud dalam ajat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan bagian ini, ditolak oleh DPR, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum.
3. Djika undang-undang darurat jang menurut ajat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat jang timbul dari peraturannja baik jang dapat dipulihkan maupun jang tidak maka undang-undang mengadakan tindakan-tindakan jang perlu tentang itu.
4. Djika peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat itu dirubah dan ditetapkan sebagai undang-undang, maka akibat perubahanja diatur pula sesuai dengan jang ditetapkan dalam ajat jang lalu.
Dalam sistem UUDS 1950 dan konstitusi RIS hal serupa dengan Perpu dinamakan “Undang-Undang Darurat”. Meskipun serupa dan mempunyai fungsi sama, tetapi terdapat perbedaan perumusan antara UUD 1945 dengan UUDS 1950 dan KRIS, diantaranya:
1. Menurut UUD 1945 wewenangan membuat Perpu itu ada pada presiden. Menurut UUDS dan KRIS wewenang membuat perpu itu ada pada Pemerintah. Perbedaan ini sebagai pencerminan perbedaan sistem Pemerintahan. UUD 1945 bersistem Presidensil, penyelenggara pemerintahan dilakukan oleh Presiden. UUDS 1950 dan KRIS bersistem Parlementer, pemerintahan diselenggarakan Presiden dan kabinet yang disebut Pemerintah.
2. Menurut UUD 1945, Perpu dibuat dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Menurut UUDS 1950 dan KRIS, UUD darurat dikeluarkan “karena keadaan yang mendesak”. Secara keabsahan pengertian yang dipergunakan oleh UUDS dan KRIS lebih mudah dimengerti dan sekaligus menunjukan bentuknya sebagai undang-undang (meskipun darurat) daripada pengertian yang dipakai UUD 1945 sebagai suatu bentuk Peraturan Pemerintahan.
Istilah (Leagal terms) yang dipakai dalam Pasal 12 dan 22 UUD 1945 jelas berbeda. Istilah pertama menggunakan istilah “keadaan bahaya” yang tidak lain sama dengan pengertian keadaan darurat (sate of emergency), sedangkan yang kedua menggunakan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Apakah kata “hal ihwal” itu sama dengan pengertian “keadaan”? keduanya tidak sama. “Keadaan” adalah strukturnya, sedangkan “hal ihwal” adalah isinya. Segala sesuatu yang “membahayakan” tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan “keadaan yang memaksa”, tetapi segala “hal ihwal yang memaksa” tidak selalu membahayakan.
Bebrapa hal yang dapat dikemukakan sehubungan dengan perbedaan diantara kedua ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pasal 12 mengutarakan mengenai kewenangan Presiden sebagai kepala negara (head of state), sedangkan pasal 22 berada dalam ranah (domain) pengaturan, yaitu berisi norma pengecualian atas fungsi kekuasaan legislatif. Kewenangan untuk menyatakan kondisi negara dalam keadaan bahaya atau melakukan “declaration of state emergency” berada di tangan Presiden selaku kepala negara, meskipun pengaturan mengenai keadaan bahaya termasuk syarat pemberlakuan, pengawasan terhadap pelaksanaan, dan tata cara mengakhirinya harus terlebih dahulu diatur dalam undang-undang atau setidaknya diatur dalam undang-undang, tidak boleh diatur dengan peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Sementara itu materi yang diatur di dalam Pasal 22 berada dalam ranah kekuasaan legislatif, yaitu mengenai kewenangan presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
2. Keadaan dan ihwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 tidak identik atau tidak sama dengan keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12. Keadaan bahaya yang dimaksud Pasal 12 boleh jadi termasuk di dalam kategori hal ihwal yang memaksa sebagaimana yang dimaksud Pasal 22. Akan tetapi alasan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 tentu tidak selalu merupakan keadaan bahaya seperti ayat 12. Artinya keadaan atau ihwal yang memaksa yang dimaksud Pasal 22 itu lebih luas cakupan maknanya dari Pasal 12. Dalam setiap keadaan bahaya, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Namun tidak setiap kali Presiden menetapkan Perpu negara dalam keadaan bahaya.
3. Ketentuan mengenai “keadaan bahaya” yang di tentukan dalam Pasal 12 jelas lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam, sedangkan “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 lebih menekankan pada aspek kebutuhan hukum yang mendesak atau kemendesakan yang terkait soal waktu yang terbatas. Di sati pihak ada unsur “reasonable necessity”, tetapi di pihak lain terhadap kendala “Limited time”.
Berdasarkan penjelasan diatas, dengan demikian terdapat 3 unsur penting yang secara bersama-sama membentuk keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
1. Unsur ancaman yang membahayakan.
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan.
3. Unsur keterbatasan waktu.
Mr. Van Dullemen menjelaskan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam suatu peraturan darurat, yaitu:
1. Kepentingan tertinggi negara yakni: adanya suatu eksistensi negara itu sendiri.
2. Bahwa peraturan darurat itu harus mutlak atau sangat perlu.
3. Peraturan darurat tersebut bersifat sementara, selama keadaan masih darurat saja, dan sesudah itu diperlukan aturan biasa yang normal, dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku.
4. Ketika dibuat peraturan darurat tersebut DPR atau perwakilan rakyat tidak dapat mengadakan sidang atau rapatnya secara nyata dan sungguh.
Mr. Van Dullemen menambahkan dalam karya beliau yang lain Staatnoodrecht en Rechtsstaat yang langsung menghubungkan antara HTN Darurat dengan negara hukum dan hukum negara, dengan menyatakan: adalah tidak syah jika salah satu syarat sebagaimana yang dijelaskan di atas tidak dipenuhi dalam keadaan darurat dan aturan yang dibuat tidak memenuhi syarat itu adalah tidak sah dan tidak diakui keabsahannya, hanyalah yang memenuhi syarat itu yang dapat diakui dan disahkan selaku Hukum Tata Negara Darurat.
PERPU sebagai salah satu peraturan perundang-undangan adalah suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Sebagaimana yang telah dibahas pada Pasal 22 ayat 1 menyatakan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karena perdebatan dalam DPR memakan waktu yang lama dan dengan demikian tidak dapat dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka untuk mengatur selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat, Presiden diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan DPR suatu peraturan bertingkatan undang-undang.
Wewenang Presiden menetapkan perpu adalah kewenangan yang luar biasa di bidang perundang-undangan, sedangkan wewenang ikut membentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden adalah wewenang biasa. Dalam praktik sistem perundang-undangan yang berlaku, Perpu merupakan jenis peraturan perundang-undangan tersendiri. Secara praktis penggunaan sebagai nama tersendiri dimaksudkan untuk membedakan dengan PP yang bukan sebagai pengganti undang-undang atau PP. Menurut UUD 1945, Perpu adalah PP yang ditetapkan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Tetapi hendaknya hal tersebut (hal ikhwal kegentingan yang memaksa) tidak diperluas, misalnya sekedar untuk mengatasi sautu prosedur atau tata laksana yang akan dihadapi. Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukan dua ciri umum, yaitu:
1. Ada krisis (crisis), suatu keadaan krisi apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak.
2. Ada kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.
Dari ketentuan atau pengertian di atas, dapatlah kita lihat, kewenangan Presiden dalam menetapkan perpu sangatlah riskan untuk disalah gunakan, mengingat Perpu lahir dari penilaian “subjektif” Presiden. Bukan hal yang tidak mungkin apabila ketentuan mengenai perpu tetap seperti ini, Presiden dapat melaksanakan kewenangannya yang telah diberikan oleh rakyat tanpa keberpihakan terhadap rakyat di dalam penetepan perpu tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin dalam penetapan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK Presiden jauh dari keberpihakanya dari rakyat Indonesia.
C. MAHKAMAH KONSTITUSI DAN JUDICIAL REVIEW
Pemikiran mengenai pentingnya Mahkamah Konstitusi telah muncul sebelum Indonesia merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah melontarkan pemikiran mengenai pentingnya lembaga yang melakukan pengujian terhadap Konstitusionalitas UU sekaligus mengusulkan agar masuk dalam ruusan rancangan UUD yang tengah disusun. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo, dengan alasan lembaga ini tidak sesuai dengan sistem berpikir UUD yang saat itu disusun atas dasar prinsip supremasi parlemen dengan menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara tertinggi. Oleh karena itu keberadaan MK yang akan mewujudkan checks and balances antar lembaga negara akan bertentangan dengan Supremasi MPR.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang dipercaya mampu mewujudkan ekspektasi masyarakat Indonesia. Lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagaimana hasil amandemen, pasal 24 C yang menyatakan “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkuangan Peradilan Agama, Militer, Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Mahkamah Konstitusi ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam perubahan ke tiga UUD 1945 dan oleh aturan peralihan hasil perubahan ke empat UUD 1945, lembaga ini harus sudah terbentuk paling lambat pada 17 Agustus 2003. Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk, kewenangannya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berdsarkan UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditetapkan dan diundangkan Pada 13 Agustus 2003, sehingga pada tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi di negara Indonesia.
Mahkamah Konstitusi bisa juga dikatakan sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Tentunya di dalam mengawal dan menafsirkan konstitusi tersebut Mahkamah Konstitusi dibekali kewenangan. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penfasir konstitusi berdasarkan penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Menguji Undang-undang terhadap UUD.
2. Memutus sengketa kewenangan lemabaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
3. Memutus pembubaran prtai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu
5. Memutus hasil pemilu kepala daerah
Sebagai suatu lemabaga negara yang mengawal dan menafsirkan konstitusi tentunya Mahkamah Konstitusi juga memiliki suatu kewajiban. Kewajiban tersebut adalah : memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran Hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban Mahkamah konstitusi tersebut bisa juga dikatakan sebagai Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, bisa juga dikatakan sebagai impeachment.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang pertama (Menguji Undang-undang terhadap UUD 1945), sering disebut sebagai Judicial Review. Namun istilah ini perlu diluruskan kembali dan diganti dengan constitusional review atau pengujian konstitusional, mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945. Per definisi konsep “constitusional review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the pritection of fundamental rights).
Judicial review adalah memberikan atau menolak persetujuan kehakiman pada suatu Undang-undang yang disahkan mayoritas dalam lembaga Legislatif dan disetujui lembaga Eksekutif. Setiap undang-undang yang diputuskan pengadilan bukan hanya sudah diratifikasi suara mayoritas, tetapi dikaji -secara teori dan kita harus mengasumsikannya secara fakta- dengan seksama perihal kesesuaiannya dengan konstitusi. Karena itu, dalam mendukung setiap undang-undang yang dibutuhkan tak hanya suara mayoritas untuk pemahamannya, tetapi juga suara mayoritas untuk konstitusionalnya.
Judicial review bisa juga dikatakan sebagai pengawasan Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) terhadap kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Brewer – Carrias memandangnya sebagai tugas yang melekat dari pengadilan untuk menjamin tindakan hukum Legislatif dan Eksekutif sesuai dengan Hukum Tertinggi dikatakan : “...the same inherent duty of courts to ensure that each legal action conforms to a superior law”.
Di Indonesia judicial review diterjemahkan sebagai sebuah mekanisme yang terdapat dalam UUD 1945 dengan adanya pasal 24 C yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD. Hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan UUD sebagai sebuah hukum tertinggi. Makna dari pernyataan tersebut adalah bahwa sebagai hukum, UUD harus mempunyai sifat normatif mengikat. Dalam sifatnya yang normatif tersebut, apabila terjadi pelanggaran, ia harus ditegakkan dengan mekanisme hukum atau melalui peradilan dan bukan lewat mekanisme Politik.
Problematika yang cukup manarik dalam kajian kali ini adalah pengujian terhadap Perpu yang telah di lakukan oleh Mahkamah Konstitusi. PERPU adalah suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Pasal 22 Ayat 1 menyatakan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karena perdebatan dalam DPR memakan waktu yang lama dan dengan demikian tidak dapat dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka untuk mengatur selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat, Presiden diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan DPR suatu peraturan bertingkatat undang-undang.
D. MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERPU
Sebagai salah satu pilar demokrasi, keberadaan Mahkamah Konstitusi sangatlah dibutuhkan di Indonesia. Walau bisa dikatakan masih cukup banyak kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh MK namun tidak dimiliki, tentunya ini akan menjadi suatu masukan untuk perubahan atau amandemen yang berikutnya mengenai penambahan atau pergeseran kewenangan yang saat ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.
Secara tegas dikatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 ataupun di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi sangat jelas dikatakan tentang beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penafsir Konstitusi. Dalam hal pengujian Perpu secara sangat jelas, Mahkamah Konstitusi tidak disebut sebagai Lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Namun dalam putusan Nomor 145/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi telah melakukan uji materil terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK. Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa landasan dalam memutus perkara tersebut. Dalam landasan putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan bahwa :
Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 dalam pertimbangan hukum paragraf [3.13] menyatakan, “Menimbang bahwa Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan. ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi. Di samping itu, dengan disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden. Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara”. Adapun ketiga syarat tersebut adalah sebagai berikut, “(i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan”; Bahwa oleh karena yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah Perpu 4/2008 maka pertimbangan hukum Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Pebruari 2010 a quo, menurut Mahkamah, mutatis mutandis juga berlaku bagi pengujian Perpu yang diajukan oleh para Pemohon.
Uraian di atas adalah dasar (menurut) Mahkamah Kosntitusi untuk melakukan pengujian terhadap PERPU, khususnya Perpu JPSK (Perpu Nomor 4 Tahun 2008). Dalam putusan tersebut sangat jelas dikatakan “bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang”. Kutipan alasan di atas adalah esensi mengapa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian terhadap Perpu.
Penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi kurang tepat jika kita memahaminya secara positifis. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal dan penfasir konstitusi berdasarkan penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Menguji Undang-undang terhadap UUD
2. Memutus sengketa kewenangan lemabaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar
3. Memutus pembubaran prtai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu
5. Memutus hasil pemilu kepala daerah
Mahkamah Konstitusi juga memiliki suatu kewajiban, kewajiban tersebut adalah: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar. Kewajiban Mahkamah konstitusi tersebut bisa juga dikatakan sebagai Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pengujian Mahkamah Konstitusi terhadap Perpu adalah bentuk ke-“keliruan” Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut juga dinyatakan oleh guru besar Hukum Tata Negara Prof. Harun Al-Rasyid. Prof Harun Al-rasyid menyatakan, bahwasanya Mahkamah Konstitusi tidaklah berwenang menguji Perpu, karena perpu tersebut masih harus dibawa ke DPR untuk selanjutnya di bahas di DPR dalam sidang berikutnya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan menguji Perpu terhadap UUD 1945.
Alasan mengapa MK berwenang menguji Perpu sebagaimana yang tertera di dalam landasan putusan pengujian Perpu JPSK (bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang) adalah berdasar pada UU No.10 Tahun 2004, karena di dalam UU tersebut dikatan “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perpu ialah sejajar dengan Undang-undang”.
Artinya jika Mahkamah Konstitusi menguji Perpu berarti kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji ialah berdasar pada UU No. 10 Tahun 2004. Sedangkan yang menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD sebagaimana tertulis secara sangat jelas di dalam UUD Pasal 24 C dan bukan menguji UU terhadap UU lainya.
Tafsir Mahkamah Konstitusi (secara normatif) sebagaimana yang telah diungkapkan di atas “sudah jauh melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi”, mengingat juga dalam UUD 1945 Pasal 22 yang mengatakan bahwa perpu adalah suatu peraturan yang nantinya harus dibahas lagi di DPR, jika mendapat persetujuan maka ia akan menjadi undang-undang, namun jika tidak disetujui maka ia tidak dapat diberlakukan lagi. Keputusan Mahkamah Konstitusi menguji Perpu juga akan menimbulkan kekacauan pengujian perundang-undangan, mengingat Perpu juga harus di uji oleh DPR. Suatu hal yang sangat sulit dipercaya apabila yang dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi di dalam penegakan keadilan yang substantif adalah Mahkamah Konstitusi sendiri “melanggar atau menerabas” konstitusi bangsa Indonesia.
Dikatakan juga secara tegas oleh Prof. Harun Al-Rasyid bahwa, keputusan Mahkamah Kosntitusi dalam pengujian perpu adalah suatu hal yang sangat salah, terlepas apapun keadaanya. Kita sebagai warga negara tidak harus menuruti putusan Mahakamah Konstitusi terkait putusan terhadap pengujian perpu (khususnya Perpu Nomor 4 Tahun 2008), karena kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan bukan UU terhadap UU atau Perpu terhadap UUD. Tanpa kewenangan di dalam pengujian perpu, maka sudah pasti putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian perpu tidaklah mengikat atau bisa dikatakan putusan Mahakamah Konstitusi terkait pengujian perpu khususnya mengenai perpu JPSK tidaklah sah putusannya.
Harus di ingat, seperti yang dikatakan oleh Moh. Mahfud MD, MK hanya boleh menafsirkan isi UUD sesuai dengan orginal intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkanya. Mahkamah Konstitusi hanya boleh menyatakan sebuah UU bertentangan atau tidak dengan UUD dan juga tidak boleh memasuki ranah legislatif (ikut mengatur) dengan cara apapun. Pada umumnya pembatasan tersebut dikaitkan dengan pengertian bahwa DPR dan pemerintah adalah positive legislator (pembuat norma), sedangkan MK adalah negative legislator (penghapus dan pembatal norma).
Terkait mengenai pengujian terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK jika kita bersandar pada Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 mengenai Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang berwenang menguji Perpu terhadap UUD. Namun menjadi problem yang cukup rumit karena dikatakan dalam Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 bahwasanya putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya tanpa ada suatu kewenangan baik dalam UUD atau UU apapun putusan Mahkamah Konstitusi akan tetap berlaku (berdasar pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003).
Perlu kajian yang lebih mendalam mengenai problematika terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian suatu produk peraturan perundang-undangan yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Prof. Harun Al-Rasyid menyatakan, bahwa ketika Mahkamah Konstitusi tidak memiliki alas hak atas suatu putusan atau suatu pengujian, maka putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah mengikat sebagaimana di katakan dalam Pasal 47 UU No. 23 Tahun 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum dan mengikat jika ada alas hak Mahkamah Konstitusi dalam menguji peraturan perundang-undangan tersebut.
Secara tegas UUD 1945 memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun sayangnya tidak secara tegas UUD mengatur batasan atau larangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Pada dasarnya problem tersebut hanyalah mengenai masalah tafsir yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Tafsir yang boleh dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah sesuai dengan orginal intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkanya. Penjelasan tersebut memberi gambaran yang sangat jelas dalam jajaran teori, bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang berwenang karena tafsir yang digunakan berdasar UU No. 10 Tahun 2004. Tanpa kewenangan di dalam memutus, maka jelas juga secara teoritis bahwa putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak memiliki kekuatan hukum dan mengikat.
Lahirnya problem ini tentu mencerminkan ke tidak sempurnaan UUD 1945 atau Konstitusi bangsa Indonesia di dalam memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Konstitusi. Sebagai suatu pembelajaran bagi kita semua hendaknya kedepan, Mahkamah Konstitusi juga harusnya ada batasan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih tegas lagi, agar nantinya tidak ada lagi “pelanggaran atau penerabasan” wewenang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar