31 Agustus 2010

PERPU Di Indonesia


PERPU adalah suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh Presiden (dengan bantuan Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Pasal 22 ayat 1 menyatakan: “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karena perdebatan dalam DPR memakan waktu yang lama dan dengan demikian tidak dapat dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka untuk mengatur selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat, Presiden diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan DPR suatu peraturan bertingkatan undang-undang. Perpu lahir dikala negara, khususnya Indonesia mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa. mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini juga menjadi salah satu pembahasan dalam Hukum Tata Negara, yaitu mengenai Hukum Tata Negara Darurat. Hukum Tata Negara Darurat ialah: Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam ke dalam kehidupan kehidupan biasa atau normal
Wewenang Presiden menetapkan perpu adalah kewenangan yang luar biasa di bidang perundang-undangan, sedangkan wewenang ikut membentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden adalah wewenang biasa. Dalam praktik sistem perundang-undangan yang berlaku, Perpu merupakan jenis peraturan perundang-undangan tersendiri. Secara praktis penggunaan sebagai nama tersendiri dimaksudkan untuk membedakan dengan PP yang bukan sebagai pengganti undang-undang atau PP. Menurut UUD 1945, Perpu adalah PP yang ditetapkan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Dalam praktik yang berlaku, “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” tidak sekedar diartikan sebagai adanya bahaya, ancaman, atau berbagai kegentingan lain yang langsung berkenaan dengan negara atau rakyat banyak. Pernah terjadi perpu ditetapkan untuk mengangguhkan berlakunya UU tentang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan UU Lalu Lintas dan Angkutan Umum. Menurut ketentuan Pasal 21, UU Nomor 8 Tahun 1983 (Pajak Penambahan Nilai) mulai berlaku 1 Juli 1984. Menjelang tanggal tersebut ternyata belum siap sehingga perlu ditangguhkan. Keadaan belum siap inilah yang dapat dijadikan dasar pembuatan perpu. Jadi suatu “kegentingan yang memaksa” tidak semata-mata karena keadaan yang mendesak.
Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukan dua ciri umum, yaitu:
1. Ada krisis (crisis), suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak.
2. Ada kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.

Saat ini lahirnya UU No. 10 Tahun 2004, pengaturan mengenai perpu terdapat pada Pasal 7 ayat 1 dengan urutan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
3. Peraturan Pemerintah.
4. Peraturan Presiden.
5. Peraturan Daerah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita pahami, bahwa Perpu memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang. Menurut Maria Farida Indrati, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang mempunyai fungsi yang sama dengan undang-undang. Penjelasan di atas memberi pencerahan kepada kita, bahwa di dalam UU No. 10 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang memiliki kedudukan yang sejajar dengan Undang-undang, karena Perpu itu lahir dalam “hal ikhwal yang memaksa” yang harus dengan segera di buat suatu dasar hukumnya.
Sehingga dengan keberadaan Perpu maka dengan cepat Presiden dapat mengambil keputusan untuk mengatasi “hal ikhwal yang memaksa” tersebut. Namun perlu di ingat, Perpu adalah suatu aturan yang bersifat sementara, mengingat Perpu tersebut hanya untuk mengatasi “hal ikhwal yang memaksa” negara dengan segera. Ini berarti apabila keadaan “hal ikhwal yang memaksa” tersebut telah selesai di hadapi maka Perpu bisa di gunakan kembali atau tidak. Ini semua tergantung bagaimana DPR di dalam memutuskan nasib Perpu tersebut.
Apabila Perpu sudah tidak lagi di butuhkan, maka DPR di dalam sidang berikutnya membahas nasib Perpu tersebut. Apabila DPR menerima Perpu tersebut, maka perpu tersebut akan secara langsung menjadi Undang-undang. Namun apabila DPR menolak terhadap keberadaan Perpu tersebut, maka sudah secara pasti Perpu tersebut tidak berlaku lagi dan akan di hapuskan atau tidak digunakan kembali oleh pemerintah sebagai dasar hukum.
Perpu yang tidak diajukan dalam persidangan DPR yang berikut harus dianggap “tidak mempunyai kekuatan berlaku lagi karena telah melampaui waktu” sangat penting mencegah perpu dipergunakan secara”mempermanenkan” kedaruratan yang biasanya mengandung makna pembenaran bagi penyimpangan atas suatu sistem yang normal. Pernah terjadi sebelum perpu yang ditetapkan Presiden antara Tahun 1962 sampai 1965 baru disetujui oleh DPR dan di tetapkan sebagai UU tahun 1969 (Undang-undang No. 7 Tahun 1969).
Praktik ini melanggar UUD 1945 karena praktik ini tidak mencerminkan pembatasan-pembatasan yang di kehendaki oleh UUD. Sedangkan UUD sebagai wujud paham konstitusionalisme bertolak dari asas pembatasan (pembatasan wewenang atau pembatasan waktu). Untuk mencegah “kelalaian” ini, inisiatif mengajukan Perpu untuk memperoleh persetujuan DPR tidak hanya di bebankan pada Presiden. DPR dapat menggunakan Rancangan Undang-undang agar perpu memperoleh persetujuan (atau tidak memperoleh persetujuan) DPR. Penggunaan hak inisiatif ini sekaligus mempunyai makna pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap Presiden (Pemerintah).
Konsep Perpu sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat sementara tidak berlaku adagium untuk “menggantikan perpu tersebut atau untuk menghapus perpu tersebut”, tetapi hanya adagium “dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi”. Perpu tidak dapat dicabut dengan Perpu serupa karena:
1. Perpu yang mencabut harus memenuhi syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Sedangkan perpu yang ada perlu dicabut atau diubah bentuknya menjadi undang-undang karena tidak ada lagi hal ihkwal kegentingan yang memaksa.
2. Perpu yang dicabut harus juga diajukan ke DPR, yaitu Perpu tentang pencabutan Perpu tersebut.

Beberapa alasan di atas menjadi alasan yang sangat substansial mengapa perpu tidak dapat di gantikan oleh perpu juga. Konsep yang ada sebagaimana diatur dalam UUD atau konstitusi kita saat ini sudah memberikan gambaran yang sangat jelas dan tepat di dalam mengatasi masalah Perpu, karena memang hendaknya Perpu tersebut diagantikan atau dihapus oleh undang-undang. DPR sebagai lembaga Legislatif yang memiliki kewenangan penuh untuk mencabut, menggantikan atau mengesahkan suatu produk yang sementara (Perpu) menjadi suatu produk yang permanen (Undang-undang) di dalam sidang DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar