Sebagai wakil rakyat sudah sepatutnya para anggota legislative membuat aturan atau Hukum berdasarkan amanah hati nurani rakyat, namun juga perlu di ingat, bahwa hokum hanya sebuah cara atau jalan untuk mencapai suatu tujuan atau tujuan dari Negara tersebut, yaitu keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan. Perlu juga dipahami oleh seluruh elemen bangsa Indonesia, bahwasanya Hukum itu ada untuk manusia dan bukan sebaliknya, artinya segala sesuatu tentang Hukum haruslah bertujuan untuk mewujudkan keadilan dimasyarakat.
Sempitnya pola pikir dan kurangnya pendidikan moral didalam membangun Hukum Indonesia akhir-akhir ini menjadi permasalahan yang sangat serius. Beberapa akibat yang terjadi akibat kurangnya pendidikan moral tersebut akhir-akhir ini terlihat dengan sangat jelas dalam potret penegakan hukum Di Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui, akhir-akhir ini media di indoensia diramaikan oleh perang antara Cicak (KPK) melawan Buaya (Polri). Keadaan seperti ini sebelumnya sudah dikatakan oleh Presiden Indoensia pertama kali didalam salah satu pidatonya “Tugasku sangatlah mudah, karena hanya berperang mengusir penjajah dari Indonesia, tetapi tugas kalian sangatlah susah karena kalian akan berperang sesama bangsa Indoneisa”.
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dipaksa menangis dengan tragedi yang sangat luar biasa hebatnya, yaitu tragedi “Genoside Peradilan”. Kata genoside biasanya digunakan dalam makna pembantaian terhadap suatu suku atau rasa tau sekian banya manusia, namun pada kali ini kata genoside di gunakan dengan makna sama namun Objek yang berbeda. Objek pada genoside peradilan adalah para aparat penegak hukum. Sebagai suatu alat atau cara mencapai tujuan, hukum berdiri ditengah masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia tentunya yaitu Keadilan, Kesejahteraan, dan Kemaslahatan.
Perseturuan KPK dan Polri sangatlah menyita perhatian bangsa Indonesia. Penyelesaian dari permasalahan ini pun tak kunjung usai, pro dan kontra selalu saja timbul, baik dalam diskusi kacangan, samapai dikusi Tahap nasional. Bahkan beberapa waktu lalu sempat terjadi bersitegang antara Komisi 3 DPR RI dengan salah satu Advokat ternama Oc Kaligis. Dimana dari perdebatan tersebut dapat kita lihat, betapa “buruknya” Hukum Di Indonesia. Realita seperti ini sangatlah bertolak belakang dengan salah satu sosiolog Hukum, Prof. Sajipto Raharjo. Beliau mengatakan didalam salah satu bukunya yang berjudul Biarkan Hukum Mengalir “Berikan aku 10 orang penegak Hukum yang baik, dengan Hukum yang buruk Niscaya aku dapat mewujudkan keadilan”.
Didalam Buku yang ditulis oleh Prof. Sajipto Raharjo, yang berjudul Hukum dan prilaku beliau mengatakan, Prilaku atau Hidup yang baik adalah dasar Hukum yang baik. Berdasarkan buku tersebut, dapat kita simpulkan secara primordial, bahwa Perilaku bangsa Indonesia sangatlah buruk, itu tercermin dari Hukum yang ada di Indoensia, seperti yang kita lihat saat ini. Bururknya system hukum Di Indonesia berakibat sangat fatal, diantarnya :
1. Tidak ada lagi Masyarakat yang taat Hukum
2. Berjalannya Negara akan sangat karut marut
3. DisIntegrasi bangsa Indoensia
Dari ketiga penjelasan diatas, mungkin akibat yang paling fatal adalah terjadinya DisIntegrasi bangsa Indonesia, Nauzubillah.
Dari beberpa perdebatan yang terjadi sebenarnya kitapun dapat mengambil suatu Konstelasi yang menjadi episentrum dari permasalahan tersebut. Perdebatan yang terjadi selama ini untuk penyelesaian kasus Cicak melawan Buaya adalah Paham Positivistik dan Nurani Keadilan. Mengapa demikian?
1. ANGGODO BEBAS, Bukti “Bobroknya” Penegakan Hukum...!!!
Bebasnya Anggodo dari proses Penyelidikan oleh kepolisian dengan alas an tidak adanya bukti permulaan yang cukup menjadi suatu tanda Tanya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Bukankah sudah jelas apa yang telah didengar oleh seluruh masyarakat Indoneisa dalam rekaman yang telah diputarkan oleh Mahkamah Konstitusi? bahwasanya peran Anggodo sangatlah sentral didalam memimpin genoside Peradilan. Lantas mengapa ia bias di bebaskan? Alas an yang mengejutkan keluar dari POLRI, bahwasanya Anggodo tidak terbukti bersalah dalam skenario Penghancuran KPK...(POSITIVISTIK).
2. Nurani Hakim Konstitusi, wujud Progresifitas penegakan Hukum...
Progresifitas penegakan Hukum telah berhasi dicatat oleh bangsa Indonesia, progresifitas ini adalah sebagai bukti dari apa yang telah dikatakan oleh Prof. Sajipto Raharjo, bahwasanya tujuan dari adanya Hukum salah satunya adalah untuk keadilan. Ini terbukti dari landasan Mahkamah Konstitusi didalam memutar rekaman hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Anggodo W dengan beberapa Petinggi lembaga Negara RI. Prof. Dr Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi dengan berlandaskan Nurani mengatakan, relevansi dari pemutaran rekaman tersebut dengan Judicial Rieview adalah sebagai salah satu bukti, bahwasanya ada dugaan pelemahan KPK, lantas apa buktinya ada upaya Pelemahan KPK? Dan bukti tersebut adalah rekaman yang dimiliki oleh KPK itu. Jika kita telaah lebih mendalam, aturan yang mengatur secara tertulis tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutar rekaman tersebut maka tidak akan ditemukan, dengan demikian landasan yang di ambil oleh Hakim Konstitusi adalah landasan Nurani untuk membongkar scenario besar yang telah menghancurkan wajah Hukum Indoneisa. Untuk mewujudkan keadilan hanya dengan Hukum tertulis, ini hanya akan menjadi mimpi. (NURANI KEADILAN)
Berdasarkan beberapa kajian singkat diatas, dapatlah kita lihat, bahwasanya di bangsa Indonesia ini telah terjadi Genoside Peradilan, dimana beberapa aparat penegak Hukum telah berhasil dibumihanguskan oleh Seorang Anggodo W. Betapa sedihnya bangsa ini karena memiliki Oknum penegak Hukum yang “Murahan” (tidak memiliki Integritas yang tinggi). Para penegak hukum yang seharusnya dapt menjadi sandaran rakyat atas tegaknya kedilan di Indonesia, saat ini tidak lain hanya sebagai mafia-mafia yang bergabung untuk melakukan Pembasmian terhadap Keadilan. Pembasmian inilah yang saat ini harus segera di lawan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Hakim Konstitusi dapat dijadikan contoh yang sangat baik bagi seluruh aparat penegak Hukum di Indonesia, bahwasanya tidak selamanya Hukum itu harus tertulis, karena filosofi dari hukum tersebut adalah terwujudnya Keadilan, Kesejahteraan, dan Kemaslahatan.
Sempitnya pola pikir dan kurangnya pendidikan moral didalam membangun Hukum Indonesia akhir-akhir ini menjadi permasalahan yang sangat serius. Beberapa akibat yang terjadi akibat kurangnya pendidikan moral tersebut akhir-akhir ini terlihat dengan sangat jelas dalam potret penegakan hukum Di Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui, akhir-akhir ini media di indoensia diramaikan oleh perang antara Cicak (KPK) melawan Buaya (Polri). Keadaan seperti ini sebelumnya sudah dikatakan oleh Presiden Indoensia pertama kali didalam salah satu pidatonya “Tugasku sangatlah mudah, karena hanya berperang mengusir penjajah dari Indonesia, tetapi tugas kalian sangatlah susah karena kalian akan berperang sesama bangsa Indoneisa”.
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dipaksa menangis dengan tragedi yang sangat luar biasa hebatnya, yaitu tragedi “Genoside Peradilan”. Kata genoside biasanya digunakan dalam makna pembantaian terhadap suatu suku atau rasa tau sekian banya manusia, namun pada kali ini kata genoside di gunakan dengan makna sama namun Objek yang berbeda. Objek pada genoside peradilan adalah para aparat penegak hukum. Sebagai suatu alat atau cara mencapai tujuan, hukum berdiri ditengah masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia tentunya yaitu Keadilan, Kesejahteraan, dan Kemaslahatan.
Perseturuan KPK dan Polri sangatlah menyita perhatian bangsa Indonesia. Penyelesaian dari permasalahan ini pun tak kunjung usai, pro dan kontra selalu saja timbul, baik dalam diskusi kacangan, samapai dikusi Tahap nasional. Bahkan beberapa waktu lalu sempat terjadi bersitegang antara Komisi 3 DPR RI dengan salah satu Advokat ternama Oc Kaligis. Dimana dari perdebatan tersebut dapat kita lihat, betapa “buruknya” Hukum Di Indonesia. Realita seperti ini sangatlah bertolak belakang dengan salah satu sosiolog Hukum, Prof. Sajipto Raharjo. Beliau mengatakan didalam salah satu bukunya yang berjudul Biarkan Hukum Mengalir “Berikan aku 10 orang penegak Hukum yang baik, dengan Hukum yang buruk Niscaya aku dapat mewujudkan keadilan”.
Didalam Buku yang ditulis oleh Prof. Sajipto Raharjo, yang berjudul Hukum dan prilaku beliau mengatakan, Prilaku atau Hidup yang baik adalah dasar Hukum yang baik. Berdasarkan buku tersebut, dapat kita simpulkan secara primordial, bahwa Perilaku bangsa Indonesia sangatlah buruk, itu tercermin dari Hukum yang ada di Indoensia, seperti yang kita lihat saat ini. Bururknya system hukum Di Indonesia berakibat sangat fatal, diantarnya :
1. Tidak ada lagi Masyarakat yang taat Hukum
2. Berjalannya Negara akan sangat karut marut
3. DisIntegrasi bangsa Indoensia
Dari ketiga penjelasan diatas, mungkin akibat yang paling fatal adalah terjadinya DisIntegrasi bangsa Indonesia, Nauzubillah.
Dari beberpa perdebatan yang terjadi sebenarnya kitapun dapat mengambil suatu Konstelasi yang menjadi episentrum dari permasalahan tersebut. Perdebatan yang terjadi selama ini untuk penyelesaian kasus Cicak melawan Buaya adalah Paham Positivistik dan Nurani Keadilan. Mengapa demikian?
1. ANGGODO BEBAS, Bukti “Bobroknya” Penegakan Hukum...!!!
Bebasnya Anggodo dari proses Penyelidikan oleh kepolisian dengan alas an tidak adanya bukti permulaan yang cukup menjadi suatu tanda Tanya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Bukankah sudah jelas apa yang telah didengar oleh seluruh masyarakat Indoneisa dalam rekaman yang telah diputarkan oleh Mahkamah Konstitusi? bahwasanya peran Anggodo sangatlah sentral didalam memimpin genoside Peradilan. Lantas mengapa ia bias di bebaskan? Alas an yang mengejutkan keluar dari POLRI, bahwasanya Anggodo tidak terbukti bersalah dalam skenario Penghancuran KPK...(POSITIVISTIK).
2. Nurani Hakim Konstitusi, wujud Progresifitas penegakan Hukum...
Progresifitas penegakan Hukum telah berhasi dicatat oleh bangsa Indonesia, progresifitas ini adalah sebagai bukti dari apa yang telah dikatakan oleh Prof. Sajipto Raharjo, bahwasanya tujuan dari adanya Hukum salah satunya adalah untuk keadilan. Ini terbukti dari landasan Mahkamah Konstitusi didalam memutar rekaman hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Anggodo W dengan beberapa Petinggi lembaga Negara RI. Prof. Dr Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi dengan berlandaskan Nurani mengatakan, relevansi dari pemutaran rekaman tersebut dengan Judicial Rieview adalah sebagai salah satu bukti, bahwasanya ada dugaan pelemahan KPK, lantas apa buktinya ada upaya Pelemahan KPK? Dan bukti tersebut adalah rekaman yang dimiliki oleh KPK itu. Jika kita telaah lebih mendalam, aturan yang mengatur secara tertulis tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutar rekaman tersebut maka tidak akan ditemukan, dengan demikian landasan yang di ambil oleh Hakim Konstitusi adalah landasan Nurani untuk membongkar scenario besar yang telah menghancurkan wajah Hukum Indoneisa. Untuk mewujudkan keadilan hanya dengan Hukum tertulis, ini hanya akan menjadi mimpi. (NURANI KEADILAN)
Berdasarkan beberapa kajian singkat diatas, dapatlah kita lihat, bahwasanya di bangsa Indonesia ini telah terjadi Genoside Peradilan, dimana beberapa aparat penegak Hukum telah berhasil dibumihanguskan oleh Seorang Anggodo W. Betapa sedihnya bangsa ini karena memiliki Oknum penegak Hukum yang “Murahan” (tidak memiliki Integritas yang tinggi). Para penegak hukum yang seharusnya dapt menjadi sandaran rakyat atas tegaknya kedilan di Indonesia, saat ini tidak lain hanya sebagai mafia-mafia yang bergabung untuk melakukan Pembasmian terhadap Keadilan. Pembasmian inilah yang saat ini harus segera di lawan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Hakim Konstitusi dapat dijadikan contoh yang sangat baik bagi seluruh aparat penegak Hukum di Indonesia, bahwasanya tidak selamanya Hukum itu harus tertulis, karena filosofi dari hukum tersebut adalah terwujudnya Keadilan, Kesejahteraan, dan Kemaslahatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar