23 Januari 2010

Hak EKOSOB ICESCR 1966

Pengantar
Manusia adalah subjek hukum yang memiliki martabat yang paling tinggi. Setiap manusia memiliki hak dasar yang paling hakiki yaitu hak untuk hidup. Pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terpisahkan dari semua manusia, merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. Beberapa hak manusia yang hakiki adalah dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya (ekososbud). Dalam negara indonesia hak tersebut diatur dalam UUD 1945. Sedangkan dalam peraturan internasional pengaturan terhadap perlindungan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya (Ekososbud) ini lahir dari sebuah Deklarasi yang dikeluarkan PBB melalui Majelis Umum yang disebut dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right atau UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam pelaksanaannya, Deklarasi ini melahirkan dua instrumen penting yang mengatur ketentuan HAM, yaitu the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dimaksukkan sebagai kategori generasi HAM pertama oleh Karel Vasak; dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang dikategorikan sebagai generasi HAM ke dua.
Lahirnya HAM generasi ke dua ini tidak lepas dari peran serta Franklin Delano Roosevelt selaku presiden Amerika Serikat pada saat itu yang dilatarbelakangi oleh terjadinya depresi besar yang melanda Amerika Serikat dimana selama tiga tahun angka pengangguran di Amerika membumbung dari empat juta sampai dua belas juta orang pertahun. Maka dalam pembahasan ini akan diuraikan hubungan antara hak asasi manusia dengan hukum ekonomi internasional. Hubungan ini telah menarik cukup banyak perhatian para sarjana hukum. Perhatian ini muncul karena individu berhak atas hak asasi manusia (HAM), termasuk di dalamnya hak asasi manusia atas ekonomi. Hak ini dalam hukum internasional adalah salah satu hak yang cukup fundamental. Hal ini agak timpang karena sebenarnya hak – hak ekonomi negara ini pada analisis akhirnya akan berpengaruh terhadap hak – hak asasi manusia atas ekonominya.
Jacquart menyatakan dalam tulisannya bahwa dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dan berbagai perubahan dalam bidang politik dan ekonomi pada abad ke 19 dan 20 telah mengubah potret hubungan politik dan ekonomi antara individu dengan negara. Oleh karena itu, beliau menegaskan perlunya memperjelas hak – hak asasi manusia dalam konteks dan wacana yang baru. Sarjana hukum ekonomi internasional terkemuka, Ernst-Ulrich Petersmann menyatakan bahwa pada abad ke 20 mengalami “Revolusi HAM” yang merubah potret antara lain hukum ekonomi internasional. Hal ini bukan saja merupakan suatu perkembangan penting tetapi juga membutuhkan kajian – kajian mendalam tentang implikasi dari perkembangan revolusi HAM ini.
Perubahan penting lainnya yang terjadi dewasa ini adalah cukup banyaknya konstitusi (UUD) di berbagai negara di dunia yang semakin mengakui hak asasi manusia atas ekonomi. Pencantuman hak ekonomi ini menunjukkan semakin pentingnya hak asasi manusia atas ekonomi (termasuk dalam kaitannya dengan hukum ekonomi internasional).Instrumen yang juga penting dalam mengatur hak atas ekonomi ini adalah Pasal 55 Piagam PBB. Pasal ini antara lain mewajibkan PBB untuk memajukan penghormatan termasuk memajukan penaatan terhadap HAM, termasuk HAM atas ekonomi. Pasal 55 Piagam PBB memuat tujuan PBB yaitu memajukan “higher standards of living, full employment and condition of economic and social progress and development; solutions of internasional economic, social, health and related problems and international cultural andeducational cooperation”
Perlu dikemukakan disini bahwa HAM yang ditegaskan dalam UDHR bukan saja HAM klasik, yaitu hak – hak sipil dan hak – hak politik. UDHR juga mengakui hak – hak ekonomi, sosial dan budaya (pasal 22 – 27).
Hak atas ekonomi ini menuntut perlunya perlindungan yang selayaknya. Antara HAM dan hak atas ekonomi ini memiliki kaitan yang cukup erat. Sehingga ada sarjana, misalnya Booysen menyebut hak asasi manusia ini dalam kaitannya dengan hukum ekonomi internasional sebagai international economic human rights. Sedangkan Seidl Hovenveldern menyebutnya sebagai “human rights of economic value”.
HAM sebenarnya adalah bidang yang termasuk ke dalam ruang lingkup hukum internasional. Berdasarkan hukum internasional, HAM menciptakan hak dan kewajiban terhadap negara. Berdasarkan penciptaan ini, negara memiliki tugas (duty) untuk mengakui dan menghormati individu – individu atau pribadi – pribadi yang berada di dalam wilayahnya. Disamping itu negara juga memiliki jurisdiksi atas pribadi – pribadi tersebut. Sedangkan menurut Booysen, negara hanya memiliki kewajiban (obligation) terhadap negara lainnya, bukan kewajiban terhadap individu. Argumentasinya adalah, individu bukanlah subjek hukum internasional yang penuh. Ia adalah subjek hukum internasional yang sifatnya terbatas. Karena itu, individu sebenarnya tidak memiliki upaya efektif terhadap negara lain dalam lingkup internasional. Upaya tersebut baru ada apabila secara tegas dinyatakan dan diberikan pada individu tersebut.

B. Substansi ICESCR
Pada awal tulisan ini dinyatakan bahwa Deklarasi Universal HAM(UDHR) tahun 1948 merupakan tonggak sejarah penting bagi pengakuanHAM. Deklarasi mengakui HAM atas hak – hak sipil dan politik, serta hak– hak atas ekonomi, sosial dan budaya. Dalam pelaksanaannya, Deklarasi ini diwujudkan ke dalam duainstrumen penting yang mengatur ketentuan HAM, yaitu :
1. International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan
2. International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).
Keduanya bertujuan untuk melaksanakan prinsip – prinsip dalam Deklarasi Universal HAM menjadi mengikat. UDHR, ICCPR, dan ICESCRdisebut pula sebagai International Bill of Human Rights. Dalam pasal – pasalnya kedua konvenan ini mengikuti UDHR 1948. Keduanya mengatur sistem monitoring yang menurut banyak sarjana agak lemah. Hal ini menunjukkan peran penting UDHR terhadap HAM pada umumnya, dan HAM atas ekonomi pada khususnya. Sehubungan dengan hukum ekonomi internasional, uraian berikut ditekankan pada konvenan mengenai hak – hak ekonomi, sosial, dan budaya (ICESCR) .

1. Hak atas Ekonomi
Hak atas ekonomi ini termuat dalam Konvenan mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak ini menurut Henkin, dikenal sebagai hak general kedua (second generation) dari HAM.
Dari pasal – pasal ICESCR tersurat HAM atas ekonomi, yakni :
a. hak atas pekerjaan;
b. hak atas gaji yang layak dengan pekerjaannya;
c. hak untuk bergabung dengan serikat kerja / dagang;
d. hak untuk istirahat (leisure);
e. hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak (adequate standar of living) yang mencakup makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pelayanan sosial (social services);
f. hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar gratis, dan
g. hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya pada masyarakat.

2. Hak atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan termuat dalam Pasa 6 ICESCR, hak ini merupakan an essential part of the human condition. Penegasan hak ini menurut Jacquart, agak sulit untuk tercapai. Ada dua alasan yang mendukung pendapat beliau. Pertama, meskipun ICESCR menegaskan eksisten hak atas pekerjaan, namun ICESCR juga mengakui adanya hak lain yaitu hak atas jaminan sosial (social security). Kedua, pelaksanaan hak ini sangat bergantung kepada kemampuan pemerintah untuk memberikan pekerjaan kepada warga negaranya. Karena itu, Jacquart berpendapat hak atas pekerjaan ini lebih tepat disebut sebagai hak atas akses terhadap pekerjaan (the rights of access to work).

3. Hak atas Gaji dan Kondisi yang Layak
Hak ini termuat dalam pasal 7 ICESCR. Hak ini terkait erat dengan hak atas pekerjaan. Hak ini juga adalah hak yang sifatnya absolut. International Labour Organization (ILO) telah mengeluarkan berbagai instrumen – instrumen hukum untuk memperkuat hak – hak ini. Instrumen – instrumen tersebut antara lain adalah Convention No 131 dan Recommendation No 135 tahun 1970 yang mengatur penetapan upah minimum.

4. Hak untuk Membentuk dan Bergabung dengan Serikat Kerja / Dagang
Pasal 8 ICESCR memuat hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat kerja. Ketentuan pasal ini merupakan hak yang sifatnya wajib. Dalam arti, negara harus memberi jaminan kepada warga negaranya atau pekerjaanya untuk ikut bergabung dalam serikat – serikat kerja yang ia suka. Termasuk di dalam hak ini adalah hak untuk mogok. Hak ini telah diperkuat oleh berbagai resolusi dan perjanjian internasional yang dirumuskan dalam ILO. Sebagai contoh adalah dikeluarkannya instrumen berjudul Freedom of Association and Protection of the Right to Organize, Convention No. 87 tanggal 9 Juli 1948.

5. Hak untuk Istirahat
Hak ini termuat dalam pasal 7 (d). Pasal ini menegaskan, adalah hak setiap orang untuk menikmati istirahat dari pekerjaannya, termasuk menikmati liburan – liburan (dengan tetap mendapat pembayaran gaji)



6. Hak untuk Mendapatkan Standar Hidup yang Layak (Adequate Standard of Living) yang Mencakup Makanan, Pakaian, Perumahan, Kesehatan dan Pelayanan Sosial (Social Services)
Hak ini tercantum dalam Pasal 10, 11, dan 12 ICESCR. Hak ini khususnya Pasal 11 merupakan the most wideranging and general of the articles in the Covenant. Hak – hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak tercakup pula didalamnya hak perlindungan terhadap keluarga (pasal 10). Pasal 10 ayat (3) bahkan mewajibkan negara untuk menghukum siapa saja yang mengeksploitasi anak kecil khususnya yang menjadikan anak – anak sebagai pekerja. Dalam kaitan dengan hak ini, terdapat pula hak yang juga penting yaitu hak atas makanan, pakaian , perumahan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Ketentuan hak atas pangan ditegaskan dalam pasal 11 ayat 2 yang menyatakan bahwa the fundamental right of the everyone to be free from hunger.
Menurut Jacquart, ketentuan pasal ini mengisyaratkan negara baik secara individu atau bersama – sama dengan negara lain untuk mengambil langkah atau cara – cara yang diperlukan untuk meningkatkan produksi, konservasi dan distribusi makanan. Termasuk pula dalam hal ini, adalah distribusi makanan yang adil bagi dunia sesuai dengan kebutuhannya. Perlu dikemukakakn disini hak atas standar hidup yang layak ini merupakan prasyarat untuk dapat terealisasinya hak – hak atas kehidupan yang lain. Menurut Jacquart, tidak adanya hak ini maka hak – hak ekonomi (dan sosial) lainnya tidak akan tercapai (terpenuhi). Pendapat ini tepat, karena bagaimana mungkin hak – hak ekonomi lainnya dapat dilaksanakan apabila hak – hak yang mendasarnya, yaitu hak atas standar hidup yang layak saja tidak terpenuhi.
ILO telah mengeluarkan berbagai instrumen yang mewajibkan negara (anggota) untuk menghormati hak ini. Instrumen – instrumen
tersebut antara lain adalah :
a. The Universal Declaration on the Eradication of Hunger and Malnutrition;
b. Resolution 41 / 190 tanggal 8 Desember 1986 yang menegaskan hak atas makanan sebagai fundamental human rights yang harus dijamin bagi semua orang. Resolusi ini juga menyatakan bahwa pemberian makanan ini tidak boleh digunakan sebagai alat atau instrumen penekan baik pada tingkat nasional atau internasional.
Mengenai signifikasi atau arti penting hak ini, Matthew Craven menyatakan dengan tepat :
“There is not doubt that the right to an adequate standard of living, including the rights to food, housing and clothing is of paramount importance not least because at minimum levels it represents a question of survival ”

7. Hak atas Pendidikan, Termasuk Pendidikan Dasar Gratis
Hak ini diatur dalam Pasal 13 dan 14 ICESCR. Hak ini sebenarnya adalah pelaksanaan dari Pasal 26 Deklarasi Universal HAM. Ayat 2 Pasal 26 ini menegaskan tujuan dari hak – hak atas pendidikan ini yaitu :
a. mengembangkan personalitas manusia secara penuh;
b. meningkatkan penghormatan atas HAM dan kebebasan – kebebasan manusia (human rights and fundamental freedoms);
c. meningkatkan toleransi;
d. meningkatkan pengertian dan persaudaraan diantara semua negara, ras, kelompok agama;
e. memajukan kegiatan – kegiatan PBB dan memelihara perdamaian.
Hak atas pendidikan ini ditegaskan dalam Pasal 13 dan 14 ICESCR. Khususnya Pasal 14, berdasarkan pasal ini negara peserta diwajibkan untuk membuat rencana aksi untuk melaksanakan secara penuh prinsip pendidikan dasar gratis dan wajib.

8. Hak untuk Ikut serta dalam Kehidupan Budaya pada Masyarakat
Hak ini termuat dalam Pasal 15 ICESCR. Menurut Jacquart, hak ini baru dapat akan dinikmati apabila hak – hak standar yang layak sebelumnya dapat atau telah terpenuhi. Hak ini mencakup hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya, hak untuk memperoleh keuntungan dari kemajuan ilmu pengetahuan, hak perlindungan dari benda – benda artistik, tulisan atau bahan – bahan lainnya (yang merugikan) yang berasal dari ilmu pengetahuan, hak atas kebebasan untuk melakukan penelitian, komunikasi dan informasi.

C. Evaluasi Awal
Generasi kedua HAM yang termuat dalam ICESCR ternyata memiliki berbagai kelemahan, antara lain:
1. Hak ini banyak tergantung kepada kondisi perkonomian dan pembangunan suatu Negara. Hal ini merupakan kelemahan utama dan yang tersulit.
2. ICESCR hanya mengenal sistem pelaporan. Tidak ada ketentuan didalamnya yang membolehkan individu untuk mengajukan petisinya atau memberikan hak kepada suatu Negara untuk mengajukan tuduhan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di negara anggota lainnya.
Rumusan ICESCR ini yang dirumuskan secara tidak mengikat. Karena itu pelaksanaannya tergantung itikad baik dari negara-negara anggotanya. Misalnya, Pasal 2 ICESCR mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk mengambil langkah-langkah yang dapat memungkinkan pelaksanaan hak-hak dalam ICESCR secar maksimum. Tujuannya adalah with a view to achieving progressively the full realization of the rights recoqnized in the present Covenant. Tampak bunyi ketentuan ini lemah.
Menurut Booysen, agar HAM internasional dapat menjadi efektif khusunya bagi individu, proses yang biasa atau dapat dilakukan adalah memberikan hak kepada individu tersebut. Karena itulah, peran Negara untuk memberikan hakhak ini dalam bentuk peraturan perundang-undangan menjadi sangat relevan. Agar hak-hak individu tersebut dapat terlindungi dengan efektif, maka perundang-undangan tersebut juga harus memuat ketentuan bagaimana hakhak tersebut dilindungi. Perlindungan ini antara lain adalah perlindungan melalui badan peradilan nasionalnya .
Namun demikian, keberadaan ICESCR setidakya memberikan dimensi baru terhadap Hukum Ekonomi Internasional dewasa ini. Subjek atau pelaku dalam bidang hukum ini telah cukup berubah dengan semakin diakuinya hak-hak individu dalam bidang ekonomi. Meskipun hak ini belum maksimal dihormati, setidaknya pengakuan terhadap hak-hak ekonomi terhadap individu merupakan sumbangan penting dalam bidang hukum ekonomi internasional.


Daftar Pustaka :
1. Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar
Penulis : Huala Adolf, S.H., LL.M, PhD
2. International Convenant on Economic, Social and Cultural
Rights (ICESCR) 1966 Konvenan Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya



Sejarah Terbentuknya KOnstitusi Islam

A. MADINAH Titik Awal Negara Islam
Madinah adalah kota yang paling tidak stabil, penuh dengan gangguan, dan tidak aman di semenanjung Arab. Tidak seperti Mekkah, ia tidak mempunyai institusi Mala’ atau dewan sesepuh sebagai lembaga arbitrase bagi peperangan antar-suku atau pertentangan antar-etnik. Kondisi yang demikian ini menjadikan penduduk Madinah ingin mencari seseorang yang mampu secara adil mengatasi suku-suku yang berperang dan menjaga kedamaian dan keharmonisan di dalam kota serta menyelamatkan masyarakat dari pertumpahan darah yang tidak berkesudahan.
Faktor sosial-politik inilah yang membuat penduduk Madinah tertarik kepada ajaran Islam dan Nabi saw, seorang yang mereka lihat sebagai hakim yang tidak memihak, hakim yang memang memiliki kebijaksanaan yang luar biasa untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan mereka. Mereka tahu bagaimana Nabi saw menyelesaikan perbaikan Kabah secara adil. Ketika Kabah diperbaiki, maka masyarakat kota Mekkah meminta Nabi saw untuk memutus-kan secara adil tentang bagaimana meletakkan batu hitam ke Kabah. Nabi saw kemudian melepas sorbannya dan menaruh batu tersebut di atasnya, kemudian dimintanya perwakilan dari setiap suku untuk mengangkat batu itu dengan cara memegang sorbannya. Inilah salah satu peristiwa yang membuat Muhammad saw yang belum menjadi nabi terkenal karena kecerdasan dan keadilannya.
Kebutuhan akan pemimpin yang adil ini, membuat masyarakat Madinah ingin mengundang Nabi saw ke kotanya. Mereka tahu bahwa Nabi saw banyak mendapat ancaman di Mekkah. Selama dua tahun lamanya dilakukan perundingan secara seksama, dan masuknya sebagian besar -tidak semua- penduduk dari dua suku Arab kepada Islam, Nabi saw menerima undangan mereka untuk berimigrasi ke kota tersebut. Mereka (penduduk Madinah) harus melindungi Nabi saw dari musuh-musuhnya, suku Quraisy, dan demikian pula Nabi saw mesti memberi mereka kedamaian dan kesatuan melalui persatuan spiritual.

B. Konstitusi Awal Islam
Di awal akan terbentuknya Negara Islam, kaum muslimin saat itu sangatlah menderita akibat tindakan yang dilakukan noleh orang-orang Quraisy, maka terpikir oleh Nabi Muhammad untuk membentuk kekuatan fisik diluar mekkah. Langkah strategis itu dilakukan oleh Nabi Muhammad pada saat musim haji disuatu tempat bernama Jabal Aqobah, untuk mendakwahkan Islam kepada tujuh orang pria Khazraj Yathrib yang kemudian mereka masuk Islam .
Kemudian mereka menyatakan sekembalinya ke Yathrib akan mengembangkan Islam disana, pernyataan ini dikenal dengan Ikrar AQOBAH 1, dan ternyata banyak penduduk Yathrib yang masuk Islam. Terbukti pada tahun berikutnya, datang 12 orang pria lagi dari Yathrib dan berjumpa lagi dengan Nabi di AQOBAH, mereka menyatakan masuk Islam, bersama mereak nabi mengirim Mas’ab Bin Umair untuk mempersiapkan mental dan Fisik agar yathrib menjadi markas Besar umat Islam .
Pada musim Haji berikutnya, datanglah dari yathrib ke Mekkah 72 orang kaum Muslim dan musrik untuk menjumpai Rasul. Mereka mengadakan pertemuan Rahasia pada suatu tengah Malam di jabbal aqobah, dari pertemuan rahasia itu melahirkan sebuah Ikrar yang intinya berbunyi: Demi allah, kami akan membela engkau ya rasull, seperti halnya kami membela istri dan anak Kami sendiri, sesungguhnya kami adalah putra-putra pahlawan yang selaluy siap mempergunakan senjata. Demikianlah Ikrar kami, ya Junjungan. Ikrar ini kemudian dikenal dengan sebuatan Ikrar Aqobah Dua .
Segera setelah sumpah-setia pertama di al-Aqaba tahun 620 M, Nabi saw mulai mengirim pengikut-pengikut setianya dari Mekkah ke Madinah. Sebelum dia sendiri melakukan hijrah pada tahun 622 M, Nabi saw memastikan seluruh kaum Muslim Mekkah harus sudah berpindah dan menetap di sana. Ini merupakan strategi yang hati-hati dan sangat cerdas. Karena, Nabi saw tidak ingin dianggap hijrah ke Madinah sebagai pelarian, melainkan sebagai pemimpin para pengikut setianya sendiri dari suku Quraisy yang berjumlah lebih dari dua ratus orang. Dengan demikian, ketika tiba di Madinah, secara antusias Nabi saw diterima, tidak hanya oleh tuan rumah Madinah, mulai saat ini disebut Anshar atau penolong, tetapi juga oleh pengikut setianya sendiri dari Mekkah, yang kemudian dikenal sebagai Muhajirin atau orang-orang yang berpindah .
Setelah tiga belas tahun perjuangan tanpa akhir, Nabi saw akhirnya berhasil menciptakan masyarakat Muslim terlatih yang secara bebas dan terbuka berkehendak melaksanakan ajaran agamanya. Di Mekkah, orang-orang Islam hanyalah sekelompok pemberontak dan minoritas tertindas yang meyakini agama baru, serta secara sosial, politik, dan ekonomi di bawah dominasi dari mayoritas non-Muslim, Quraisy. Di Madinah, justru sebaliknya, mereka membangun komunitas yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri dalam arti yang sebenarnya. Sebuah komunitas yang kelak akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan institusi-institusi termasuk organisasi pemerintahan.

C. Pembentukan Konstitusi Madinah
Nabi saw selanjutnya memformulasikan sebuah perjanjian (Mitsaq), yang secara umum dikenal dengan konstitusi Madinah, yang pada satu sisi merekatkan ketiga suku Muslim serta klan-klan mereka dalam kerjasama satu sama lain, dan di sisi lain antara suku-suku Yahudi dengan suku-suku Muslim. Perjanjian itu berisi 52 pasal, yang pasal keduanya diulang 20 kali, baik secara penuh ataupun dalam bentuk yang singkat dengan perubahan nama klan atau kelompok yang dimasukkan ke dalam perjanjian tersebut pada tanggal yang berbeda.
Hal yang secara khusus mesti diperhatikan adalah perjanjian itu ditandatangani secara terpisah dan independen oleh klan-klan yang berbeda dari suku-suku tersebut dan tidak ditandatangani oleh suku-suku secara keseluruhan. Kemudian, 32 pasal sisanya dapat dibagi dalam dua bagian, satu bagian berkenaan dengan urusan-urusan umat Muslim saja, sedangkan bagian yang lain berhubungan dengan tanggung jawab bersama, baik Muslim maupun Yahudi sebagai warga negara sederajat. Perjanjian tersebut juga mencakup komunitas pagan yang hidup di dalam dan sekitar kota Madinah, atau yang telah bersekutu dengan salah satu klan Muslim atau klan Yahudi.
Undang-undang yang di sepakati oleh Nabi saw dengan suku-suku di Madinah bukanlah sebuah UU yang jauh dari realitas masyarakat. UU itu mencerminkan realitas geografis, sosial, budaya, dan ekonomi dari suatu wilayah masyarakat. Dengan UU ini, Nabi saw telah berhasil memperkenalkan perubahan yang revolusioner dalam konsep kehidupan sipil masyarakat Arab. Jauh sebelumnya, keseluruhan konsep kehidupan kesukuan didasarkan pada pertalian darah, dan sekarang penekanannya telah dialihkan kepada komunitas yang dibentuk lewat seperangkat kesepakatan yang diterima secara bebas.
Muhammad tidak menyerang secara terbuka independensi dari suku-suku, tetapi dia menghancurkannya secara perlahan, dengan mengalihkan pusat kekuasaan dari suku kepada komunitas; dan walaupun komunitas tersebut terdiri dari kaum Yahudi dan pagan, di samping tentunya kaum Muslim, dia secara penuh mengakui, apa yang gagal diperkirakan rival-rivalnya, bahwa umat Muslim adalah partner aktif, dan segera akan memegang peran utama, dalam negara baru yang didirikan.”
Isi kontitusi itu, memperlihatkan bahwa: (1) munculnya bangsa yang pluralistik secara politik tanpa memandang agama, etnik, atau afiliasi suku; (2) konstitusi tersebut menjamin secara penuh terhadap kebebasan beragama dan kemudian dia liberal dalam fungsinya; (3) dia secara total memberikan kebebasan internal kepada setiap konstituen klan dan sukunya, dan oleh sebab itu dia berkarakter federalistik, dan yang terakhir; (4) komitmen dan loyalitas kepada komunitas mengatasi segala loyalitas lainnya.
Karakteristik konstitusi dasar seperti tersebut di atas, negara Muslim pertama terwujud pada tahun 622 M. Nabi saw adalah, -secara pasti dengan tidak dipersoalkan lagi- kepala negara, dan secara bersamaan dia juga seorang Nabi. Dia telah menjadi pemimpin dari pengikutnya, para imigran Quraisy, seperti halnya para pemimpin dari klan-klan dan suku-suku Madinah.
Pembentukan masyarakat oleh Nabi saw mengindikasikan bahwa tidak ada antagonisme antara keagamaan dan sekuler, spiritual dan temporal, yang suci dan yang profan. Tetapi, kenyataannya, ruang dari aktivitas keduanya, meskipun saling melengkapi adalah berbeda Manusia merupakan makhluk Tuhan dan konsekuensinya sisi ilahiah dan primordial ada dalam fitrahnya sebagaimana Dia berfirman, “Dan Aku telah tiupkan kepadanya ruh-Ku” (QS. 15:29), sementara itu, negara adalah buatan manusia dan secara temporal mesti memperhatikan subyek dari pengalaman manusia dengan perubahan dari ‘ruang-waktu’, dan dalam konteks ‘zaman’ dan ‘generasi’.
Prinsip-prinsip Konstitusi Madinah ini dapat menjadi rujukan bagi pembentukan tatanan negara modern yang pluralis (agama, ras, suku dan golongan) namun menjadikan agama sebagai bagian penting kehidupan bernegara. Mantan Deputi PM Malaysia Anwar Ibrahim ketika menyampaikan pidato kebudayaannya pada Festival Istiqlal 1995 di Jakarta, berjudul “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani” berkata, “Justru itu Islamlah yang pertama kali memperkenalkan kepada kita di rantau ini kepada cita-cita keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis.” Menurut Anwar, “Kedatangan Islam bukan sekedar membentuk pandangan hidup baru yang mengutamakan peranan akal dan pemikiran rasional, namun juga mencakup revolusi ruhaniah dan aqliyah yang juga kemudian menggerakkan transformasi sosial, yaitu secara berangsur-angsur meletakkan asas susunan baru kemasyarakatan dan urusan kenegaraan yang mementingkan kemuliaan derajat insan.”
Masyarakat yang dibangun pada zaman Rasul tersebut identik dengan civil society dalam bahasa modern, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban (civility). Karena itu model masyarakat ini sering dijadikan model sebuah masyarakat modern, sebagaimana yang juga diakui oleh seorang sosiolog kenamaan, Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief (1976). Bellah mengakui, dalam buku hasil penelitiannya ini terhadap agama-agama besar di dunia itu, bahwa masyarakat yang dipimpin Rasulullah saw itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah melakukan lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya.
Dokumen Madinah membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, menurut Hamidullah, Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.
Secara formal Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama, antar sesama muslim, bahwa sesama muslim adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsp bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama.
Akan tetapi secara umum, sebagaimana terbaca dalam teks, piagam Madinah mengatur kehidupan sosial penduduk Madinah secara lebih luas. Ada dua nilai dasar yang tertuang dalam piagam Madinah, yang menjadi dasar bagi pendirian sebuah negara Madinah kala itu. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawwah wal-’adalah) Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip itu lalu dijabarkan dalam dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai universal, seperti konsistensi (i’tidal), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasut) dan toleran (tasamuh).
Dokumen Madinah itu pula umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya .
Oleh sebab itu, dalam negeri Madinah saat itu, walaupun penduduknya heterogen kedudukannya sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan aktivitas dalam bidang sosial ekonomi. Setiap pihak mempunyai kebebasan yang sama untuk membela Madinah tempat tinggal mereka. Masyarakat Madinah yang bernilai peradaban itu dapat dibangun hanya setelah Rasulullah melakukan reformasi dan transformasi ke dalam (inner reformation and transformation) pada individu yang berdimensi aqidah, ibadah dan akhlak. Karena iman dan moralitas menjadi landasan dasar Piagam Madinah.



Hukum Administrasi Negara Sebelum Dan Sesudah Reformasi

LATAR BELAKANG MASALAH
Administrasi negara merupakan pilar penting dalam suatu negara. Begitu juga di negara Indonesia. Administrasi merupakan sebuah subsistem yang pokok dalam kehidupan sistem negara kita. Administrasi menjadi penanggunjawab dalam menjalankan peran birokratisasi di negara Indonesia. Lebih jauh lagi, administrasi negara merupakan media untuk menyalurkan sebuah kebijakan dalam bentuk pelayanan masyarakat.
Masa revolusi, merupakan awal adanya administrasi di negara Indonesia yang memiliki kelemahan dalam kualitas dan efektifitas, terlebih adanya administrasi dalam masa revolusi masih dipengaruhi oleh perkembangan administrasi penjajahan. Masa orde lama diharapkan mampu memperbaiki sistem administrasi negara Indonesia namun masih juga terdapat kekurangan karena sistem pemrintahan yang terjadi saat itu dan kekuatan kalangan tertentu dalam pelaksanaan public policy.
Administrasi negara mengalami perkembangan dalam hal konsep di masa orde baru namun sayangnya hal tersebut tidak diikuti oleh pelaksanaan yang baik. Hal tersebut akhirnya berakhir di masa reformasi dengan adanya perombakan dan perbaikan di berbagai sisi. Proses reformasi administrasi ini masih berlangsung hingga sekarang dan masih mencari model yang sesuai.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan di berbagai bidang agar sistem administrasi masa depan Indonesia merupakan sistem administrasi yang efisien dan mampu melayani masyarakat. Berdasarkan beberapa penelitian menemukan bahwa sistem administrasi negara Indonesia masih memerlukan perbaikan karena banyak terjadi penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan koran Kompas, Selasa 16 Desember 2008 halaman 27 sistem administrasi Indonesia jelek sehingga menjadi sumber korupsi, khususnya sistem administrasi keuangan.
Terdapat berbagai peraturan perundangan yang memberikan celah adanya penyalahgunaan wewenang untuk korupsi yang dilakukan oleh birokrat. Berdasarkan data dari KPU tahun 2007 kasus korupsi yang masuk tahap penyelidikan 68 kasus, tahap penyidikan 29 perkara, dan penuntutan 24 perkara. Indonesia masih berkutat dengan masalah penyakit birokrasi padahal tantangan ke depan sangat berat. Apalagi Indonesia masih tergolong tertinggal dari negara-negara lain. Oleh karena itu layaknya kita harus berlari mengejar kesempurnaan. Indonesia dituntut untuk menciptakan sebuah birokrasi yang efektif dan efisien

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Hukum Administrasi Negara pada masa Orde baru dan setelah reformasi?
2. Bagaimana Kedudukan desa sebelum dan sesudah Reformasi?

PEMBAHASAN
Hukum Administrasi Negara mempunyai kekuasaan untuk mewajibkan semua pihak mengimplementasikan prinsip Good Governance pada aktivitas administrasi Negara sehari-hari, memberikan sanksi dan memberikan kriteria-kriteria yang berkaitan dengan implementasi Good Governance bagi pejabat dan petugas administrasi Negara. Good Governance di dalam HAN sudah merupakan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah. Dengan demikian paradigma yang harus dipegang teguh adalah melayani masyarakat (to serve people).
Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai RUU Program Legislasi Nasional prioritas pada tahun 2007. RUU ini diharapkan dapat menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang cukup revolusioner dan menjadi instrument untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. RUU ini juga akan menjadi hukum materiil bagi Hukum Administrasi Negara di Indoneisia melengkapi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004) yang lebih dulu ada.
Hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma-norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak partikelir. Diantara kedua bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Setelah reformasi dipilih menjadi bagian dari bangsa Indonesia, ada beberapa Konsekwensi yang diterima oleh bangsa Indonesia atau beberapa perubahan yang Fundamental bagi bangsa Indonesia.
Pertama, Implikasi pada sistem administrasi kebijakan publik. Dalam hal Ini, dengan amandemen maka MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan GBHN dan produk perundangan lainnya kecuali dalam rangka pengangkatan presiden dan wakil presiden. Sebagai tindak lanjut dari amandemen tersebut, berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 2004, beberapa Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mengalami perubahan, yakni hilangnya Ketetapan MPR (TAP MPR) dalam tata urutan perundang-undangan.
Kedua, Amandemen menetapkan pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan MPR hanya berwenang melantik saja. Presiden bertanggung jawab kepada rakyat yang diperankan oleh DPR yang memegang fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan serta berbagai hak lainnya. Peran DPR menjadi terlalu kuat bahkan ikut menentukan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar, Panglima TNI dan Polisi yang mestinya menjadi kewenangan Presiden.
Ketiga, Amandemen konstitusi juga telah mengembang biakkan kelembagaan negara dengan lahirnya berbagai lembaga negara tambahan seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi, serta aneka bentuk agen-agen kelembagaan negara pembantu (state auxiliary agencies) dalam wujud puluhan komisi baru. Aneka lembaga negara baru ini selain masih kabur dan saling tumpang tindih dalam kewenangannya. juga berimplikasi luas pada sistem administrasi dan pembiayaan negara.
Keempat, Implikasi pada administrasi perekonomian negara. Penambahan ayat 4, pada pasal 33 UUD 1945 membawa celah kontestasi dalam peramuaan perundang-undangan yang menyangkut perekonomian dan kesejahteraan sosial, Perubahan ini akan menimbulkan tantangan baru bagi administrasi perekonomian negara yang lebih responsif terhadap tuntutan pasar, yang jika tanpa hati-hati bisa merugikan kesejahteraan dan pelayanan umum.
Kelima, Implikasi pada sistem adminstrasi pengawasan dan pertanggung jawaban. Sebelum amandemen, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berfungsi sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Setelah amandemen dinyatakan BPK memiliki perwakilan di setiap Provinsi. Hal ini akan mengakibatkan pembesaran scope BPK di masa depan.
Keenam, Implikasi pada siatem administrasi pelayanan publik. Jika sebelumnya pemerintah pusat lebih berperan dalam pelayanan publik, setelah amandemen pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih dalam pelayanan publik dan menyebabkan sejumlah paradok dalam pemerintahan dan pembangunan.
Dapat kita lihat, bagaimana keadaan bangsa Indonesia berubah sangat signifikan. Menurut Dr. Hj. Ni’matul Huda SH.,M.Hum didalam seminar Nasional yang di selenggarakan oleh HMI FH UII pada Mei 2009, Jika kita melihat dari segi Konstitusi, Konstitusi bangsa Indonesia berubah sebanyak 300%. Hasil ini bukanlah hal yang main-main, Konstitusi sebagai garda terdepan bangsa Indonesia berubah secara total. Untuk lebih menarik lagi, didalam makalah ini akan coba kami sajikan kasuistik perubahan HAN didalam pemerintahan desa.
Proses reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem kekuasaan yang ada dari otoritarianisme menuju demokrasi. Berbeda dengan masa Orde Baru yang menjalankan kekuasaan secara sentralistik-otoriter, era reformasi ditandai dengan digunakannya, dalam tingkat tertentu, prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi sebagai basis acuan bekerjanya kekuasaan. Pergeseran ini dapat dilihat dari pola hubungan antara pusat-daerah seperti yang termaktub dalam UU tentang Otonomi Daerah. Dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 daerah telah diberi keleluasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Perubahan relasi itu bisa juga dilihat pada level desa, dimana upaya-upaya demokratisasi dan desentralisasi secara formal mulai dilaksanakan. Model sentralistik ala UU No. 5 Tahun 1979 yang dipakai sebagai alas yuridis Orde Baru untuk menata desa, dirombak secara mendasar. Regulasi yang baru telah membuka peluang bagi dikembangkannya otonomi yang dihambat secara luar biasa oleh Orde Baru. Pertanyaan yang kemudian muncul dengan hadirnya UU No. 22/1999 adalah apakah UU tersebut membuka ruang bagi pelaksanaan otonomi desa? ataukah sebaliknya, justru menjadi alat yuridis bagi negara untuk menjalankan proyek-proyeknya dalam bungkus yang lebih demokratis?

Mendefinisikan Desa
Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, Secara sosiologis, desa merupakan sebuah gambaran dari suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka (masyarakat) saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam.
Komunitas masyarakat di atas kemudian berkembang menjadi satu kesatuan hukum dimana kepentingan bersama penduduk menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan Atau dalam bahasa Soetardjo Kartohadikoesoemo, “suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang mengadakan pemerintahan sendiri”. Ciri dari masyarakat hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri dengan batas yang sah, berhak mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri, berhak mempunyai sumber keuangan sendiri, serta berhak atas tanahnya sendiri (menurut I Nyoman Beratha).
Dalam konteks inilah kemudian Desa menemukan identitasnya sebagai sebuah kesatuan hukum yang memiliki hak untuk mengurus kepentingannya sendiri, yang dalam bahasa lain disebut hak otonomi. Dengan demikian desa secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk, dimana otonomi yang dimilikinya bukan pemberian pihak lain.

Desa di masa Orde Baru
Kemunculan Orde Baru ditandai dengan motif melakukan pemulihan kehidupan ekonomi yang porak poranda pada masa Soekarno. Keinginan tersebut membawa konsekuensi adanya jaminan stabilitas politik yang berwujud terbentuknya sistem politik yang mendukung transformasi ekonomi serta jika diperlukan mampu dan dapat mengendalikan akibat-akibatnya (terutama dengan menjinakkan oposisi agar jangan sampai “menggangu” pemerintah). Sistem kekuasaan Orde Baru kemudian dijalankan secara sentralistik-otoriter dengan memberikan porsi yang sangat besar terhadap peran negara.
Khusus untuk menata desa, Orde Baru telah melakukan pengaturan-pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa. Dengan mengeluarkan UU No.5/1979 desa oleh Orde Baru dikonsepsikan sebagai “suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatan Republik Indonesia “.
Jika kemudian ditinjau lebih jauh, konsepsi desa Orde Baru merupakan suatu konsepsi desa dalam pengertian administratif. Desa dalam pengertian administratif adalah satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu, suatu satuan masyarakat, dan suatu satuan pemerintahan, yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan. Dengan diartikannya desa sebagai satuan ketatanegaraan yang memiliki satuan pemerintahan memberikan kejelasan arti desa dalam konteks di atas, yaitu desa merupakan bagian dari organisasi pemerintahan, baik horizontal maupun vertikal, yang berada di daerah, baik berdasarkan asas dekonsentrasi maupun desentralisasi.
Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif, UU No.5/1979 juga telah melakukan perubahan-perubahan struktur desa, yaitu :
1. Penyeragaman struktur pemerintahan desa. Ini merupakan strategi dari Orde Baru untuk memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa.
2. Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah nasional. Menempatkan pemerintah desa sebagai rantai akhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintah yang sentralistik. Ini menjadikan desa hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat.
3. Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada Kepala Desa.
Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama Orde Baru atas desa, yaitu pertama, mengarahkan pengertian desa pada sudut administrasi negara. Kedua, menempatkan desa sebagai alat dari pemerintah pusat. Titik inilah yang kemudian merubah arti desa yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan masyarakat hukum adat tertentu bergeser ke arah pengertian/arti desa yang dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan-satuan ketatanegaraan, atau satuan–satuan administratif pemerintahan. Dengan kalimat lain kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom makin lama makin turun karena menjadi subsistem terbawah dari birokrasi pemerintahan nasional. Otonomi asli desa tidak bisa lagi dilaksanakan karena kedudukan desa yang telah berubah menjadi subsistem dari negara.

Desa di era Reformasi
Pada era reformasi, rezim yang baru diliputi persoalan lemahnya legitimasi serta ancaman disintegrasi bangsa akibat adanya keinginan dari beberapa daerah untuk memerdekakan diri, lepas dari Republik Indonesia. Hal di atas direspon oleh pemerintah Habibie dengan mengeluarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang berisi tentang pemberian otonomi kepada daerah untuk mengurus kepentingan dan rumah tangganya sendiri.
Pada UU No. 22/1999 terutama pasal 93-111, pasal-pasal yang mengatur tentang desa, mengandung semangat mengakhiri sentralisasi serta mengembangkan desa sebagai wilayah otonom. Desa dikembalikan statusnya sebagai lembaga yang diharapkan demokratis dan otonom, hal ini terlihat dari pertama, adanya ‘keinginan’ untuk mendudukkan kembali desa terpisah dari jenjang birokrasi pemerintah. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal usul, dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat. Kedua, memulihkan demokrasi di tingkat yang paling rendah dengan pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD).
Berkaitan dengan struktur desa, ada beberapa perubahan yang dibawa oleh UU No.22/1999, yaitu :
1. Penghapusan penyeragaman struktur pemerintahan desa.
2. Pembentukan struktur pemerintahan desa baru yang terdiri atas pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa
3. Pembentukan lembaga perwakilan di tingkat desa dan penghapusan fungsi kepala desa sebaga pusat kekuasaan di desa.
Jika ditinjau secara umum, apa yang telah dilakukan pemerintah pada era reformasi berkaitan dengan regulasi-regulasi yang dibuat bagi desa, telah membawa angin segar atas harapan akan adanya otonomi desa. Harapan bagi terbukanya ruang-ruang pelaksanaan otonomi dan demokratisasi ditingkatan desa telah dipupuk.
Namun demikian dalam UU No. 22/1999 masih juga menyisakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan otonomi di tingkat desa. Pada beberapa pasal dalam UU No. 22/1999 justru membuat orang ragu atas kesungguhan pemerintah untuk benar-benar memberikan otonomi kepada desa. Hal ini didasarkan pada pertama, desa masih dibuat tergantung pada dinamika pembentukan kebijakan kabupaten (pasal 93). Kedua, desa masih harus melakukan tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan kabupaten (pasal 99). Ketiga, pemerintah desa masih ditempatkan sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan (bagian Penjelasan Umum Pemerintah Desa). Keempat, keluarnya Keputusan Mendagri No. 64/1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.
Otonomi Desa sebagaimana yang dikonsepkan dalam UU No. 22/1999 adalah otonomi yang berasal dari “niat baik” negara. Karena sifatnya pemberian maka adanya pasal-pasal yang kontradiktif merupakan hal yang lumrah. Hadirnya UU No. 22/1999 lebih didasarkan atas usaha untuk meredam potensi disintegarasi bangsa dibandingkan sebagai usaha yang tulus dari negara untuk mengembalikan otonomi kepada desa menjadikan otonomi desa yang dikonsepkan dalam UU tersebut bukanlah otonomi desa sebagaimana konsep aslinya, yaitu desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengurusi kepentingannya sendiri.

PENUTUP(KESIMPULAN)
Setelah menganalisa dan membahas beberapa permasalahan diatas, maka dapat disimpulkan, yaitu:
1. Penyelenggaraan pemerintahan Indonesia pada masa orde baru lebih bersifat otoriter, dimana kekuasaan penuh dipegang oleh pemimpin bangsa Indonesia
2. Penyelenggaraan desa pada masa orde baru lebih bersifat ingin menguasai Negara secara keseluruhan, dengan menjadikan desa sebagai subsistem dari pemerintah, dan dimasa reformasi, pemberian otonomi masih sangat setengah hati karena kondisinya pada waktu reformasi ialah untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari dis Integrasi bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD dan SF Marbun
2. Institute for Research and Empowerment (IRE)
3. Harian Umum Pelita, Jumat 23 Oktober 2009
4. Kajian Sekretaris Negara, Rabu 8 Maret 2007
5. Hukum Administrasi Negara, Ridwan HR



Legal Opinion

BAB I
PENDAHULUAN
A. PEMBUKAAN
Legal Memorandum ini ditujukan untuk penulisan tugas Metode Penelitian Hukum FH UII
Prihal : Upaya yang dapat dilakukan pencuri semangka terhadap ketidakadilan yang diterapkan oleh aparat penegak Hukum
Tanggal : 1 Januari 2008

B. PERNYATAAN
1. Bahwa seluruh isi dari legal memorandum ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya
2. Bahwa dokumen yang telah diperiksa antara lain adalah
a. KUHP
b. Pendapat ahli Hukum/Doktrin
3. Bahwa demi tegaknya keadilan substantif maka dipandang perlu adanya pendapat Hukum ini
BAB II
PARA PIHAK, POSISI KASUS, DAN PERMASALAHAN HUKUM
A. PARA PIHAK
1. Suliso Bimbang Selalu (Direktur Gurita Company/GC), yang berkedudukan di Cikeas, dalam hal ini berdiri sebagai pihak yang dirugikan oleh perbuatan yang dilakukan oleh Amin Raib yang diduga melakukan “PENCURIAN”, selanjutnya disebut Korban.
2. Amin Raib (guru besar pakar poliartis), yang bertempat tinggal di Yogyakarta dalam hal ini sebagai pihak yang diduga telah melakukan pencurian yang menyebabkan Suliso Bimbang Selalu merasa dirugikan karena telah dicuri semangkanya. Selanjutnya disebut sebagai Pelaku

B. POSISI KASUS
1. Korban mengeluh, bahwasanya Semangka diperkebunannya telah hilang sebanyak 1 buah, dimana seharusnya semangka tersebut menjadi salah satu penghasilan dari Gurita Company (GC), sehingga korban merasa dirugikan sangat tidak besar, yaitu Rp.1.150,
2. Karena merasa sangat dirugikan, korban mengadukan hal ini kepada petugas lapangannya yaitu Sasno Duadji
3. Ternyata setelah dilakukan penyelidikan, yang melakukan pencurian buah tersebut adalah poliartis yang baru saja datang dari Yogyakarta, yaitu Amin Raib. Korban merasa dirugikan dengan pencurian tersebut lalu melaporkannya kepada Kepolisiksaan,(petugas yang berwenang)

C. PERMASALAHAN HUKUM
Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh sang pencuri yang sedang kehausan?

BAB III
PENELUSURAN BAHAN HUKUM

A. KUHP
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwasanya kasus diatas dapat kita lihat secara kasat mata adalah sebuah kasusu pencurian. Namun beberapa hal yang menurut penulis menarik untuk dikaji adalah, apakah keadilan itu harus exclusionarry rules ?
Pergulatan Positifis dengan keadilan memang belum berakhir, akan lebih baik apabila realita penegakan Hukum yang seperti kasus diatas kita kaji secara mendalam. Kajian kita mulai lakukan dengan melihat dulu aturan Hukum materilnya yang diterapkan oleh aparat penegak Hukum kita. Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian, unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 362 adalah :
1. MENGAMBIL
Pengambilan telah selesai, jika barang berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian dilepaskan lagi karena diketahui.
2. SESUATU BARANG
Yang dimaksud dengan pengertian “suatu barang”, termasuk juga barang ekonomis (karcis, Kunci, dan semangka)
3. KEPUNYAAN ORANG LAIN
Diamana barang yang ia ambil itu bukan miliknya ataupun milik orang yang kenal dengan ia. Jadi barang tersebut ialah barang bukan miliknya lantas ia perlakukan barang tersebut seolah-olah itu adalah miliknya
4. MAKSUD UNTUK MEMILIKI
Untuk pencurian dengan maksud untuk memiliki harus berbarengan dengan kejadian pengambilanya.
B. PENDAPAT AHLI HUKUM
1. Equality before de law, doktrin ini menjadi suatu asas yang berlaku di Indonesia. Didalam ajaran Doktrin tersebut semua orang tanpa kecuali kedudukannya sama dimata Hukum, dan sama sekali tidak ada pembedaan diantara mereka, artinya seorang poliartis yang melakukan suatu pencurian terdahsyat sekalipun (mencuri semangka), tetap akan dihukum sama apabila yang mencurinya adalah direktur Gurita Company.

BAB IV
ANALISIS HUKUM
Pencurian didalam hukum manapun merupakan suatu tindakan melawan hukum, karena perbuatan tersebut merugikan orang lain, dalam hal ini adalah pemiliki Lahan sekaligus direktur Gurita Company, Suliso Bimbang Selalu. Ada beberapa hal yang menjadi syarat, diantaranya adalah:
1. Adanya kerugian
2. Adanya kesalahan yang telah dilakukan
3. Adanya konstelasi antara Kerugian dengan kesalahan
4. Perbuatan itu melanggar Hukum
Apabila kita melihat secara kasat mata, maka perbuatan yang dilakukan oleh Amin raib atau pelaku adalah tindakan melawan Hukum atau pencurian, namun kitapun harus mengingat apa yang telah digagas oleh guru besar hukum prgogresif Prof. Sadjipto Rahardjo , bahwa didalam rangka penegakan Hukum, tujuan Hukum tersebut juga haruslah terpenuhi, jadi tidak semata-mata memenuhi unsur delik materilnya saja.
Sebagaimana yang telah kita junjung selama ini, penerapan pasal 362 & 363 KUHP juga harus tertuju pada tujuan dari keberadaan Hukum itu sendiri, yaitu tercapainya keadilan. Untuk mencapai keadilan tersebut, atau keadilan substantif, maka tidak bisa jika hanya menggunakan analisa Hitan diatas Putih (KUHP), tetapi perlu tinjauan sosio moril yang tinggi agar keadilan tersebut dapat tercapai.
Seperti yang telah kita pahami pada kasus ini, pencurian yang telah dilakukan oleh Amin Raib adalah untuk memenuhi rasa dahaga pelaku karena sedang mengalami kehausan dengan rekannya, yang kebetulan mereka melintasi kebun yang dimiliki oleh suliso Bimbang Selalu. Sebagai pemilik betul beliau merasa dirugikan, namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kerugian tersebut setimpal dengan hukuman yang diterapkan oleh aparat penegak Hukum?
Sebagi suatu aturan hukum memang kita harus menghargai akan keberlakuannya di negara Indonesia, namun perlu disadari pemberlakuan hukum tersebut tidak serta merta letterlijhk(kaku), melainkan juga harus sesuai dengan keadaan sosiologis dan sosio moral yang berlaku dimasyarakat. Sehingga Hukum itu tidak kaku seperti batu, melainkan Fleksibel dan dapat diterapkan di segala tempat. Didalah gagasan Hukum progresif ini dikenal dengan the rule of moral atau the rule of pancasila, diamana yang berlaku adalah nilai-nilai yang hidup didalam suatu masyarakat.
Lantas apakah pantaas seorang Amin Raib dan rekannya dipenjara oleh aparat penegak Hukum dikarenakan telah mencuri sebuah semangka diaman ia mencuri bukan karena hal lain yang melainkan adalah untuk menghilangkan dahaga pada saat ia melintas di perkebunan semangka tersebut? Tetnunya ini akan menjadi suatu hal yang sangat bertentangan dengan nurani keadilan bagi masyarakat Indonesia.

BAB V
PENDAPAT HUKUM
1. Ada beberapa indikasi adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku sebagaimana yang telah dirinci diatas tadi, bahwasanya pelaku telah melakukan pencurian sebuah semangka. Namun pencurian tersebut jangan semata-mata dilihat sesuai dengan KUHP atau tidak, tetapi dengan mencari tahu juga apa alasan ia mencuri. Sebagaimana yang telah diketahui, banwasanya pelaku melakukan pencurian tersebut karena merasa kehausan. Hal ini penting sebelum pelaku di tindak melalui aturan hukum, mengingat hukum itu harus mencapai ma’rifatnya (keadilan).
2. Sebagai aparat penegak Hukum, didalam menegakan Hukum pun seharusnya melihat unsur-unsur sosio-moral masyarakat yang berlaku, dan tidak hanya menjunjung tinggi hukum tertulis saja.
3. Suliso Bimbang Selalu sudah sepatutnya memberikan suatu keringanan kepada Pelaku, karena harga semangka yang dimakan tersebut tidaklah begitu berarti dengan harta kekayaan Suliso Bimbang Selalu yang saat ini bertambah 6,7 triliun. Sudah sepatutnya Bpk Suliso pun tidak mempermasalahkan pencurian tersebut.
4. Semangka yang dimakan jangan dipandang sebagai pencurian, melainkan sebagi suatu pemberian saja kepada sodara Amin Raib.



DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Sadjipto Rahardjo, Sisi Lain Hukum, Kompas, 2007
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
3. Prof. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, 2008



22 Januari 2010

Nasib Bantuan Hukum Indonesia

A. Hukum di Indonesia: Harapan dan Realita
Indonesia belum sepenuhnya menyelesaikan proses Demokrasi. Dampak dari krisis finansial yang akhirnya menjadi krisis multidimensional masih terasa hingga saat ini. Kendati harus diakui, krisis pada akhir tahun 90-an menjadi salah satu faktor penting yang mendorong terjadinya “perubahan” karakter kekuasaan dari kekuasaan yang otoriter menjadi kekuasaan Deokratis, dan juga mendorong reformasi di bidang lainya, meskipun Demokrasi subtantif masih jauh.
Sebagai bangsa yang telah merdeka + selama setengah abad, indonesia memutuskan untuk menjadi negara Hukum, keputusan ini tercermin didalam Konstitusi bangsa Indonesia, yang mengatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara Hukum ”. Tentunya dengan pilihan tersebut berkonsekwensi bahwa, segala sesuatu yang dilakukan oleh bangsa Indonesia ialah harus berdasarkan Hukum yang ada. Artinya, apabila sesuatu yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dan itu diluar aturan Hukum yang ada maka dapat dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum.
Hukum yang ada di Indonesia dari lahir hingga tulisan ini dibuat, masih saja mengharapkan yang namanya keadilan. Harapan akan keadilan bukanlah suatu hal yang aneh lagi dimata rakyat Indonesia. Lantas menimbulkan suatu pertanyaan baru, mengapa Keadilan tak kunjung tegak setelah + setengah abad bangsa ini merdeka? Sebagai suatu bangsa yang merdeka, sudah sepatutnya bangsa Indonesia juga memiliki Hukum yang merdeka layaknya Amerika berfikir merdeka. Ada pepatah yang mengatakan, “janganlah takut bermimpi, karena hari tak selamanya malam” apabila kita menggunakan kata pepatah tersebut, maka kitapun akan terus bertanya lagi lebih dalam, mengapa keadilan tidak kunjung siang?
Melihat suatu realita sosial, bukan hal yang mengherankan lagi apabila kita masih melihat disana-sini rakyat masih banyak yang kelaparan, bahkan yang mengenaskan lagi ialah mati akibat busung lapar. Didalam konstitusi bangsa Indonesia atau UUD 1945, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Kemiskinan akan terus terjadi, dan anak terlantar akan terus bertambah apabila tafsir dari Konstitusi tersebut menjadi “negara tetap memelihara anak terlantar dan orang miskin”, jadi kemiskinan dan anak terlantar bahkan yang mati kelaparanpun akan terus bertambah apabila di tafsirkan seperti ini.
Bangsa ini tidak akan pernah dapat mewujudkan mimpinya didalam mewujudkan keadilan yang se-adil-adil-nya apabila Rule Of law selalu mengalahkan Rule Of Moral dan Rule Of Pancasila. Pada dasarnya semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi kebenaran mutlak tidak mungkin dimiliki oleh manusia, karena yang benar hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif, dan pemikiran yang mengklaim sebagai kebenaran secara mutlak dan yang lainya itu salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ke-Tuhan-an.

B. Pelacuran Peradilan Indonesia
Betapa memalukannya wajah Hukum bangsa Indonesia pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam sidang kasus permohonan uji materil kasus Bibit Salmet Rianto dan Chandra M. Hamzah, dimana MK memutuskan untuk memutar rekaman hasil sadapan yang dimiliki KPK. Tanpa disadari oleh aparat penegak Hukum bangsa ini, yang lebih memalukan lagi adalah terbukti betapa murahnya Harga diri aparat penegak Hukum bangsa ini. Kasus ini sangatlah mencerminkan bukti kuat bahwasanya, sudah sedikit PSK (Pekerja Seks Komersial)/Pelacur yang ditangkap aparat penegak Hukum Indonesia oleh karena para PSK/Pelacur tersebut telah pindah tempat dan melacurkan diri di Pengadilan, yang biasa disebut dengan Mafia peradilan.
Jika kita menelaah lebih dalam, apa bedanya PSK/pelacur di pinggir jalan dengan pelacur di pengadilan? Mereka sama-sama mencari nafkah, sama-sama menjual diri, dan sama-sama merusak moral bangsa Indonesia. Hal yang membedakan mereka berdua hanyalah tempat mereka menjual diri dan harga jual diri mereka. Ada yang di pinggir jalan, ada pula yang di pengadilan, dan tarifnya juga berbeda, mengingat tingkat kepuasaan yang didapatkan juga berbeda, yang menjual diri di pengadilan mempunyai efek puas yang lebih lama dibandingkan yang di pinggir jalan. Tentunya juga ini membuktikan, bahwasanya kelebihan didalam kemampuan ekonomi finansial ternyata banyak artinya untuk dapat mengongkosi kemenangan Hukum.
Dapat kita pastikan melalui kaca mata awam, bahwa kasus pembongkaran tersebut hanyalah kasus kecil dari kasus yang sebenarnya, mengingat nama RI 1pun tercatut didalam rekaman tersebut. Kecil harapan bangsa ini untuk mewujudkan keadilan yang selalu saja menjadi mimpi bagaikan suangai yang tak bermuara, dan lautan yang tak bertepi. Layaknya malam yang tak kunjung terang, rakyat indonesia harus segera diselamatkan dari pada upaya penjualan bangsa ini. Satu pesan Presiden pertama bangsa Indonesia yang takan pernah boleh dilupakan, “wahai saudaraku, tugsaku amatlah mudah karena hanya melawan para penjajah dari bangsa ini, namun tugas kalian sangatlah sulit karena harus melawan saudara kalian sendiri”

C. Peran Penting Lembaga Bantuan Hukum
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang bernaung dibawah YLBHI, sejak lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai lembaga yang memberikan bantuan dan pelayanan hukum kepada masyarakat untuk memperoleh akses keadilan. Salah satu upaya untuk membantu masyarakat didalam menggapai keadilan telah dilakukan YLBHI-LBH selama ini. Upaya tersebut dilakukan dengan beragam cara, yang pada pokoknya dapat diklasifikasikan Litigasi dan non-Litigasi. Aktivitas Litigasi merupakan pendampingan klien dan konstituen LBH dalam proses pengadilan, sementara aktivitas non-Litigasi merupakan pendampingan diluar proses beracara.
Bagi beberapa LBH, Kemiskinan hingga saat ini masih menjadi suatu problem bagi bangsa Indonesia. Setelah setengah abad lebih bangsa ini merdeka, bangsa ini belum mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya. Permasalahan menjadi semakin serius ketika kaum yang termarjinalkan ini (orang miskin) juga tidak mendapatkan hak-haknya dimata keadilan (Hukum). Dalam beberapa kasus dapat kita lihat, betapa keadilan itu benar-benar hanya dongeng di bangsa ini. Betapa tidak, akhir-akhir ini dapat kita lihat beberapa kasus Hukum (pencurian) seperti pencurian buah semangka, kasus ini telah menjadi buah bibir masyarakat indonesia. Selain menjadi buah bibir, kasus tersebut menjadi bukti terbalik atas asas equality before the law(setiap orang sama kedudukanya dihadapan Hukum). Menjadi sebuah kebaikan tersendiri andaikata asas itu bisa menjadi lebih jujur terhadap suatu realita menjadi, Setiap orang berbeda kedudukanya dihadapan Hukum.
Melihat realita tersebut, sudah semestinya LBH menjadi garda terdepan didalam melakukan advokasi bagi seluruh kaum yang termarjinalkan tersebut. Lembaga Bantuan Hukum sejak dilahirkan memiliki ideologi keadilan, dimana selalu akan memberikan suatu Advokasi atas suatu ketimpangan sosial yang terjadi dimasyarakatm khususunya ketimpangan didalam permasalahan Hukum. Lembaga Bantuan Hukum memiliki peran sentral didalam progress menggapai keadilan di Indonesia.
Tidak jarang kita melihat suatu Advokasi yang diberikan oleh beberapa Advokat dapat dikatakan sebagai Advokasi tidak Cuma-Cuma (ada tarifnya). Ini memang tidaka salah dilakukan oleh advokat, namun betapa menyedihkan apabila terjadi suatu ketidakadilan dimasyarakat yang telah menindas rakyat didalam permasalahan Hukum, para advokat masih mengutamakan hal-hal yang bersifat material. Tentunya apabila ini terjadi sudah semestinya pengadilan itu dibubarkan saja. Betapa tidak pengadilan yang notabenya adalah tempat meraih keadilan telah bergeser peran dan fungsinya yang tidak berbeda dengan warung makan.
Permasalahan tersebut tentunya harus menjadi sorotan tersendiri bagi LBH yang notabennya masih memiliki dan memegang teguh ideologi keadilan. Realita tersebut tentunya selain menjadi sorotan juga harus menjadi agenda perlawanan bagi Lembaga bantuan Hukum. Perlawanan terhadap suatu realita keadilan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara atau beberapa jalur, yang diantaranya adalah :

1. Jalur Litigasi
Jalur Litigasi ialah jalur dimana para anggota LBH harus memiliki keterampilan didalam proses beracara di pengadilan. Didalam jalur ini, seorang anggota LBH selain harus paham tentang proses beracara dipengadilan, ia juga haru memiliki izin keadvokatan. Didalam beracara, anggota LBH layaknya sebagai seorang Kuasa Hukum atau advokat yang menjadi pendamping atau kuasa Hukum selama peradilan berlangsung. Advokasi secara Litigasi ini telah lama dilakukan oleh LBH dan para anggotanya, bahkan hampir di seluruh LBH di Indonesia, karena ini merupakan salah satu bentuk Advokasi yang dapat dikatakan efektif didalam memenuhi rasa keadilan bagi kaum tertindas.
Pada dasarnya Advokat diwajibkan memberikan bantuan Hukum bagi orang yang tidak mampu atau korban ketidak adilan. Adakalanya mereka yang tidak mengerti sering kali tunduk dan patuh atas kemauan advokat, serta banyaknya advokat yang nakal, baik terhadap kuasa Hukumnya atau aparat penegak Hukum yang lain. Inilah mengapa kedudukan advokat dari LBH sangat penting, karena tidak semua Advokat memiliki ideologi keadilan . Tentunya menjadi sebuah ekspektasi publik tentang peran penting LBH bagi masyarakat Indonesia.

2. Jalur Non-Litigasi
a. Penyuluhan Hukum
Selain melakukan jalur Litigasi, yaitu berupa pembelaan didalam proses beracara, LBH juga dapat melakuka beberapa jalur Non-Litigasi, yang diantaranya ialah penyuluhan Hukum. Penyuluhan Hukum dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja juga bagi siapa saja, namun yang sering menjadi pilihan, penyuluhan hukum dilakukan oleh para anggota LBH kemasyarakat kecil yang notabenya tidak memahami atau sama sekali tidak paham akan aroma dan rasa dari yang namanya Hukum di Indonesia. Penyuluhan hukum dapat juga dikatakan sebagai proses Transformasi Of Knowlagde. Selain itu, penyuluhan hukum juga bisa dijadikan sarana sebagai Transformasi Of Value. Peran LBH didalam melakukan penyuluhan ini sangatlah penting, karena penyuluhan Hukum sangatlah bermanfaat akan pengetahuan masyarakat tentang Hukum dan tujuan dari bangsa Indonesia ber-hukum.

b. Konsultasi Hukum
Didalam melakukan segala aktivitas advokasi, LBH beserta dengan seluruh anggotanya juga melakukan Sharing Hukum, atau konsultasi permasalahan hukum dari masyarakat. Namun perlu di ingat, Konsultasi yang dilakukan oleh LBH ini adalah Konsultasi yang pada umumnya Cuma-Cuma (gratis). Agar sesuai dengan ideologi perjuangannya didalam pelayanan Konsultasi ini, Konsultan hukum atau anggota LBH harus tetap profesional meskipun ini adalah Cuma-Cuma. Pelayanan Konsultasi bagi masyarakat ini selama + 30th LBH berdiri cukup memberikan kontribusi bagus bagi keadilan dimasyarakat.
Penerimaan Konsultasi oleh LBH merupakan salah satu bagian dari advokasi yang dilakukan oleh LBH di bagian non-Litigasi. Pelayanan Konsultasi ini pada biasanya dilakukan oleh anggota LBh yang mumpuni dibidang Konsultasi tersebut, misalnya konsultasi terkait perdagangan, lingkungan, dll. Konsultasi-konsultasi yang dilakukan acapkali bersinggungan langsung dengan realita problem yang terjadi, dan bukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis.

c. Diskusi Publik
Pada dasarnya banyak upaya yang dapat dilakukan didalam melakukan Advokasi yang bersifat non-Litigasi, salah satu upaya tersebut juga bisa dilakukan dengan Diskusi Publik. Diskusi publik berfungsi untuk melakukan kajian kritis terhadap suatu problematika Hukum yang terjadi dimasyarakat, dimana kalian ini nantinya akan memberikan atau melahirkan gagasan baru tentang suatu realita Hukum. Diskusi ini juga berfungsi untuk melakukan suatu advokasi, dimana arahan dari diskusi ini lebih ditujukan kepada kajian empiris permasalahan hukum yang terjadi, dan menyadarkan kepada perserta dan seluruh kalangan bahwa problem atau permasalahan tersebut memang seharusnya diberikan suatu advokasi.
Advokasi yang dilakukan pasca diskusi publik ini hrapanya nantinya tidak hanya datang dari LBH, melainkan juga beberapa kalangan yang notabenya adalah pejuanga keadilan di bangsa Indonesia ini. Contoh saja kasus penambangan pasir desa Kulon progo, beberapa kali permasalahan ini menjadi suatu sorotan yang hangat dimata masyarakat, dan diangkat menjadi tema yang cukup istimewa didalam beberapa kajian di berbagai kalangan. Pasca kajian tersebut mulailah bermunculan beberapa advokasi yang notabennya bukan hanya dari LBH saja, bahkan sampai aktivis gerakan yang ada.

D. Mahasiswa dan Keadilan Indonesia
Sebagai seorang mahasiswa yang juga mencari keadilan dan terus ingin menggali ilmu tentang keadilan, tidak ada salahnya apabila gagasan didalam makalah ini ditambahkan tentang mahasiswa. Pada dasarnya mahasiswa juga memiliki peran penting didalam melakukan advokasi yang sifatnya non-Litigasi. Advokasi yang dilakukan oleh mahasiswa bisa berupa Aksi demonstrasi dan berbagai macam aksi lainnya. Namun yang lumrah dan biasanya pasti dilakukan apabila terjadi suatu ketidak adilan adalah aksi berdemonstrasi. Didalam melakukan aksi demonstrasi mahasiswa acapkali menuntut suatu tuntutan yang didalam tuntutan tersebut ada yang namanya keberpihakan terhadap kaum termarjinalkan.
Mahasiswa sering kali ditempatkan pada posisi yang idealis. Tentunya dengan paradigma tersebut mahasiswa seharusnya memberikan bukti, bahwasanya idealisme yang mereka anut bukanlah idealisme yang bertentangan dengan nurani keadilan, melainkan sejalan dengan nilai keadilan di masyarakat. Dari beberapa kajian diatas, pada dasarnya sebagian besar sudah dapat dilakukan oleh seorang mahasiswa, yang diantaranya ialah Diskusi publik, Konsultasi Hukum, penyuluhan Hukum, dll. Namun dengan buruknya sistem yang ada keberadaan mahasiswa Hukum makin dikesampingkan dalam peranananya dimasyarakat. Selain dari sistem namun tetap saja ada juga yang memang mahasiswanya tersebut hanyalah mahasiswa Kupu-Kupu (Kuliah Pulang-Kuliah pulang) saja aktivitasnya, sehingga sangatlah minim rasa Sosial Empty.
Mestinya bagi mahasiswa yang sudah berada di akhir masa studinya ia dapatlah secara langsung terjun kelapangan dunia Hukum, yang salah satunya adalah beraktifitas di LBH atau memberikan bantuan serta pendidikan Hukum kepada masyarakat. Namun sangat menyedihkan, bagi mahasiswa Hukum saat ini masih saja berlaku program KKN yang tidak begitu besar efektifitasnya apabila di bandingkan jika ia aktiv melakukan advokasi di masyarakat. Dalam rangka pembangunan serta pendidikan sosial empty sudah semestinya mahasiswa menjadi garda terdepan didalam melakukan advokasi terhadap kaum yang termarjinalkan. Sudah selayaknya gagasan akan advokasi dari mahasiswa ini menjadi suatu gagasan yang cukup mendapatkan perhatian dari beberapa Universitas serta mahasiswa hukum sendiri melalui organisasi atau lembaga-lembaga kemahasiswaan lainnya.

E. Mimpi Yang Tak Sempurna
Ekspektasi rakyat Indonesia sangatlah besar atas terwujudnya segala impian bangsa indonesia sebagaimana yang telah tercantum didalam pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan, Keadilan, serta Kemaslahatan saat ini masih sangatlah jauh bagaikan pluto dan bumi. Pemenuhan akan keadilan saat ini menjadi hal yang cukup menjadi sorotan publik. Pelbagai kasus terkait ketidakadilan yang terjadi di bangsa ini dikarenakan bangsa ini lebih menutamakan Exclusionary Rules, atau keadilan birokrasi/prosedural lebih utama dibandingkan dengan keadilan substansial.
Kekalahan didalam memenangkan Supremasi Hukum disebabkan beberapa hal, yang diantaranya adalah masih tercerai-berainya kekuatan Hukum progresif. Belum disadarinya kekuatan-kekuatan Hukum progresif itu membutuhkan satu platform yang akan membangun sinergi dan amat menguntungkan usaha yang ingin mereka lakukan. Saling bergandengan tangan dalam ide, aksi, dukungan, akan memperbesar peluang untuk dimenangkannya hukum Progresif tersebut.
Lembaga Bantuan Hukum dan Mahasiswa, sudah semestinya menjadi satu kekuatan terhadap penindasan yang dilakukan oleh status quo, karena bagaimanapun juga perzinaan yang terjadi antara eksekutif, legislatif dan yudikatif telah melahirkan anak haram yang telah menindas seluruh rakyat indonesia, yang namanya Korupsi. Tentunya perang akan ketidak adilan tersebut harus terdukung dari seluruh kekuatan Hukum Progresif di bangsa Indonesia dan tidak dapat hanya dilakukan oleh LBH dan Mahasiswa saja.
Inilah yang menjadi sebab dasar mimpi yang tak sempurna tersebut. Keberadaan LBH sebagai sebuah lemabaga Independeng yang memiliki ideologi keadilan kurang mendapat dukungan dari beberapa kekuatan lain yang diantaranya ialah Mahasiswa. Perlunya penyatuan kekuatan antara LBH dan Mahasiswa sebagai primordial didalam melakukan perlawanan terhadap status quo.
Bantuan Hukum yang ada di Indonesia memang sudah lama lahir (sekitar 39 th), namun tetap saja keadilan itu masih bagaikan suangai yang tak bermuara dan bidadari yang merindukan pelangi dimalam hari. Ini membuktikan bahwasanya keadilan itu bukanlah perang yang hanya dilakukan oleh LBH didalam menegakan keadilan di ibu pertiwi ini, melainkan membutuhkan peran lain dari stake holder lain diluar LBH itu sendiri. LBH dengan ideologinya juga memiliki mimpi terhadap keadilan, dan mimpi tersebut masihlah belum sempurna. Semoga dengan bersatunya stake holder pejuang hukum progresif, kelak keadilan itu ada layaknya seperti udara yang selalu kita butuhkan, dan seperti air yang selalu menyejukan.



Hegemoni Penguasa (DEMOKRAT HEAVY)

Pasca pemilu 2009 usai, dapat kita saksikan bagaimana bangsa ini telah memilih. Baik memilih wakilnya sebagai legislatif, maupun memilih wakilnya sebagai Presiden (Exsekutiv). Pemilihan oleh rakyat adalah salah satu derivasi dari sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia tentang demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Suara mayoritas menjadi suara tuhan yang tak dapat dielakkan lagi legitimasinya. Sebagai konsekwensinya, yang mendapatkan suarua terbanyak adalah pemenang, dan langkah yang diambil oleh partai pemenang tersebutlah yang dipandang langkah terbaik bagi bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, partai Demokrat mendominasi pada pemilu 2009. Baik dalam pemilihan Legislatif, maupun didalam pemilihan eksekutif. Sebagai suatu konsekwensinya, bangsa ini di jajaran eksekutif maupun legislatif terhegemoni oleh parta Demokrat. Bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila kedepannya partai Demokrat akan menjadi rezim orde baru jilid II. Pada tulisan kali ini, penulis bukan ingin ber su’udzhon terhadap partai Demokrat, namun lebih kepada antisipasi (prefentif), agar kedepannya bangsa Indonesia tidak lagi terpuruk dijurang yang sama (rezim orde baru), diamana kekuasaan dijadikan alat untuk menguntungkan pribadi dan golongan semata.
Didalam Konstitusi bangsa indonesia dikatakan, usul perubahan atas UUD 1945 dapat di agendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari anggota MPR . Mengapa UUD memiliki banyak kekurangan? Karena pembuatan UUD/UU adalah proses politik. Semestinya ada suatu badan yang memiliki kewenangan yang dapat membuat Konstitusi lebih baik dan bersifat Visioner, agar UUD/UU yang pada dasarnya merupakan garda terdepan visi bangsa Indonesia tidak hanya menguntungkan beberapa pihak saja, melainkan mementingkan kepentingan bangsa Indonesia jauh kedepan, kemudian dilegitimasi oleh MPR karena kewenangannya menurut Konstitusi.
Ada 4 point yang seharusnya terkandung didalam suatu Konstitusi/UU, yaitu:
1. Isinya harus mengandung suatu Kondisi empirik,untuk apa kita membuat suatu UU apabila tidak cocok dengan kondisi empirik? Sekalipun kita bukan termasuk negara yang menganut paham UU sebagai Hukum primer.
2. Tidak boleh bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Tetapi wujudnya sebagai staat fundamental norm(falsafah itu). Harus ada didalam sistem Hukum kita
3. Kontitusi/UU yang dibuat harus bersifat progress, harus dapat melihat jauh kedepan.
4. Harus melindungi Hak asasi manusia
5. Harus memuat amanat keadilan

Demokrat Heavy
Pasca pemilu 2009, keadilan masih menjadi harapan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mimpi akan keadilan tersebut bagaikan sungai yang tak bermuara dan lautan yang tak bertepi. Kemenangan mutlak partai Demokrat menjadi sebuah catatan sejarah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Baik legislatif, maupun eksekutif pada periode kali ini telah di Hegemoni oleh partai Demokrat. Lantas kita patut bertanya, apakah partai Demokrat dapat mengakomodir kepentingan rakyat yang bukan pendukung partai Demokrat? Apabila sebelum amandemen UUD 1945, bangsa Indonesia dalam keadaan Eksekutif Heavy, dan pasca amandemen sebanyak empat kali bangsa Indonesia dalam keadaan Legislatif Heavy, namun dengan kemenangan mutlak partai demokrat, apakah bangsa Indonesia akan mengalami Demokrat Heavy?

Indonesia dan Demokrasi
Demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia pada saat ini mengalami beberapa pergeseran yang sangat mendasar. Sistem Demokrasi yang sebenarnya sudah ada dan melekat pada bangsa Indonesia, yaitu musyawarah. Tetapi oleh orde baru diselewengkan menjadi musyawaraf mufakat, jadi mufakat dulu baru musyawarah, kalo perlu tidak usah musyawarah sekalian. Bukan suatu hal yang mustahil apabila dengan meng-hegemoni-nya partai Demokrat didalam kepemimpinan bangsa Indonesia kedepan, bangsa Indonesia dapat saja mengulang sejarah kejayaan orde baru, dan mewujudkan orde baru jilid II. Karena, syarat tentang kekuasaan atau masa jabatan Presiden Indonesia seperti yang ada di Konstitusi bangsa Indonesia hanyalah lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Bukan hal yang tidak mungkin terjadi, Hegemoni partai Demokrat didalam legislatif dapat saja mengajukan suatu perubahan atas UUD 1945, atau amandemen UUD 1945. Mengingat syarat didalam Konstitusi yang mengatakan usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan sekurang-kurangnya oleh 1/3 dari jumlah anggota majelis atau +175 Anggota DPR (apabila jumlah anggota DPR 550 orang), dan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang majelis Permusyawaratan rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 atau +366(apabila jumlah anggota DPR 550 orang) dari jumlah anggota MPR , serta putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen plus satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat .

Hukum Itu Progress
Bila kita menelaah lebih mendalam lagi, ada hal yang dapat kita katakan sebagai suatu kecelakaan ganda. Berdasarkan syarat diatas dan didukung keputusan bahwasanya negara Indonesia adalah negara Hukum yang dimana Hukum diartikan sebagai suatu aturan tertulis, maka lengkaplah sudah segala persyaratan untuk mengembalikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang akan dikuasai oleh satu golongan saja. Bisa saja dikatakan bahwasanya ini adalah suatu kecemasan yang berlebihan, namun perlu kita ingat baik-baik, paradigma dari hukum kita adalah Rule Of Law dan bukan Rule Of Morality ataupun Rule Of pancasila yang merupakan semangat dasar bangsa Indonesia , jadi Hukum itu akan berjalan apabila sudah ada aturan Hukumnya terlebih dahulu, dan Hukum tertulis adalah hukum tuhan yang seharusnya diterapkan. Inilah paham positifistik yang akhir-akhir ini akan membinasakan bangsa Indonesia.

DPR itu wakil Rakyat,
Tentunya, segala macam upaya haruslah kita tempuh untuk mengatasi segala macam keterpurukan bangsa ini. Namun, perlu kita ingat kembali sebagai seorang rakyat, DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat ialah lembaga legislatif yang harus dapat mengakomodir suara warganya, dan bukan hanya suara golongannya saja. Didalam melaksanakan tugasnya, DPR juga harus mampu mengawasi jalannya pemerintahan, tidak hanya pada setelah suatu kegiatan itu selesai, namun juga pengawasan terhadap rancangan sebelum kegiatan itu dilaksanakan .
Melekatnya kewenangan tersebut sebenarnya menjadi ekspektasi bagi rakyat Indonesia terhadap wakil nya di DPR untuk mengawasi jalannya Pemerintahan, namun cukup mengenaskan, ternyata tidak ada pengaturan yang lebih lanjut mengenai pertanggung jawaban wakil rakyat terhadap rakyatnya, dalam artian apapun yang dilakukan oleh wakil rakyat baik itu dalam hak angket sekalipun, dewan perwakilan rakyat tidak ada pertanggung jawaban secara khusus kepada rakyat Indonesia, dan ini yang sering menyebabkan hak angket yang notabennya adalah hak yang mengakomodir suara rakyat untuk mengatasi permasalahan bangsa Indonesia yang dimiliki oleh DPR, sering kali kandas ditengah jalan bagaikan macan yang ompong.



KPK VS POLRI Nurani ataukah Positivistik Hukum...??? “Genoside Peradilan”

Setelah merasakan kemerdekaan selama +69 tahun, bangsa ini tidak juga mengunjungi yang namanya Keadilan, Kesejahteraan, dan kemaslahatan. Setelah tumbangnya rezim otoriter setelah 32 tahun, bangsa Indonesia melalui Konstitusinya mempertegas keberadaan Hukum sebagai dasar bernegara, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Pasca amandemen UUD 1945 tersebut secara tegas bangsa Indonesia secara Normatif harus berjalan berdasarkan Hukum yang telah dibuat ataupun nantinya akan dibuat oleh para wakil rakyat.
Sebagai wakil rakyat sudah sepatutnya para anggota legislative membuat aturan atau Hukum berdasarkan amanah hati nurani rakyat, namun juga perlu di ingat, bahwa hokum hanya sebuah cara atau jalan untuk mencapai suatu tujuan atau tujuan dari Negara tersebut, yaitu keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan. Perlu juga dipahami oleh seluruh elemen bangsa Indonesia, bahwasanya Hukum itu ada untuk manusia dan bukan sebaliknya, artinya segala sesuatu tentang Hukum haruslah bertujuan untuk mewujudkan keadilan dimasyarakat.


Sempitnya pola pikir dan kurangnya pendidikan moral didalam membangun Hukum Indonesia akhir-akhir ini menjadi permasalahan yang sangat serius. Beberapa akibat yang terjadi akibat kurangnya pendidikan moral tersebut akhir-akhir ini terlihat dengan sangat jelas dalam potret penegakan hukum Di Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui, akhir-akhir ini media di indoensia diramaikan oleh perang antara Cicak (KPK) melawan Buaya (Polri). Keadaan seperti ini sebelumnya sudah dikatakan oleh Presiden Indoensia pertama kali didalam salah satu pidatonya “Tugasku sangatlah mudah, karena hanya berperang mengusir penjajah dari Indonesia, tetapi tugas kalian sangatlah susah karena kalian akan berperang sesama bangsa Indoneisa”.
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dipaksa menangis dengan tragedi yang sangat luar biasa hebatnya, yaitu tragedi “Genoside Peradilan”. Kata genoside biasanya digunakan dalam makna pembantaian terhadap suatu suku atau rasa tau sekian banya manusia, namun pada kali ini kata genoside di gunakan dengan makna sama namun Objek yang berbeda. Objek pada genoside peradilan adalah para aparat penegak hukum. Sebagai suatu alat atau cara mencapai tujuan, hukum berdiri ditengah masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia tentunya yaitu Keadilan, Kesejahteraan, dan Kemaslahatan.
Perseturuan KPK dan Polri sangatlah menyita perhatian bangsa Indonesia. Penyelesaian dari permasalahan ini pun tak kunjung usai, pro dan kontra selalu saja timbul, baik dalam diskusi kacangan, samapai dikusi Tahap nasional. Bahkan beberapa waktu lalu sempat terjadi bersitegang antara Komisi 3 DPR RI dengan salah satu Advokat ternama Oc Kaligis. Dimana dari perdebatan tersebut dapat kita lihat, betapa “buruknya” Hukum Di Indonesia. Realita seperti ini sangatlah bertolak belakang dengan salah satu sosiolog Hukum, Prof. Sajipto Raharjo. Beliau mengatakan didalam salah satu bukunya yang berjudul Biarkan Hukum Mengalir “Berikan aku 10 orang penegak Hukum yang baik, dengan Hukum yang buruk Niscaya aku dapat mewujudkan keadilan”.
Didalam Buku yang ditulis oleh Prof. Sajipto Raharjo, yang berjudul Hukum dan prilaku beliau mengatakan, Prilaku atau Hidup yang baik adalah dasar Hukum yang baik. Berdasarkan buku tersebut, dapat kita simpulkan secara primordial, bahwa Perilaku bangsa Indonesia sangatlah buruk, itu tercermin dari Hukum yang ada di Indoensia, seperti yang kita lihat saat ini. Bururknya system hukum Di Indonesia berakibat sangat fatal, diantarnya :
1. Tidak ada lagi Masyarakat yang taat Hukum
2. Berjalannya Negara akan sangat karut marut
3. DisIntegrasi bangsa Indoensia
Dari ketiga penjelasan diatas, mungkin akibat yang paling fatal adalah terjadinya DisIntegrasi bangsa Indonesia, Nauzubillah.
Dari beberpa perdebatan yang terjadi sebenarnya kitapun dapat mengambil suatu Konstelasi yang menjadi episentrum dari permasalahan tersebut. Perdebatan yang terjadi selama ini untuk penyelesaian kasus Cicak melawan Buaya adalah Paham Positivistik dan Nurani Keadilan. Mengapa demikian?
1. ANGGODO BEBAS, Bukti “Bobroknya” Penegakan Hukum...!!!
Bebasnya Anggodo dari proses Penyelidikan oleh kepolisian dengan alas an tidak adanya bukti permulaan yang cukup menjadi suatu tanda Tanya yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Bukankah sudah jelas apa yang telah didengar oleh seluruh masyarakat Indoneisa dalam rekaman yang telah diputarkan oleh Mahkamah Konstitusi? bahwasanya peran Anggodo sangatlah sentral didalam memimpin genoside Peradilan. Lantas mengapa ia bias di bebaskan? Alas an yang mengejutkan keluar dari POLRI, bahwasanya Anggodo tidak terbukti bersalah dalam skenario Penghancuran KPK...(POSITIVISTIK).

2. Nurani Hakim Konstitusi, wujud Progresifitas penegakan Hukum...
Progresifitas penegakan Hukum telah berhasi dicatat oleh bangsa Indonesia, progresifitas ini adalah sebagai bukti dari apa yang telah dikatakan oleh Prof. Sajipto Raharjo, bahwasanya tujuan dari adanya Hukum salah satunya adalah untuk keadilan. Ini terbukti dari landasan Mahkamah Konstitusi didalam memutar rekaman hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Anggodo W dengan beberapa Petinggi lembaga Negara RI. Prof. Dr Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi dengan berlandaskan Nurani mengatakan, relevansi dari pemutaran rekaman tersebut dengan Judicial Rieview adalah sebagai salah satu bukti, bahwasanya ada dugaan pelemahan KPK, lantas apa buktinya ada upaya Pelemahan KPK? Dan bukti tersebut adalah rekaman yang dimiliki oleh KPK itu. Jika kita telaah lebih mendalam, aturan yang mengatur secara tertulis tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutar rekaman tersebut maka tidak akan ditemukan, dengan demikian landasan yang di ambil oleh Hakim Konstitusi adalah landasan Nurani untuk membongkar scenario besar yang telah menghancurkan wajah Hukum Indoneisa. Untuk mewujudkan keadilan hanya dengan Hukum tertulis, ini hanya akan menjadi mimpi. (NURANI KEADILAN)

Berdasarkan beberapa kajian singkat diatas, dapatlah kita lihat, bahwasanya di bangsa Indonesia ini telah terjadi Genoside Peradilan, dimana beberapa aparat penegak Hukum telah berhasil dibumihanguskan oleh Seorang Anggodo W. Betapa sedihnya bangsa ini karena memiliki Oknum penegak Hukum yang “Murahan” (tidak memiliki Integritas yang tinggi). Para penegak hukum yang seharusnya dapt menjadi sandaran rakyat atas tegaknya kedilan di Indonesia, saat ini tidak lain hanya sebagai mafia-mafia yang bergabung untuk melakukan Pembasmian terhadap Keadilan. Pembasmian inilah yang saat ini harus segera di lawan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Hakim Konstitusi dapat dijadikan contoh yang sangat baik bagi seluruh aparat penegak Hukum di Indonesia, bahwasanya tidak selamanya Hukum itu harus tertulis, karena filosofi dari hukum tersebut adalah terwujudnya Keadilan, Kesejahteraan, dan Kemaslahatan.