Administrasi negara merupakan pilar penting dalam suatu negara. Begitu juga di negara Indonesia. Administrasi merupakan sebuah subsistem yang pokok dalam kehidupan sistem negara kita. Administrasi menjadi penanggunjawab dalam menjalankan peran birokratisasi di negara Indonesia. Lebih jauh lagi, administrasi negara merupakan media untuk menyalurkan sebuah kebijakan dalam bentuk pelayanan masyarakat.
Masa revolusi, merupakan awal adanya administrasi di negara Indonesia yang memiliki kelemahan dalam kualitas dan efektifitas, terlebih adanya administrasi dalam masa revolusi masih dipengaruhi oleh perkembangan administrasi penjajahan. Masa orde lama diharapkan mampu memperbaiki sistem administrasi negara Indonesia namun masih juga terdapat kekurangan karena sistem pemrintahan yang terjadi saat itu dan kekuatan kalangan tertentu dalam pelaksanaan public policy.
Administrasi negara mengalami perkembangan dalam hal konsep di masa orde baru namun sayangnya hal tersebut tidak diikuti oleh pelaksanaan yang baik. Hal tersebut akhirnya berakhir di masa reformasi dengan adanya perombakan dan perbaikan di berbagai sisi. Proses reformasi administrasi ini masih berlangsung hingga sekarang dan masih mencari model yang sesuai.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan di berbagai bidang agar sistem administrasi masa depan Indonesia merupakan sistem administrasi yang efisien dan mampu melayani masyarakat. Berdasarkan beberapa penelitian menemukan bahwa sistem administrasi negara Indonesia masih memerlukan perbaikan karena banyak terjadi penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan koran Kompas, Selasa 16 Desember 2008 halaman 27 sistem administrasi Indonesia jelek sehingga menjadi sumber korupsi, khususnya sistem administrasi keuangan.
Terdapat berbagai peraturan perundangan yang memberikan celah adanya penyalahgunaan wewenang untuk korupsi yang dilakukan oleh birokrat. Berdasarkan data dari KPU tahun 2007 kasus korupsi yang masuk tahap penyelidikan 68 kasus, tahap penyidikan 29 perkara, dan penuntutan 24 perkara. Indonesia masih berkutat dengan masalah penyakit birokrasi padahal tantangan ke depan sangat berat. Apalagi Indonesia masih tergolong tertinggal dari negara-negara lain. Oleh karena itu layaknya kita harus berlari mengejar kesempurnaan. Indonesia dituntut untuk menciptakan sebuah birokrasi yang efektif dan efisien
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Hukum Administrasi Negara pada masa Orde baru dan setelah reformasi?
2. Bagaimana Kedudukan desa sebelum dan sesudah Reformasi?
PEMBAHASAN
Hukum Administrasi Negara mempunyai kekuasaan untuk mewajibkan semua pihak mengimplementasikan prinsip Good Governance pada aktivitas administrasi Negara sehari-hari, memberikan sanksi dan memberikan kriteria-kriteria yang berkaitan dengan implementasi Good Governance bagi pejabat dan petugas administrasi Negara. Good Governance di dalam HAN sudah merupakan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah. Dengan demikian paradigma yang harus dipegang teguh adalah melayani masyarakat (to serve people).
Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai RUU Program Legislasi Nasional prioritas pada tahun 2007. RUU ini diharapkan dapat menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang cukup revolusioner dan menjadi instrument untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. RUU ini juga akan menjadi hukum materiil bagi Hukum Administrasi Negara di Indoneisia melengkapi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004) yang lebih dulu ada.
Hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma-norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak partikelir. Diantara kedua bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Setelah reformasi dipilih menjadi bagian dari bangsa Indonesia, ada beberapa Konsekwensi yang diterima oleh bangsa Indonesia atau beberapa perubahan yang Fundamental bagi bangsa Indonesia.
Pertama, Implikasi pada sistem administrasi kebijakan publik. Dalam hal Ini, dengan amandemen maka MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan GBHN dan produk perundangan lainnya kecuali dalam rangka pengangkatan presiden dan wakil presiden. Sebagai tindak lanjut dari amandemen tersebut, berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 2004, beberapa Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mengalami perubahan, yakni hilangnya Ketetapan MPR (TAP MPR) dalam tata urutan perundang-undangan.
Kedua, Amandemen menetapkan pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan MPR hanya berwenang melantik saja. Presiden bertanggung jawab kepada rakyat yang diperankan oleh DPR yang memegang fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan serta berbagai hak lainnya. Peran DPR menjadi terlalu kuat bahkan ikut menentukan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar, Panglima TNI dan Polisi yang mestinya menjadi kewenangan Presiden.
Ketiga, Amandemen konstitusi juga telah mengembang biakkan kelembagaan negara dengan lahirnya berbagai lembaga negara tambahan seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi, serta aneka bentuk agen-agen kelembagaan negara pembantu (state auxiliary agencies) dalam wujud puluhan komisi baru. Aneka lembaga negara baru ini selain masih kabur dan saling tumpang tindih dalam kewenangannya. juga berimplikasi luas pada sistem administrasi dan pembiayaan negara.
Keempat, Implikasi pada administrasi perekonomian negara. Penambahan ayat 4, pada pasal 33 UUD 1945 membawa celah kontestasi dalam peramuaan perundang-undangan yang menyangkut perekonomian dan kesejahteraan sosial, Perubahan ini akan menimbulkan tantangan baru bagi administrasi perekonomian negara yang lebih responsif terhadap tuntutan pasar, yang jika tanpa hati-hati bisa merugikan kesejahteraan dan pelayanan umum.
Kelima, Implikasi pada sistem adminstrasi pengawasan dan pertanggung jawaban. Sebelum amandemen, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berfungsi sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Setelah amandemen dinyatakan BPK memiliki perwakilan di setiap Provinsi. Hal ini akan mengakibatkan pembesaran scope BPK di masa depan.
Keenam, Implikasi pada siatem administrasi pelayanan publik. Jika sebelumnya pemerintah pusat lebih berperan dalam pelayanan publik, setelah amandemen pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih dalam pelayanan publik dan menyebabkan sejumlah paradok dalam pemerintahan dan pembangunan.
Dapat kita lihat, bagaimana keadaan bangsa Indonesia berubah sangat signifikan. Menurut Dr. Hj. Ni’matul Huda SH.,M.Hum didalam seminar Nasional yang di selenggarakan oleh HMI FH UII pada Mei 2009, Jika kita melihat dari segi Konstitusi, Konstitusi bangsa Indonesia berubah sebanyak 300%. Hasil ini bukanlah hal yang main-main, Konstitusi sebagai garda terdepan bangsa Indonesia berubah secara total. Untuk lebih menarik lagi, didalam makalah ini akan coba kami sajikan kasuistik perubahan HAN didalam pemerintahan desa.
Proses reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem kekuasaan yang ada dari otoritarianisme menuju demokrasi. Berbeda dengan masa Orde Baru yang menjalankan kekuasaan secara sentralistik-otoriter, era reformasi ditandai dengan digunakannya, dalam tingkat tertentu, prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi sebagai basis acuan bekerjanya kekuasaan. Pergeseran ini dapat dilihat dari pola hubungan antara pusat-daerah seperti yang termaktub dalam UU tentang Otonomi Daerah. Dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 daerah telah diberi keleluasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Perubahan relasi itu bisa juga dilihat pada level desa, dimana upaya-upaya demokratisasi dan desentralisasi secara formal mulai dilaksanakan. Model sentralistik ala UU No. 5 Tahun 1979 yang dipakai sebagai alas yuridis Orde Baru untuk menata desa, dirombak secara mendasar. Regulasi yang baru telah membuka peluang bagi dikembangkannya otonomi yang dihambat secara luar biasa oleh Orde Baru. Pertanyaan yang kemudian muncul dengan hadirnya UU No. 22/1999 adalah apakah UU tersebut membuka ruang bagi pelaksanaan otonomi desa? ataukah sebaliknya, justru menjadi alat yuridis bagi negara untuk menjalankan proyek-proyeknya dalam bungkus yang lebih demokratis?
Mendefinisikan Desa
Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, Secara sosiologis, desa merupakan sebuah gambaran dari suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka (masyarakat) saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam.
Komunitas masyarakat di atas kemudian berkembang menjadi satu kesatuan hukum dimana kepentingan bersama penduduk menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan Atau dalam bahasa Soetardjo Kartohadikoesoemo, “suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang mengadakan pemerintahan sendiri”. Ciri dari masyarakat hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri dengan batas yang sah, berhak mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri, berhak mempunyai sumber keuangan sendiri, serta berhak atas tanahnya sendiri (menurut I Nyoman Beratha).
Dalam konteks inilah kemudian Desa menemukan identitasnya sebagai sebuah kesatuan hukum yang memiliki hak untuk mengurus kepentingannya sendiri, yang dalam bahasa lain disebut hak otonomi. Dengan demikian desa secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk, dimana otonomi yang dimilikinya bukan pemberian pihak lain.
Desa di masa Orde Baru
Kemunculan Orde Baru ditandai dengan motif melakukan pemulihan kehidupan ekonomi yang porak poranda pada masa Soekarno. Keinginan tersebut membawa konsekuensi adanya jaminan stabilitas politik yang berwujud terbentuknya sistem politik yang mendukung transformasi ekonomi serta jika diperlukan mampu dan dapat mengendalikan akibat-akibatnya (terutama dengan menjinakkan oposisi agar jangan sampai “menggangu” pemerintah). Sistem kekuasaan Orde Baru kemudian dijalankan secara sentralistik-otoriter dengan memberikan porsi yang sangat besar terhadap peran negara.
Khusus untuk menata desa, Orde Baru telah melakukan pengaturan-pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa. Dengan mengeluarkan UU No.5/1979 desa oleh Orde Baru dikonsepsikan sebagai “suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatan Republik Indonesia “.
Jika kemudian ditinjau lebih jauh, konsepsi desa Orde Baru merupakan suatu konsepsi desa dalam pengertian administratif. Desa dalam pengertian administratif adalah satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu, suatu satuan masyarakat, dan suatu satuan pemerintahan, yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan. Dengan diartikannya desa sebagai satuan ketatanegaraan yang memiliki satuan pemerintahan memberikan kejelasan arti desa dalam konteks di atas, yaitu desa merupakan bagian dari organisasi pemerintahan, baik horizontal maupun vertikal, yang berada di daerah, baik berdasarkan asas dekonsentrasi maupun desentralisasi.
Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif, UU No.5/1979 juga telah melakukan perubahan-perubahan struktur desa, yaitu :
1. Penyeragaman struktur pemerintahan desa. Ini merupakan strategi dari Orde Baru untuk memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa.
2. Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah nasional. Menempatkan pemerintah desa sebagai rantai akhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintah yang sentralistik. Ini menjadikan desa hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat.
3. Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada Kepala Desa.
Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama Orde Baru atas desa, yaitu pertama, mengarahkan pengertian desa pada sudut administrasi negara. Kedua, menempatkan desa sebagai alat dari pemerintah pusat. Titik inilah yang kemudian merubah arti desa yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan masyarakat hukum adat tertentu bergeser ke arah pengertian/arti desa yang dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan-satuan ketatanegaraan, atau satuan–satuan administratif pemerintahan. Dengan kalimat lain kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom makin lama makin turun karena menjadi subsistem terbawah dari birokrasi pemerintahan nasional. Otonomi asli desa tidak bisa lagi dilaksanakan karena kedudukan desa yang telah berubah menjadi subsistem dari negara.
Desa di era Reformasi
Pada era reformasi, rezim yang baru diliputi persoalan lemahnya legitimasi serta ancaman disintegrasi bangsa akibat adanya keinginan dari beberapa daerah untuk memerdekakan diri, lepas dari Republik Indonesia. Hal di atas direspon oleh pemerintah Habibie dengan mengeluarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang berisi tentang pemberian otonomi kepada daerah untuk mengurus kepentingan dan rumah tangganya sendiri.
Pada UU No. 22/1999 terutama pasal 93-111, pasal-pasal yang mengatur tentang desa, mengandung semangat mengakhiri sentralisasi serta mengembangkan desa sebagai wilayah otonom. Desa dikembalikan statusnya sebagai lembaga yang diharapkan demokratis dan otonom, hal ini terlihat dari pertama, adanya ‘keinginan’ untuk mendudukkan kembali desa terpisah dari jenjang birokrasi pemerintah. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal usul, dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat. Kedua, memulihkan demokrasi di tingkat yang paling rendah dengan pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD).
Berkaitan dengan struktur desa, ada beberapa perubahan yang dibawa oleh UU No.22/1999, yaitu :
1. Penghapusan penyeragaman struktur pemerintahan desa.
2. Pembentukan struktur pemerintahan desa baru yang terdiri atas pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa
3. Pembentukan lembaga perwakilan di tingkat desa dan penghapusan fungsi kepala desa sebaga pusat kekuasaan di desa.
Jika ditinjau secara umum, apa yang telah dilakukan pemerintah pada era reformasi berkaitan dengan regulasi-regulasi yang dibuat bagi desa, telah membawa angin segar atas harapan akan adanya otonomi desa. Harapan bagi terbukanya ruang-ruang pelaksanaan otonomi dan demokratisasi ditingkatan desa telah dipupuk.
Namun demikian dalam UU No. 22/1999 masih juga menyisakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan otonomi di tingkat desa. Pada beberapa pasal dalam UU No. 22/1999 justru membuat orang ragu atas kesungguhan pemerintah untuk benar-benar memberikan otonomi kepada desa. Hal ini didasarkan pada pertama, desa masih dibuat tergantung pada dinamika pembentukan kebijakan kabupaten (pasal 93). Kedua, desa masih harus melakukan tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan kabupaten (pasal 99). Ketiga, pemerintah desa masih ditempatkan sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan (bagian Penjelasan Umum Pemerintah Desa). Keempat, keluarnya Keputusan Mendagri No. 64/1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.
Otonomi Desa sebagaimana yang dikonsepkan dalam UU No. 22/1999 adalah otonomi yang berasal dari “niat baik” negara. Karena sifatnya pemberian maka adanya pasal-pasal yang kontradiktif merupakan hal yang lumrah. Hadirnya UU No. 22/1999 lebih didasarkan atas usaha untuk meredam potensi disintegarasi bangsa dibandingkan sebagai usaha yang tulus dari negara untuk mengembalikan otonomi kepada desa menjadikan otonomi desa yang dikonsepkan dalam UU tersebut bukanlah otonomi desa sebagaimana konsep aslinya, yaitu desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengurusi kepentingannya sendiri.
PENUTUP(KESIMPULAN)
Setelah menganalisa dan membahas beberapa permasalahan diatas, maka dapat disimpulkan, yaitu:
1. Penyelenggaraan pemerintahan Indonesia pada masa orde baru lebih bersifat otoriter, dimana kekuasaan penuh dipegang oleh pemimpin bangsa Indonesia
2. Penyelenggaraan desa pada masa orde baru lebih bersifat ingin menguasai Negara secara keseluruhan, dengan menjadikan desa sebagai subsistem dari pemerintah, dan dimasa reformasi, pemberian otonomi masih sangat setengah hati karena kondisinya pada waktu reformasi ialah untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari dis Integrasi bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD dan SF Marbun
2. Institute for Research and Empowerment (IRE)
3. Harian Umum Pelita, Jumat 23 Oktober 2009
4. Kajian Sekretaris Negara, Rabu 8 Maret 2007
5. Hukum Administrasi Negara, Ridwan HR
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan di berbagai bidang agar sistem administrasi masa depan Indonesia merupakan sistem administrasi yang efisien dan mampu melayani masyarakat. Berdasarkan beberapa penelitian menemukan bahwa sistem administrasi negara Indonesia masih memerlukan perbaikan karena banyak terjadi penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan koran Kompas, Selasa 16 Desember 2008 halaman 27 sistem administrasi Indonesia jelek sehingga menjadi sumber korupsi, khususnya sistem administrasi keuangan.
Terdapat berbagai peraturan perundangan yang memberikan celah adanya penyalahgunaan wewenang untuk korupsi yang dilakukan oleh birokrat. Berdasarkan data dari KPU tahun 2007 kasus korupsi yang masuk tahap penyelidikan 68 kasus, tahap penyidikan 29 perkara, dan penuntutan 24 perkara. Indonesia masih berkutat dengan masalah penyakit birokrasi padahal tantangan ke depan sangat berat. Apalagi Indonesia masih tergolong tertinggal dari negara-negara lain. Oleh karena itu layaknya kita harus berlari mengejar kesempurnaan. Indonesia dituntut untuk menciptakan sebuah birokrasi yang efektif dan efisien
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Hukum Administrasi Negara pada masa Orde baru dan setelah reformasi?
2. Bagaimana Kedudukan desa sebelum dan sesudah Reformasi?
PEMBAHASAN
Hukum Administrasi Negara mempunyai kekuasaan untuk mewajibkan semua pihak mengimplementasikan prinsip Good Governance pada aktivitas administrasi Negara sehari-hari, memberikan sanksi dan memberikan kriteria-kriteria yang berkaitan dengan implementasi Good Governance bagi pejabat dan petugas administrasi Negara. Good Governance di dalam HAN sudah merupakan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah. Dengan demikian paradigma yang harus dipegang teguh adalah melayani masyarakat (to serve people).
Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai RUU Program Legislasi Nasional prioritas pada tahun 2007. RUU ini diharapkan dapat menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang cukup revolusioner dan menjadi instrument untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. RUU ini juga akan menjadi hukum materiil bagi Hukum Administrasi Negara di Indoneisia melengkapi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004) yang lebih dulu ada.
Hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma-norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak partikelir. Diantara kedua bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Setelah reformasi dipilih menjadi bagian dari bangsa Indonesia, ada beberapa Konsekwensi yang diterima oleh bangsa Indonesia atau beberapa perubahan yang Fundamental bagi bangsa Indonesia.
Pertama, Implikasi pada sistem administrasi kebijakan publik. Dalam hal Ini, dengan amandemen maka MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan GBHN dan produk perundangan lainnya kecuali dalam rangka pengangkatan presiden dan wakil presiden. Sebagai tindak lanjut dari amandemen tersebut, berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 2004, beberapa Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mengalami perubahan, yakni hilangnya Ketetapan MPR (TAP MPR) dalam tata urutan perundang-undangan.
Kedua, Amandemen menetapkan pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan MPR hanya berwenang melantik saja. Presiden bertanggung jawab kepada rakyat yang diperankan oleh DPR yang memegang fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan serta berbagai hak lainnya. Peran DPR menjadi terlalu kuat bahkan ikut menentukan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar, Panglima TNI dan Polisi yang mestinya menjadi kewenangan Presiden.
Ketiga, Amandemen konstitusi juga telah mengembang biakkan kelembagaan negara dengan lahirnya berbagai lembaga negara tambahan seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi, serta aneka bentuk agen-agen kelembagaan negara pembantu (state auxiliary agencies) dalam wujud puluhan komisi baru. Aneka lembaga negara baru ini selain masih kabur dan saling tumpang tindih dalam kewenangannya. juga berimplikasi luas pada sistem administrasi dan pembiayaan negara.
Keempat, Implikasi pada administrasi perekonomian negara. Penambahan ayat 4, pada pasal 33 UUD 1945 membawa celah kontestasi dalam peramuaan perundang-undangan yang menyangkut perekonomian dan kesejahteraan sosial, Perubahan ini akan menimbulkan tantangan baru bagi administrasi perekonomian negara yang lebih responsif terhadap tuntutan pasar, yang jika tanpa hati-hati bisa merugikan kesejahteraan dan pelayanan umum.
Kelima, Implikasi pada sistem adminstrasi pengawasan dan pertanggung jawaban. Sebelum amandemen, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berfungsi sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Setelah amandemen dinyatakan BPK memiliki perwakilan di setiap Provinsi. Hal ini akan mengakibatkan pembesaran scope BPK di masa depan.
Keenam, Implikasi pada siatem administrasi pelayanan publik. Jika sebelumnya pemerintah pusat lebih berperan dalam pelayanan publik, setelah amandemen pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih dalam pelayanan publik dan menyebabkan sejumlah paradok dalam pemerintahan dan pembangunan.
Dapat kita lihat, bagaimana keadaan bangsa Indonesia berubah sangat signifikan. Menurut Dr. Hj. Ni’matul Huda SH.,M.Hum didalam seminar Nasional yang di selenggarakan oleh HMI FH UII pada Mei 2009, Jika kita melihat dari segi Konstitusi, Konstitusi bangsa Indonesia berubah sebanyak 300%. Hasil ini bukanlah hal yang main-main, Konstitusi sebagai garda terdepan bangsa Indonesia berubah secara total. Untuk lebih menarik lagi, didalam makalah ini akan coba kami sajikan kasuistik perubahan HAN didalam pemerintahan desa.
Proses reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem kekuasaan yang ada dari otoritarianisme menuju demokrasi. Berbeda dengan masa Orde Baru yang menjalankan kekuasaan secara sentralistik-otoriter, era reformasi ditandai dengan digunakannya, dalam tingkat tertentu, prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi sebagai basis acuan bekerjanya kekuasaan. Pergeseran ini dapat dilihat dari pola hubungan antara pusat-daerah seperti yang termaktub dalam UU tentang Otonomi Daerah. Dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 daerah telah diberi keleluasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Perubahan relasi itu bisa juga dilihat pada level desa, dimana upaya-upaya demokratisasi dan desentralisasi secara formal mulai dilaksanakan. Model sentralistik ala UU No. 5 Tahun 1979 yang dipakai sebagai alas yuridis Orde Baru untuk menata desa, dirombak secara mendasar. Regulasi yang baru telah membuka peluang bagi dikembangkannya otonomi yang dihambat secara luar biasa oleh Orde Baru. Pertanyaan yang kemudian muncul dengan hadirnya UU No. 22/1999 adalah apakah UU tersebut membuka ruang bagi pelaksanaan otonomi desa? ataukah sebaliknya, justru menjadi alat yuridis bagi negara untuk menjalankan proyek-proyeknya dalam bungkus yang lebih demokratis?
Mendefinisikan Desa
Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, Secara sosiologis, desa merupakan sebuah gambaran dari suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka (masyarakat) saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam.
Komunitas masyarakat di atas kemudian berkembang menjadi satu kesatuan hukum dimana kepentingan bersama penduduk menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan Atau dalam bahasa Soetardjo Kartohadikoesoemo, “suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang mengadakan pemerintahan sendiri”. Ciri dari masyarakat hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri dengan batas yang sah, berhak mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, berhak mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri, berhak mempunyai sumber keuangan sendiri, serta berhak atas tanahnya sendiri (menurut I Nyoman Beratha).
Dalam konteks inilah kemudian Desa menemukan identitasnya sebagai sebuah kesatuan hukum yang memiliki hak untuk mengurus kepentingannya sendiri, yang dalam bahasa lain disebut hak otonomi. Dengan demikian desa secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk, dimana otonomi yang dimilikinya bukan pemberian pihak lain.
Desa di masa Orde Baru
Kemunculan Orde Baru ditandai dengan motif melakukan pemulihan kehidupan ekonomi yang porak poranda pada masa Soekarno. Keinginan tersebut membawa konsekuensi adanya jaminan stabilitas politik yang berwujud terbentuknya sistem politik yang mendukung transformasi ekonomi serta jika diperlukan mampu dan dapat mengendalikan akibat-akibatnya (terutama dengan menjinakkan oposisi agar jangan sampai “menggangu” pemerintah). Sistem kekuasaan Orde Baru kemudian dijalankan secara sentralistik-otoriter dengan memberikan porsi yang sangat besar terhadap peran negara.
Khusus untuk menata desa, Orde Baru telah melakukan pengaturan-pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa. Dengan mengeluarkan UU No.5/1979 desa oleh Orde Baru dikonsepsikan sebagai “suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatan Republik Indonesia “.
Jika kemudian ditinjau lebih jauh, konsepsi desa Orde Baru merupakan suatu konsepsi desa dalam pengertian administratif. Desa dalam pengertian administratif adalah satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu, suatu satuan masyarakat, dan suatu satuan pemerintahan, yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan. Dengan diartikannya desa sebagai satuan ketatanegaraan yang memiliki satuan pemerintahan memberikan kejelasan arti desa dalam konteks di atas, yaitu desa merupakan bagian dari organisasi pemerintahan, baik horizontal maupun vertikal, yang berada di daerah, baik berdasarkan asas dekonsentrasi maupun desentralisasi.
Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif, UU No.5/1979 juga telah melakukan perubahan-perubahan struktur desa, yaitu :
1. Penyeragaman struktur pemerintahan desa. Ini merupakan strategi dari Orde Baru untuk memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa.
2. Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah nasional. Menempatkan pemerintah desa sebagai rantai akhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintah yang sentralistik. Ini menjadikan desa hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat.
3. Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada Kepala Desa.
Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama Orde Baru atas desa, yaitu pertama, mengarahkan pengertian desa pada sudut administrasi negara. Kedua, menempatkan desa sebagai alat dari pemerintah pusat. Titik inilah yang kemudian merubah arti desa yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan masyarakat hukum adat tertentu bergeser ke arah pengertian/arti desa yang dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan-satuan ketatanegaraan, atau satuan–satuan administratif pemerintahan. Dengan kalimat lain kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom makin lama makin turun karena menjadi subsistem terbawah dari birokrasi pemerintahan nasional. Otonomi asli desa tidak bisa lagi dilaksanakan karena kedudukan desa yang telah berubah menjadi subsistem dari negara.
Desa di era Reformasi
Pada era reformasi, rezim yang baru diliputi persoalan lemahnya legitimasi serta ancaman disintegrasi bangsa akibat adanya keinginan dari beberapa daerah untuk memerdekakan diri, lepas dari Republik Indonesia. Hal di atas direspon oleh pemerintah Habibie dengan mengeluarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang berisi tentang pemberian otonomi kepada daerah untuk mengurus kepentingan dan rumah tangganya sendiri.
Pada UU No. 22/1999 terutama pasal 93-111, pasal-pasal yang mengatur tentang desa, mengandung semangat mengakhiri sentralisasi serta mengembangkan desa sebagai wilayah otonom. Desa dikembalikan statusnya sebagai lembaga yang diharapkan demokratis dan otonom, hal ini terlihat dari pertama, adanya ‘keinginan’ untuk mendudukkan kembali desa terpisah dari jenjang birokrasi pemerintah. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal usul, dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat. Kedua, memulihkan demokrasi di tingkat yang paling rendah dengan pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD).
Berkaitan dengan struktur desa, ada beberapa perubahan yang dibawa oleh UU No.22/1999, yaitu :
1. Penghapusan penyeragaman struktur pemerintahan desa.
2. Pembentukan struktur pemerintahan desa baru yang terdiri atas pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa
3. Pembentukan lembaga perwakilan di tingkat desa dan penghapusan fungsi kepala desa sebaga pusat kekuasaan di desa.
Jika ditinjau secara umum, apa yang telah dilakukan pemerintah pada era reformasi berkaitan dengan regulasi-regulasi yang dibuat bagi desa, telah membawa angin segar atas harapan akan adanya otonomi desa. Harapan bagi terbukanya ruang-ruang pelaksanaan otonomi dan demokratisasi ditingkatan desa telah dipupuk.
Namun demikian dalam UU No. 22/1999 masih juga menyisakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan otonomi di tingkat desa. Pada beberapa pasal dalam UU No. 22/1999 justru membuat orang ragu atas kesungguhan pemerintah untuk benar-benar memberikan otonomi kepada desa. Hal ini didasarkan pada pertama, desa masih dibuat tergantung pada dinamika pembentukan kebijakan kabupaten (pasal 93). Kedua, desa masih harus melakukan tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan kabupaten (pasal 99). Ketiga, pemerintah desa masih ditempatkan sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan (bagian Penjelasan Umum Pemerintah Desa). Keempat, keluarnya Keputusan Mendagri No. 64/1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.
Otonomi Desa sebagaimana yang dikonsepkan dalam UU No. 22/1999 adalah otonomi yang berasal dari “niat baik” negara. Karena sifatnya pemberian maka adanya pasal-pasal yang kontradiktif merupakan hal yang lumrah. Hadirnya UU No. 22/1999 lebih didasarkan atas usaha untuk meredam potensi disintegarasi bangsa dibandingkan sebagai usaha yang tulus dari negara untuk mengembalikan otonomi kepada desa menjadikan otonomi desa yang dikonsepkan dalam UU tersebut bukanlah otonomi desa sebagaimana konsep aslinya, yaitu desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengurusi kepentingannya sendiri.
PENUTUP(KESIMPULAN)
Setelah menganalisa dan membahas beberapa permasalahan diatas, maka dapat disimpulkan, yaitu:
1. Penyelenggaraan pemerintahan Indonesia pada masa orde baru lebih bersifat otoriter, dimana kekuasaan penuh dipegang oleh pemimpin bangsa Indonesia
2. Penyelenggaraan desa pada masa orde baru lebih bersifat ingin menguasai Negara secara keseluruhan, dengan menjadikan desa sebagai subsistem dari pemerintah, dan dimasa reformasi, pemberian otonomi masih sangat setengah hati karena kondisinya pada waktu reformasi ialah untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari dis Integrasi bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD dan SF Marbun
2. Institute for Research and Empowerment (IRE)
3. Harian Umum Pelita, Jumat 23 Oktober 2009
4. Kajian Sekretaris Negara, Rabu 8 Maret 2007
5. Hukum Administrasi Negara, Ridwan HR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar